Salah satu adegan Pentas NAKAMITSU, 2014. Naskah oleh Zeami. Dan Mohammad Sinwan, Sutradara. (Sumber: Arsip Teater IDEoT)
Iklan terakota

Oleh: Abdul Malik*

Terakota.id–Teater IDEoT Malang akan merayakan hari jadinya yang ke-33 tahun pada
28 Oktober 2017 nanti. Kurun yang tidak bisa dikatakan pendek bagi suatu perjuangan merawat denyut kehidupan teater. Tentu bukan sesuatu yang mudah dan sepele. Apalagi jika ia berada di tengah musim kebudayaan yang populer, instan, dan digerakkan oleh industri. Berkesenian saja tidak cukup. Mereka yang bergelut di dunia seni, mau tidak mau juga harus banting tulang bekerja dengan ragam profesi lainnya.

Awal mula berdiri, Teater IDEoT ini merupakan teater sekolah di SMA Negeri 4 Malang. Ia berdiri pada 28 Oktober 1984 dengan nama IDEA. Selang beberapa tahun, tepatnya 1 November 1986, teater ini merubah diri. Dari teater sekolah menjadi teater umum. Sejak saat itu, Teater IDEA pun berganti nama menjadi Teater IDEoT.

Puluhan karya pementasan telah mereka produksi. Puluhan orang silih berganti berproses mengiringi perjalanan hidup Teater IDEoT. Karenanya, menjelang usi yang memasuki tahun ke-33, ihwal kebertahanan dan perjuangan teater ini, layak disimak.

Berikut wawancara saya, Abdul Malik, penulis seni, dengan Moehammad Sinwan, penulis, pendiri, sutradara Teater IDEoT. Wawancara dilakukan di Sanggar Teater IDEoT, Perum IKIP Tegalgondo Asri Blok 2F/07, RT.40 – RW.09, Tegalgondo, Malang, Minggu 22 Oktober 2017.

Abdul Malik (AM):Tanggal 28 Oktober 2017 Teater Ideot merayakan Hari Jadi ke-33 tahun.Bagaimana refleksi Bung Sinwan sebagai pendiri dan sutradara Teater Ideot di hari ulang tahun Teater Ideot?

Moehammad Sinwan (MS): Bagi saya, berteater adalah salah satu cara “untuk berguna” dalam hidup. Sebab segala sesuatu yang tak menghasilkan kegunaan, sesungguhnyalah tak perlu ada atau tak perlu dijalani.

Teater juga merupakan tempat untuk menciptakan kebahagiaan bersama, sebab jika kebahagiaan yang tidak tercipta dalam (dan untuk) kebersamaan, sebenarnyalah “kebahagiaan” itu belum benar-benar merupakan ‘kebahagiaan’ yang ‘membahagiakan’.

Berpijak dari dua filosofi hidup di atas (di antara berbagai filosofi-filosofi hidup yang bertebaran), kami pun (Alhamdulillah) diberi karunia untuk bertahan selama 33th. Mungkin itu adalah waktu yang tidak ‘sebentar’. Tapi bagi kami sendiri, itu juga bukan ‘hal yang istimewa’. Sebab apalah arti ‘waktu yang tak sebentar’ itu, jika kegunaan kami belumlah memadahi sebagai sebuah kelompok yang berusia cukup panjang dalam hitungan ‘bilangan waktu’. Terkhusus kegunaan yang memadahi bagi kehidupan, maupun bagi kehidupan perteateran atau berkesenian.

AM: Untuk mensyukuri hari jadi Teater Ideot ke-33 tahun apakah ada agenda kegiatan khusus?

MS: Untuk itulah, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan dukungan kebaikan hati berbagai pihak, maka dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-33 Teater IDEōT, serta untuk mencapai “kebergunaan yang lebih” dari keberadaan kami, maka dengan segala kerendahan hati, kami akan menyelenggarakan acara: KADO 33TH TEATER IDEoT, yang meliputi tiga hajat: (1) Launching Buku 32Th Teater IDEoT yang alhamdulillah telah masuk cetakan kedua; (2) Launching Badan Hukum IDEOT INDONESIA; dan (3) Workshop Teater “IDEoT BERBAGI” 2017 (The Spesial Edition), dengan Pemateri: Saya sendiri (MOEHAMMAD SINWAN) dan dengan Pemateri Tamu: TONY BROER. Dan tidak ketinggalan dibantu oleh 3 orang Instruktur Lapangan: Agus Babe, Bayu Kresna Murti, dan Adhi Tiada Tara, yang ketiga-tiganya adalah ‘alumnus’ Teater IDEoT juga.

AM: Wah, menarik rangkaian kegiatan 33 Tahun Teater Ideot. Apakah masyarakat umum boleh mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut?

MS: Memang ini merupakan persembahan untuk masyarakat umum. Kalangan luas. Dan bahkan kami mengagendakan untuk mengundang dari berbagai lapisan masyarakat dan berbagai pihak dalam bidang kehidupan masing-masing.

Ya ada pejabat yang kami undang, pihak-pihak non-pemerintahan juga, tokoh-tokoh seniman & budayawan, perwakilan teater, dan masyarakat yang memiliki kepedulian khususnya terhadap teater.

AM: Dapatkah diceritakan tentang isi Buku 32 Tahun Teater Ideot?
MS: Secara singkat, isi buku 32th Teater IDEoT yang saya susun, dari berbagai tulisan, baik dari tulisan-tulisan saya sendiri, maupun dari tulisan-tulisan teman-teman, sahabat, dan para alumnus ini merupakan refleksi dari sebuah perjalanan panjang kami dalam mengarungi “belantaran” kehidupan berteater di Teater IDEoT.

Bagaimana kami harus bertahan dalam menjaga konsistensi berteater dan berkehidupan. Bagaimana kami harus terus-menerus tidak boleh ‘lelah’ dalam merawat idealisme yang kami yakini sebagai sebuah pondasi dalam meraih sebuah kebahagiaan hidup.

Dan dalam buku tersebut juga tercatat bagaimana para alumnus yang dulu pernah ikut menjadi bagian dalam proses sejarah teater IDEoT, kini mereka telah menempatri posisi masing-masing dalam kehidupan, dan bagaimana dan apa saja yang mereka rasa ketika mereka menjadi bagian dari ‘pergulatan’ hidup’ Teater IDEoT.

Dan beberapa sahabat saya pun, ada beberapa orang yang menuliskan kesaksian-kesaksian mereka tentang teater IDEoT dan tentang berkesenian kami.

AM: Kemdikbud melalui Dirjen Kebudayaan ada Hibah untuk Komunitas Seni, demikian juga dengan Badan Ekonomi Kreatif. Banyak komunitas seni yang belum dapat mengakses karena persyaratan legalitas berbadan hukum. Bagaimana Bung Sinwan menyikapi hal tersebut?

MS: Alhamdulillah, dengan berhasilnya kami urus legalitas Badan Hukum untuk IDEOT INDONESIA, yang merupakan back-up bagi laju perjalanan Teater IDEoT ke depan, maka di tahun 2017 ini, tepat di usia 33 tahun Teater ini, kami sudah menyiapkan diri dan bertekad untuk “memulai go-public”.

Jadi, kami akan coba untuk mengakses segala peluang perkembangan, peluang kemajuan, serta peluang masa depan yang sudah makin tersedia dan menanti itu.

Semoga, di usia dengan angka yang ‘cantik’ ini, dan ditahun yang “tepat” ini, kami akan benar-benar bisa mengejawantahkan segala cita-cita dan segala harapan dalam kehidupan. Sebagaimana setiap makhluk pasti memiliki cita-cita dan harapan, tentunya.

AM: Moehammad Sinwan dan Teater Ideot identik dengan teater realis. Saya melihat poster dan membaca informasi Workshop Teater Ideot Berbagi 2017 ( Special Edition) dengan Pemateri: Moehammad Sinwan dan Tony Broer. Saya mencatat Tony Broer adalah aktor teater yang intens dengan Teater Tubuh. Konsep estetika teater apakah yang hendak Bung Sinwan tawarkan kepada masyarakat teater di Malang?

MS: Hidup memang harus realistis. Itu iya.

Tetapi Moehammad Sinwan dan Teater IDEoT identik dengan teater ‘realis’ itu nanti dulu.
Prinsip berkesenian saya bukanlah “berkesenian” untuk mengabdi kepada seni itu sendiri, atau bukan pula sekedar mengabdi untuk masyarakat.

Memang, ada juga seseorang atau pihak-pihak tertentu yang pernah mendikotomikan saya dan kesenian saya ke dalam koridor: “Seni untuk Seni” versus “Seni untuk Masyarakat”.

Tetapi, saya juga menolak itu. Bagi saya, berkesenian saya tak sebatas untuk hal-hal itu. Namun seni dan berkesenian saya adalah untuk “hidup dan kehidupan”. Jika baru-baru ini muncul statemen Seno Gumira Ajidarma, yang mengatakan bahwa Seni tak sekedar berurusan dengan ‘keindahan’ semata. Itu saya sepakat banget. Sebab sejak awal dan selalu saya pegang dalam perjalanan berkesenian saya, bahwa “teater” dan “berteater” saya adalah salah satu cara untuk “berguna”.

Nah, berguna itu luas. Dia tak hanya berurusan dengan ‘pragmatisme’ semata-mata juga. Namun berguna itu selain ia bermanfaat, bermakna, berarti, dia juga harus menarik dan menimbulkan rasa keindahan.

So, seni itu memang harus indah, tapi ia tak melulu berurusan dengan ‘masalah keindahan’ semata-mata. Ia harus berfungsi, berperan, berguna, dan bermanfaat dalam kehidupan manusia. Seni yang begitulah, yang saya yakini akanb menjadi ‘seni’ yang “tak lapuk dan tak lekang, digerus oleh zaman”!

Jadi, saya bukan penganut sebuah ‘aliran’ dalam berkesenian, tetapi saya adalah pelaku seni, yang terus mencoba mengeksplorasi kreativitas dan daya hidup saya, sesuai ‘persoalan’ hidup yang harus saya hadapi dan jalani.

Akhir-akhir ini, mulai ada beberapa orang yang menangkap prototipe dan gaya berteater saya. Beberapa di antara mereka menyatakan bahwa proses berteater saya dan Teater IDEoT sangat bersentuhan dengan “pembangunan karakter”. Beberapa teman merasa ada yang khas dari proses berteater kami, yakni kental dengan “proses eksplorasi kareakterisasi”.

Nah, bertemu dengan Bang Tony Broer, kami sempat berdiskusi panjang lebar tentang proses berteater kami berdua. Bang Tony sudah sangat dikenal dengan kekuatan “Teater Tubuhnya”. Dan Saya sendiri, mulai ditangkap sebagai “proses teater dalam pembentukan karakter” (Bang Tony Broer, juga sempat mengesani begitu.)

Maka, di tengah diskusi yang asyik itulah, kami bersepakat untuk bertemu, dalam sebuah proses, dalam sebuah workshop. Maka, kami pun deal dengan “berbuat bareng” dalam sebuah workshop, untuk “membangun keutuhan” dalam berteater.

Maka lewat Bang Tony Broer kita akan garap “tubuh” para peserta workshop. Dan lewat saya (Teater IDEoT) akan kita garap, kita eksplore dan kita bongkar “potensi-potensi karakter” yang makin hari makin terpendam oleh “hruk-pikuk” zaman yang lebih dominan menawarkan ‘godaan-godaan’ keasyikan, yang sebetulnya tanpa kita sadari, makin hari makin ‘mendegradasi’ dan mencerabut aspek-aspek ‘manusiawi’ kita.

Jadi, semoga saja benar-benar ini menjadi sebuah momentum ‘bertemunya’ KEKUATAN TUBUH dan KEKUATAN KARAKTER manusia.

Dan jangan lupa lho Bung, sebetulnya, Tony Broer itu bukan ‘ujug-ujug’ sejak awal beliau bermain di wilayah ‘tubuh’. Dia sempat mengakui bahwa dulu, dia juga berentuhan dengan teater-teater ‘realis’ dan teater-teater yang “berkata-kata”.

Memang sih, kebanyakan orang umumnya suka mengesani yang sempat dilihatnya. Tapi, jarang mengorek yang belum pernah terlihat atau dilihatnya juga.

Ini ada pernyataan filosofis menarik barangkali perlu saya sampaikan Bung: bahwa dalam hidup ini ada hal-hal yang “harus Kelihatan dulu baru Memahami”, tapi ada juga hal-hal yang “harus Memahami dulu baru akan Melihatnya”.

Dengan kata lain, untuk hal-hal yang sifatnya ‘fisikly’ atau ‘material’ maka orang harus melihat dulu baru kemudian ia akan memahami sesuatu. Sementara untuk hal-hal yang ‘ruhiah’ atau imatrial, atau ada yang menyebutnya sebagai urusan-urusan ‘ukhrowiyah’, maka orang harus memahami sesuatu dulu, maka dia baru akan bisa melihat ‘sesuatu’-nya itu.