
Oleh : Wahyu Kris*
Terakota.id–Intoleransi dan perundungan adalah dosa besar pendidikan yang tengah ditebus Kemendikbud dengan Profil Pelajar Pancasila. Namun, ruang publik justru disesaki dengan praktik-praktik intoleransi dan perundungan. Parahnya, praktik-praktik menjijikkan tersebut dilakukan oleh oknum pendidik dan politikus yang mestinya menjadi teladan.
Dosa besar pendidikan kita setidaknya ada empat: intoleransi, perundungan, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan. Mas Menteri bersama kemendikbud kemudian berikhtiar menebus dosa besar tersebut dengan menguatkan pendidikan karakter. Penguatan pendidikan karakter ini bertujuan mewujudkan Profil Pelajar Pancasila sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.
Tersurat jelas bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendukung visi dan misi presiden untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Siapakah Pelajar Pancasila? Pelajar Pancasila adalah pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pelajar merujuk pada setiap orang yang sedang belajar. Mereka yang tercatat sebagai siswa sekolah tapi enggan belajar sesungguhnya bukan pelajar. Sebaliknya, mereka yang sudah lewat masa sekolahnya tapi tak pernah berhenti belajar adalah pelajar. Siswa sekolah yang malas mempelajari hal baru di luar kurikulum sekolah bukanlah pelajar.
Pekerja pabrik yang bersedia meluangkan waktu untuk menambah keterampilan baru adalah pelajar. Guru yang praktik mengajarnya selalu kreatif-inovatif-inspiratif adalah pelajar. Politikus yang memraktikkan teladan integritas adalah pelajar. Orang tua yang getol memperlengkapi diri dengan literasi media digital demi mendampingi anaknya adalah pelajar.
Kata ‘pelajar’ direkatkan dengan frasa ‘sepanjang hayat’. Ini layak digaribawahi. Pelajar bukanlah pelajar apabila tidak belajar sepanjang hayat. Belajar untuk ujian, belajar untuk lulus sekolah, dan belajar untuk ijazah, adalah pengerdilan paling keji terhadap keluhuran makna belajar. Setiap proses dalam kehidupan sesungguhnya adalah proses belajar. Proses belajar baru selesai ketika kehidupan selesai.
Profil Pelajar Pancasila memiliki enam karakter utama, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, bernalar kritis, kreatif, mandiri, bergotong royong, dan berkebinekaan global.
Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia berarti memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Semua itu mewujud dalam akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam; dan akhlak bernegara.
Berkebinekaan global berarti mampu mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitas di tengah budaya global. Namun, tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain, sehingga tidak terjebak pada perasaan minder ataupun sombong. Elemen kunci kebinekaan global meliputi kemauan mengenal dan menghargai budaya, kemampuan menjalin persahabatan inter-kultural dan antar-kultural, serta kesediaan berinteraksi dengan budaya global.
Bergotong royong merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan. Elemen-elemen bergotong royong adalah kolaborasi, kepedulian, dan berbagi. Mandiri berarti siap bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri dari kesadaran akan diri dan situasi kontekstual yang dihadapi serta regulasi diri.
Bernalar kritis berarti mampu secara obyektif memproses informasi, membangun keterkaitan antar informasi, menganalisa informasi, mengevaluasi penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berpikir, serta mengambil keputusan. Tidak menjadi korban dan penyebar kabar bohong adalah salah satu cirinya. Kreatif berarti mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak nyata bagi masyarakat.
Visi Kemendikbud mewujudkan Profil Pelajar Pancasila mesti menjadi ikhtiar bersama sebagai sebuah bangsa. Pendidikan terlalu besar untuk diserahkan kepada sekolah. Setiap warga negara, apapun pekerjaan atau profesi yang digelutinya, mesti menyadari peran pendidik yang tertanam dalam dirinya. Menjadi pendidik bukan berarti berbondong-bondong menjagi guru di sekolah. Menjadi teladan adalah cara terbaik menjadi pendidik. Satu teladan lebih berdampak daripada berjuta kata-kata.
Tahun 2021 dibuka dengan serangkaian bencana alam. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus terjadi di berbagai tempat. Ini adalah momentum pendidikan. Akhlak kepada alam mesti menjadi kesadaran kita bersama. Akhlak kepada alam merupakan bagian dari akhlak mulia sekaligus bentuk nyata ketakwaan terhadap Tuhan YME. Kita perlu mengambil waktu untuk berefleksi tentang cara kita beragama. Betapa konyolnya kita ketika menyembah Tuhan sembari menghancurkan alam ciptaan Tuhan. Lebih konyol lagi ketika ada yang mendakwa curah hujan sebagai penyebab banjir.
Tak lama berselang, ruang publik kita disesaki berita miris sekaligus menjijikkan. Yang pertama adalah berita tentang indikasi pemaksaan seragam sekolah beraroma intoleransi. Yang kedua adalah berita perundungan berbau SARA. Keduanya muncul di tengah giatnya pembentukan Pelajar Pancasila sebagai upaya penebusan dosa pendidikan. Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana perasaan anak-anak apabila disuguhi fakta intoleransi dan perundungan ketika mereka sedang butuh teladan?
Hari ini, kita tak bisa menyembunyikan fakta dari anak-anak. Selain karena kemahiran mereka mengakses informasi dengan perangkat digital, dunia kontekstual adalah tempat terbaik untuk belajar. Sekolah termahal tak menjamin proses belajar terbaik. Sebaik-baiknya sekolah dibatasi oleh dokumen kurikulum, dinding kelas, dan pagar sekolah.
Dunia pendidikan harus bertransformasi menjadi amphibi. Bergerak di dunia nyata sekaligus jagat maya. Media sosial mesti dimanfaatkan sebagai ruang belajar. Sebagaimana paparan penulis Okky Madasari, media sosial adalah ruang publik yang harus dimanfaatkan, diintervensi, dan diperebutkan. Kebisingan dan kedangkalan yang mendominasi media sosial harus diubah menjadi percakapan gagasan, ekspresi kreativitas, opini yang berdampak, pertanyaan kritis dan cerita-cerita yang berjiwa.
Cerita berjiwa yang paling berjiwa adalah cerita keteladanan. Segenap elemen bangsa harus menjawab kebutuhan pendidikan akan keteladanan. Media sosial adalah ruang publik yang mesti dipenuhi dengan cerita berjiwa berupa keteladanan. Politikus dan pekerja pabrik punya peran setara dalam keteladanan. Pun dengan figur publik, pemimpin daerah, selebritas, dan pegiat media sosial, apalagi orang tua dan pendidik.
Agar keteladanan kita berdampak, mari mengheningkan cinta guna meresapi kembali pesan Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi Neng-Ning-Nung-Nang. Neng berarti meneng, diam untuk mendengarkan penuh perhatian. Ning berarti wening, jernih hati dan pikiran. Nung berarti Hanung, memiliki kebesaran hati dan jiwa. Nang berati menang, memenangkan dimensi lahir dan batin.
*Penulis Kepala SMPK Pamerdi Kabupaten Malang, penulis buku Mendidik Generasi Z dan A dan penerima penghargaan Kepala Sekolah Inovatif Kemendikbud 2020.
**Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan melalui surel : redaksi@terakota.id. Subjek : Terasiana_Nama_Judul. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi