
Terakota.id–“Aku punya ide bikin partai baru, namanya partai anjing. Logo gambar partai garis segilima, tengahnya gambar anjing……” Itulah penggalan lirik lagu Partai Anjing yang diciptakan dan dinyanyikan Iksan Skuter.
Bernama lengkap Muhammad Iksan, Lahir di Blora 1981. Kemudian dikenal dengan Iksan Skuter. Skuter sendiri merupakan akronim dari Seniman Kurang Terkenal. Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), bermain musik. Hijrah ke Malang sejak kuliah hingga sekarang menetap di Kota Malang. Menamatkan pendidikan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Merintis karir sebagai gitaris Putih Band, hingga memilih berkarir sebagai solois, penyanyi atau pemusik tunggal.
Karir bermusik dilalui sejak 2000. Total selama 18 tahun Iksan menjalani perjalanan hidup sebagai musisi. Mencecap asam garam di dunia musik, ia hafal lika-liku di belantika industri musik nasional. Awal karir bermusik, melalui jalur indie, menciptakan lagu, merekam dan mendistribusikan lagunya sendiri. “Itu era berdikari,” kata Iksan.
Kala itu, identik dengan kebebasan dalam berkarya. Saat memasuki dunia rekaman di label mayor atau perusahaan rekaman besar ia terbawa arus mengikuti keinginan pasar. Perusahaan rekaman merupakan raksasa pengelola musik dari hulu sampai hilir.
Bagian dari industri musik yang menangani produksi, distribusi, pemasaran, dan promosi konten musik. Tidak jarang juga sekaligus berperan sebagai manajemen artis. Didukung dengan finansial besar dan juga jejaring yang luas.

Di Indonesia, menurut Wendi Purtanto dalam Rolling Stone Music Biz (2009: 58), terdapat dua pemahaman mengenai label mayor di Indonesia. Yakni label mayor Internasional atau big four (Universal Music, Sony BMG, EMI, dan Warner Music) dan label mayor lokal (Aquarius, Nagaswara, Trinity Optima, dan lainnya).
Setelah beberapa tahun berada di label mayor, tepat pada 2010, Iksan kembali ke jalur indie. Keputusan diambil setelah kontrak selesai. Selama di label mayor Iksan merekam banyak hal, baik yang sifatnya positif maupun negatif.
“Ada banyak ilmu yang aku ambil selama di mayor. Profesionalitas. Apa sih musik di konteks bisnis. Sebagai seniman harus bisa menjelaskan alasan kita bermusik. Lalu, pas perform harus bagaimana?,” tutur Iksan Skuter.
Setelah dari label mayor Iksan sadar, indie ternyata merupakan perlawanan terhadap sistem yang mendominasi. Sistem label mayor, menurutnya, seni diarahkan untuk tujuan tertentu. Misalnya, murni bisnis, ataupun murni fashion. Selain itu, di label mayor musisi tidak bisa melawan. Selain itu juga selalu didesak waktu.
“Musisi-musisi major seharusnya juga memperingati hari buruh. Karena mereka tidak ubahnya buruh. Sehingga, kita harus melawan perlakuan kepada karya itu. Kita membuat sistem sendiri, yang menempatkan kita sebagai tuan atas karya sendiri,” jelas Iksan.
Berakhirnya kontrak, berbarengan dengan senjakala nasib grup band Iksan, Putih Band. Era kejayaan Putih berakhir di pengujung 2010. Grup band asal Malang yang sempat menggebrak belantika musik nasional ini pun resmi vakum dari dapur rekaman dan panggung musik nasional sejak 2011.
Menempuh Jalur Indie
Iksan menerjang batas. Ia menolak kandas bersama Putih Band yang tinggal kenangan dan cerita. Iksan memilih, memutuskan, dan meyakinkan diri untuk bersolo karir. Terbukti, pilihannya tidak keliru.
“Sampai di titik aku harus berkarya. Pokoknya berkarya. Tugasku membuat karya. Kalau terkenal itu imbas karya. Karya sebagai pertanggungjawaban seorang musisi,” ucap Iksan.
Setelah bersolo karir di jalur indie, Iksan mengaku lebih bebas mendayagunakan kreatifitasnya. Satu hal yang langka ketika berada di jalur label mayor. Di sana ia dituntut berfikir banyak hal.
“Mempertimbangkan lagunya booming atau tidak, disukai pasar tidak. Kita menjadikan pasar sebagai pertimbangan utama,” ucap Iksan.
Iksan meyakini kalau prioritas utama dalam berkesenian bukanlah materi. Ekonomi bukan tujuan pertama. Ia membandingkan ketika berada di label mayor dengan saat berada di jalur di indie, yang jauh berbeda. Bukan soal materi, namun kenyamanan. Iksan lebih menikmati atas karya yang diciptakan
“Kalau di mayor pemotongannya banyak. Gini-gini, klutik. Malih gedebuk. Saya pernah bikin lagu buat band orang lain. Untuk Musikimia di label Sony Music, sampai detik ini belum pernah ada report royalti. Lagu saya di Kotak Band, dari setahun hanya, aduh gak tega mau bilang. Lalu, laguku dipake D’masiv, sama,” kenang Iksan.
Iksan tidak tahu sistem seperti apa yang sebenarnya dipakai mereka. Karena, menurutnya, kondisinya searah, sepihak. Di mata Iksan, kondisi musisi Indonesia sangat lemah. Kalaupun ada badan yang menaungi musisi untuk bicara konteks royalti, selama ini tidak bergerak sebagaimana mestinya.
“Kontrak selalu ada. Tapi kita tidak punya posisi tawar. Masuk ke label, ya sama kayak buruh outsourching. Enggak punya kejelasan. Entah di sub ke berapa. Makanya saya bicara ke teman-teman, ayo indie musik. Kemandirian bermusik. Kita jadi bosnya, kita mengatur hulu hilirnya,” ucap Iksan.
Ibarat perang, karya musisi adalah peluru. Semakin produktif berkarya, pada gilirannya ia akan menguasai medan. Iksan meresapi hal itu, sehingga tanpa lelah mengukir karya. Tidak mempedulikan lagunya bakal laku atau tidak.
Sebagai solois, anak rohani pertamanya ialah album berjudul Matahari, berisi 15 lagu, rilis tahun 2012. Hanya berselang satu tahun, 2013, Iksan kembali meluncurkan album barunya berjudul “Folk Pupuli, Folk Dei”, berisi 10 lagu. Ibarat derasnya arus, Iksan Skuter tak terbendung. Hampir setiap tahun, Iksan Skuter merilis album baru. Album “Kecil Itu Indah Vol. 1” rilis tahun 2014, disusul album “Shankara” (2015), album “Benderang Terang” (2016), album “Gulali” (2017), album “Kecil Itu Indah Vol. 3” (2018), album “Live Session Vol. 4” (2018), dan album “Bapakku Indonesia” (2018).
Hingga detik ini, Iksan sudah menghasilkan 9 album dengan total sekitar 89 lagu. Jumlah ini belum termasuk lagunya yang masuk di album kompilasi: ada sekitar 8 album. Sebut saja: kompilasi “Frekuensi Perangkap Tikus” (ICW, 2012), kompilasi “Ruang Putih Vol 2” (2013), kompilasi “Green In Peace”, kompilasi “Kecil Itu Indah Vol.2” (2015), kompilasi ‘Sanak Kadang Vol. 1” (2014), kompilasi “Sepi” (2014), kompilasi “Papuai Itu Kita” (2016), dan kompilasi “Perangi Korupsi” 2018. Selain itu, dalam waktu dekat Iksan Skuter juga bakal merilis albumnya yang ke sepuluh.
Untuk mendukung aktivitas berkeseniannya, Iksan Skuter membuat kedai kopi yang sekaligus dilengkapi dengan studio musik. Srawung Record satu bangunan dengan Warung Srawung. Ia juga menginisiasi Srawung Media demi mengimbangi dunia yang dilipat dan terkoneksi dalam jejaring teknologi komunikasi-informasi. Medianya ini diikhtiarkan sebagai literasi musik.
Penerus Iwan Fals?
Iksan menyandingkan genre musik dengan politik kolonial masa lampau. Di mana kolonialisme mengotak-kotakkan suku-suku bangsa dan membenturkannya. Dalam musik, genre menurut Iksan merupakan upaya pengotak-kotakan karya demi keuntungan industri. Sehingga Iksan harus melepas sekat itu. Ia tidak terlalu peduli dengan genre musik yang dimainkan. Terpenting bagi Iksan terus menciptakan lagu dan bermusik.
“Ada yang bilang balada, ada yang bilang folks. Intinya aku tidak men-declare aku bergenre A. Tidak terjebak identitas. Bagiku seni sangat cair, harus bisa bergerak ke manapun. Tidak menutup kemungkinan, di album keberapa aku akan mengaransemen dangdut. Atau tiba-tiba reggae atau tiba-tiba kartolo. Bisa juga sholawatan,” ucap Iksan.
Banyak kalangan mengidentikkan Iksan dengan Iwan Fals. Ia disebut penerus Iwan Fals. Namun, Iksan menolak. Kalau gaya bermusik yang dipilih Iksan mirip karya Iwan Fals itu berada di alam bawah sadarnya. Lantaran, ketika Iksan bisa mencerna karya beriringan dengan masa keemasan Iwan Fals. Abangnya, tetangganya, dan lingkungan sekitar kerap memutar lagu-lagu Iwan Fals, Gombloh, Sawung Jabo, Ebiet G Ade.
“Nah mungkin, wajar bagiku seni musik berpengaruh pada tumbuh kembang seseorang. Data dari musik yang kira-kira tidak jauh dengan pilihan musik saya, ya Iwan Fals, Franky, Gombloh, atau Ebiet. Tanpa sadar kadang baru menyadarai kalau laguku mirip. Konteksnya aku, alam bawah sadarku mengarahkan ke sana.” ujar Iksan.
Bagi Iksan, sangat mungkin anak-anak yang 5 tahun 10 tahun ke depan akan terpengaruh Ariel. Baik sikap, fashion, budaya membuat karya, atau apapun berkaitan dengan Ariel. Karenanya, seni musik sangat berpengaruh. Artinya, fungsi seni itu sangat dominan. Hanya saja ia main di alam bawah sadar.
Namun, ia enggan dibanding-bandingkan atau bahkan diidentikkan dengan Iwan Fals. Ia tidak mau meniru atau memirip-miripkan suara agar seperti Iwan Fals. Tapi bagaimanapun, Iksan menginsafi kalau dirinya terjebak di era-era itu.
“Secara sadar ingin seperti Iwan Fals tidak. Kalau persepsi orang ya silahkan,” tandas musisi pembuka konser Mata Hati Iwan Fals di Graha Cakrawala, Universitas Negeri Malang, Sabtu 26 November 2016.
Merespon Fenomena Sosial di Sekitar
“Hingga pabrik tiba/ Petani di penjara/ Hingga pabrik datang/ Sawah perlahan menghilang/ Hingga pabrik tiba/ Petani memburuh ke kota/ Petani di benci pemimpinya/ Ada pula yang hilang nyawanya, hilang hidupnya//”
Petikan lirik-lirik ini ada di lagu berjudul “Lagu Petani,” ciptaan Iksan Skuter, masuk dalam album Benderang Terang yang dirilis 2016. Suara serak, petikan gitar yang pas dan lirik yang kuat, kritis nan cadas telah menempatkan Iksan Skuter sebagai musisi yang peduli atas derita masyarakat di sekitar. Liriknya merespon fenomena korupsi, perampasan lahan petani, kekerasan terhadap masyarakat Papua, kesenjangan sosial, pendidikan yang kian mahal, dan selaksa derita kemanusiaan lainnya.
Tentu banyak juga lagu yang diciptakan Iksan Skuter yang berbicara di luar tema itu. Tentang persahabatan, cinta, kerinduan, sosok seorang bapak, dan sebagainya. Sederhananya, Iksan Skuter adalah musisi yang komplit.
Iksan turut memperhatikan dunia anak-anak, mencemaskan tumbuh kembangnya anak yang diasuh budaya orang dewasa. Alam pikir anak-anak tercemar sesuatu yang tak sesuai dengan usianya. Apalagi, anak-anak lebih fasih melantunkan lagu orang dewasa. Padahal, belum tentu liriknya sesuai dengan perkembangan mereka.
Sebagai musisi Iksan Skuter tidak tinggal diam, ia menciptakan sejumlah lagu yang khusus dipersembahkan untuk anak-anak. Album ketiganya, “kecil itu indah” terdiri dari delapan yang didedikasikan untuk anak-anak Indonesia. Di luar itu, ada pula lagu berjudul di bawah langit yang sama. Lagu dibawakan D’Masiv dan terpilih mengisi lagu tema film animasi asal Malaysia, BoboiBoy The Movie.
Pada perayaan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2018, Iksan Skuter merilis musik klip berjudul terima kasih petani. Menyorot anak-anak sebagai pemeran utama, sedangkan lokasi pertanian dipilih sebagai latar. Iksan berharap anak-anak Indonesia dapat mengenal dan belajar dari lingkungan sekitar. Termasuk dalam hal pertanian.
Dalam penggarapannya, Iksan Skuter bekerjasama dengan Gubuk Baca Lentera Negeri di Jabung Malang dan Bedjo Sandy dari Teater Celoteh. Iksan juga musisi yang konsisten mendukung gerakan anti korupsi. Nanang Farid Syam, spesialis kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan mengenal Iksan Skuter secara tidak sengaja pada 2012.
Ketika itu tengah berlangsung demo #SaveKPK di Bundaran Hotel Indonesia. Keduanya sempat berbagi panggung. Iksan Skuter menyanyi sedangkan Nanang Farid Syam berorasi. “Lagunya sangat berani. Dan bagi saya sangat sarkastik. Liriknya menggelitik, dinyanyikan dengan asyik. Setelah mendengar bisa segera mengikuti dan.menghafal liriknya. Seingat saya Iksan Skuter waktu itu “dibawa” oleh ICW (Indonesia Corruption Watch),” terang Nanang Farid Syam kepada Terakota.id melalui aplikasi perpesanan.

Nanang menilai Iksan Skuter sebagai sosok musisi yang sederhana dan mudah bergaul. Tak jarang Iksan Skuter naik ojek dan tampil tidak formal. Keduanya kembali disatukan pada 2015, saat Nanang Farid Syam menginisiasi sebuah kolaborasi bareng musisi Marjinal yang dimotori Mike dan Bobi. Mereka menghasilkan Kompilasi Perangi Korupsi (KPK).
Selain Marjinal dan Iksan Skuter, kompilasi lagu anti korupsi ini diikuti oleh Navicula, Orkes Melayu PMR, Tapak Rasta, Sisir Tanah, Simponi, Vacant, MSI. Mereka berasal dari berbagai genre musik. Namun, berada dalam satu frekuensi untuk mengkritik ketidakadilan dan praktik korupsi.
“Masing-masing mempunyai ciri khas. Iksan Skuter sebagai musisi solois punya cara yang khas dalam menyapa penggemarnya. Dialog-dialog yang langsung dengan penggemarnya sehingga tidak ada jarak dan membuat konsernya menjadi lebih hidup,” jelas Nanang.
ICW pernah merilis album “Frekuensi Perangkap Tikus: Kompilasi Musik Anti Korupsi” 2013. Kompilasi musik ini mengonsolidasikan energi para musisi, antara lain Iksan Skuter, Harlan Boer, Simponi, Morfem, Eye Feel Six, dan Navicula, dan sebagainya. Mereka adalah pendukung gerakan anti korupsi melalui seni antikorupsi.
Dalam kampanye ini, Iksan Skuter dengan lagunya “Partai Anjing” berhasil menyita perhatian publik. Ia pun diundang di acara Kick Andy. Iksan Skuter diminta menceritakan ihwal lagu “Partai Anjing.”
“Dengan ICW, waktu itu 2012. ICW buat program kampanye anti korupsi via seni anti korupsi. Aku belum kenal ICW Ada teman dari Universitas Brawijaya kerja di Jakarta sebagai jurnalis. Dia yang mengenalkan dengan ICW. Lalu, setelah sama ICW, dengan Greenpeace dan Walhi. Tinggal menunggu MCW (Malang Corruption Watch), kapan bikin album?,” ujar Iksan Skuter menyentil MCW, jaringan ICW yang ada di Malang, untuk mengagendakan program serupa.
Meski begitu, Iksan Skuter tetap rendah hati, tidak mau disebut mengkritik melalui lagu-lagu yang diciptakan. Bagi Iksan seorang seniman bekerja merekam apa yang dilihat, didengar, dan dirasa. Seniman merespon apa yang terjadi dengan karya seni.
“Musisi lalu menyampaikan melalui medium musik. Kalau ada yang merasa terkritik, berarti ada apa-apa,” tandas musisi yang turut mengisi “Panggung Solidaritas dan Doa untuk Korban Penggusuran di Kulon Progo” di Kedai Kebun, Yogyakarta, Kamis 14 Desember 2017.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
Keren….. Iksan Skuter itu salah satu idola saya