Ilustrasi : Joglosemar
Iklan terakota

Terakota.id–Kutipan di atas adalah curhatan seorang perempuan kepada sahabatnya dalam novel A Theft, karya pengarang Amerika Serikat kelahiran Kanada, Saul Bellow. Delapan tahun setelah penulisnya wafat, Ribut Wahyudi menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Cincin yang Tercuri (Bentang, Juli 2013), yang dalam artikel ini disingkat CYT. Saul Bellow adalah seorang Yahudi Amerika, yang pada saat ibunya masih hidup menginginkan anak laki-lakinya ini menjadi seorang rabbi (ulama Yahudi).

Tidak seperti pada novel-novel lainnya, Bellow yang kerapkali menulis kisah tentang kehidupan Yahudi Amerika, dalam novel ini justru ia mengangkat tokoh utama yang berasal dari keluarga Kristen yang taat. Clara dibesarkan dalam keluarga Bibel: berdoa sebelum makan, rasa syukur pada setiap makanan, mazmur-mazmur yang dihafalkan, kitab Injil, surat dan ayat – agama Kuno (CYT, hlm. 4). Oleh karenanya Bellow menolak disebut sebagai penulis Yahudi, suatu predikat yang dianggapnya membatasi apa yang bisa ia perbuat selama ini. Bellow mendapat hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1976.

Saul Bellow yang meninggal dunia pada 16 tahun lalu adalah salah satu dari beberapa penulis Amerika yang menghadirkan tokoh beretnis Tionghoa dalam novelnya. Tidak ada keterangan mengapa ia menempatkan  perempuan berdarah Cina-Amerika sebagai orang kepercayaan dari tokoh utama, Clara Velde, yang kepadanya pula ia curhat tentang perjalanan hidupnya.

Karakter Laura Wong dalam novel ini juga tidak dideskripsikan secara detail oleh penulisnya, sekalipun ia hadir menghiasi novel ini sampai akhir cerita. Kehadiran Laura Wong tak lebih hanya sekadar pendengar setia, sehingga perannya tidak begitu berpengaruh dalam mewarnai dinamika konflik novel ini. Selain dicitrakan sebagai seorang perempuan cantik, Laura Wong digambarkan dalam paragraf berikut ini.

Apa yang menjadikan seorang wanita beradab seperti Laura Wong memahami keyakinan-keyakinan semacam itu? Wanita Cina dengan pipi menonjol dan mata sipit yang masuk ke dalam, lipatan-lipatan beban yang menggaris kecil dengan saputan warna yang lebih putih di sekitar matanya yang hitam, dan cahaya mata itu, begitu aneh untuk dilihat namun pada saat yang sama begitu tampak akrab (CYT, hlm. 8).

Sejak awal mula dunia digegerkan dengan virus korona, nama Cina menjadi negara yang paling “seksi”, yang menjadi perbincangan publik, tidak hanya di media masa, kursi parlemen, namun juga di kedai-kedai kaki lima. Negeri, ras dan penduduknya memeroleh citra buruk. Media masa memuat berita-berita spekulatif tentang Cina, dan stigma negatif tentangnya tersebar di mana-mana, termasuk di Amerika Serikat.

Sebagaimana dilaporkan oleh National Geographic, 2 September 2020, bahwa dalam bulan-bulan sejak pandemi virus korona dimulai, ribuan orang Asia di Amerika Serikat telah menjadi sasaran pelecehan dan penyerangan. Insiden rasis dimulai ketika kasus pertama virus korona menyebar ke seluruh Cina Desember lalu.

Ketika infeksi muncul di Amerika Serikat, Presiden Trump berulang kali menyebut Covid-19 sebagai “virus Cina” dan “flu Cina”, dan mendorong teori yang tidak terbukti bahwa virus itu berasal dari laboratorium Cina. Pada April, jajak pendapat yang dilakukan oleh IPSOS, menemukan bahwa tiga dari 10 orang Amerika menyalahkan Cina atau orang Cina atas virus tersebut.

Pada tahun 2015 berdasarkan laporan yang dirilis pewresearch.org populasi Cina di Amerika Serikat hampir lima juta orang. Sekali pun Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki pengalaman demokrasi yang cukup tua, namun demikian bukan berarti di negara ini tidak pernah ada produk perundang-undangan yang rasialis.

Orang Tionghoa dilarang masuk ke Amerika Serikat setelah ditandatangani  Chinese Exclusion Act pada tahun 1882. Undang-undang tersebut ditarik pada tahun 1943. Baru tahun 1965 setelah pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan liberalisasi imigrasi, etnis mana pun, termasuk Tionghoa tidak dikenai pembatasan untuk masuk dan bermigrasi ke negara ini.

Dalam novelnya, Saul Bellow memang tidak berbicara masalah konflik rasial. Novel yang hanya berisi 124 halaman ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Clara yang kehilangan cincinnya. Cincin itu adalah simbol pertunangannya dengan Ithiel (Teddy) Regler, seorang lelaki yang tak pernah berhasil dimiliki sepanjang hidupnya.

Cincin itu tetap disimpan Clara, kendati ia telah melewati empat kali perkawinan, terakhir ia menjadi istri Wilder Velde. Cincin permata ini pernah hilang dua kali. Kali pertama hilang, cincin ini diketemukan kembali di samping tempat tidurnya. Hilang untuk kali kedua, Clara mencurigai pacar Gina Wegman sebagai pencurinya. Di hampir ujung cerita, Clara mendapatkan kembali cincin itu yang tergeletak di atas meja kamar tidurnya. Melalui Lucy, anaknyalah, cincin itu dikembalikan.

Dalam novelnya, Saul Bellow secara implisit ingin mengatakan bahwa Amerika Serikat adalah kuali adukan, yang sekian banyak etnis dan keyakinan dapat hidup bersama, dan menjamin hak hidup dan kebebasan mereka. Amandemen Pertama Amerika Serikat menjamin kebebasan beragama, berekspresi, berkumpul, dan hak untuk mengajukan petisi.

Kongres dilarang untuk memromosikan satu agama di atas yang lain dan juga membatasi praktik keagamaan individu.  Kongres juga dilarang membatasi pers atau hak individu untuk berbicara dengan bebas, dan juga menjamin hak warga untuk berkumpul secara damai dan mengajukan petisi kepada pemerintah.

Tokoh-tokoh dalam novel ini memiliki latar belakang etnis yang beragam. Gina Wegman adalah gadis au pair yang berasal dari Austria. Gadis-gadis au pair lainnya di tempat Clara Velde berasal dari Perancis dan Skandinavia. Dari empat orang yang pernah menikahi Clara juga berasal dari latar belakang yang beragam.

Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia barangkali jauh lebih kuno dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Jika orang Tionghoa masuk ke Amerika Serikat baru pada awal abad ke-19, maka diperkirakan pada abad ke-4 mereka sudah mendiami kepualuan Nusantara ini. Kebencian terhadap etnis Tionghoa juga telah berlangsung dalam masa yang sangat panjang, dari masa kolonial, pasca kemerdekaan, masa Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi, dan masih berlangsung hingga kini.

Di zaman teknologi maju, kebencian tidak hanya berlangsung di ruang fisik, namun yang lebih marak adalah di jagad maya. Di satu sisi pelegalan perayakan Imlek di area terbuka adalah sebagai simbol kemajuan yang sangat berarti terhadap pemenuhan hak-hak etnis Tionghoa, namun di sisi lain realitasnya hingga kini ternyata masih menyimpan bara yang masih sulit untuk dipadamkan. Perasaan anti Tionghoa yang diekspresikan oleh sebagian masyarakat kita, baik yang bernuansa politik, sosial maupun agama masih menghiasi media masa tanah air, bahkan lebih marak lagi di media sosial.

 

Tiap kali peringatan Imlek di Indonesia, publik selalu mengenang Gus Dur. Presiden R.I. ke-4 ini memang yang memerjuangkan agar perayakan Imlek di Indonesia diperbolehkan kembali setelah di era Soeharto sempat dilarang. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, pemerintah Orde Baru melarang segala bentuk yang berbau Tionghoa, termasuk perayakan Imlek di muka umum. Inpres tersebut dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Di era Presiden R.I. ke-5, Megawati Soekarnoputri, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002.

Gus Dur tidak hanya membela etnis Tionghoa dalam mengekspresikan budaya dan agamanya, namun telah membuka tutup-tutup kebebasan yang dialami oleh minoritas lainnya. Umat Saksi-saksi Yehuwa misalnya, selama pemerintahan Orde Baru juga dibatasi dalam melaksanakan kegiatan keagamaannya. Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor 129 tahun 1976, Saksi-saksi Yehuwa dilarang di Indonesia. Salah satu sekte keagamaan yang berpusat di Amerika Serikat ini dianggap aliran sesat (bidat) oleh sebagian umat Kristiani mainstream. Di era Gus Dur, Saksi-saksi Yehuwa diakui kembali berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor 255/A/JA/06/2001.

Gus Dur, – yang oleh masyarakat Tionghoa di Semarang pada tanggal 10 maret 2004 “dinobatkan” sebagai Bapak Tionghoa, – telah mengembalikan cinta yang hilang, cinta terhadap semua makhluk penghuni tanah air ini, tanah air yang telah kita bangun bersama dalam sejarah yang panjang, tanpa pernah bertanya apa keyakinan kita dan siapa nenek moyang kita. Yang jelas mereka telah ribuan tahun lalu mendiami, merawat, dan menghidupi tanah ini.

Bukankah nenek moyang kita seorang pelaut, yang datang dari negeri seberang nan jauh di sana, kemudian beranak-pinak, dan pada akhirnya lahirlah kita. Tugas kita saat ini adalah mamayu hayuning bawana (mempercantik alam semesta), tentunya dengan cinta. Jangan pernah berbangga diri bila kita telah berhasil menabur kebencian, tetapi bersedihlah bila kita telah kehilangan cinta.

Xinnian kuaile. Gongxi facai. Selamat tahun baru. Semoga banyak rezeki.