
Terakota.id-–Lelaki berbadan tegap mengenakan kaos bergaris merah dan putih menuding dengan jari telunjuk ke lelaki yang bersimpuh di hadapannya. “Koen eruh kenopo koen ngutang? (Kamu tahu kenapa kamu berhutang?). Karena kekurangan. Koen eruh kenopo aku ngutangi? (Kamu tahu kenapa aku memberi utangan?) Hahaha, karena aku kelebihan. Joyosrondul,” ujar lelaki itu sambil membusungkan dada.
Dialog penggalan adegan pembuka pertunjukan Ludruk Karya Budaya Mojokerto ini disajikan secara virtual. Adegan per adegan direkam di Taman Krida Budaya Kota Malang. Sajian drama tradisional ludruk ini berlangsung selama 60 menit, mengangkat lakon Sabuk Inten Nagasasra.
Pertunjukan dibuka dengan Tari Remo. Celoteh humor satir para aktor menyulut tawa penonton. Beragam isu terhangat diangkat, mulai persoalan Covid-19 yang tak kunjung reda, bantuan langsung tunai, penggunaan istilah-istilah di masa pandemi yang susah dipahami masyarakat awam. Hingga keresahan seniman yang kehilangan banyak ‘tanggapan’ lantaran aturan larangan berkerumun.
Sabuk Inten Nagasasra mengisahkan Joyosrondul, renternir yang berusaha menagih utang Cak Memed, salah satu nasabahnya. Malangnya, Cak Memed belum bisa melunasi utangnya yang jatuh tempo. Ia meminta tambahan waktu pelunasan. “Kisah ini ada di sekitar kita,” kata pimpinan Ludruk Budaya Bersama Mojokerto Eko Edy Susanto melalui sambungan telepon.
Pada masa seperti sekarang, katanya, banyak orang butuh uang. Banyak pula yang mencari utangan. Namun, ada pihak yang mengeruk untung sebanyak-banyaknya seperti Joyosrondul.
Orang-orang yang jengkel dengan kelakuan Joyosrondul berencana mengusilinya. Saat ada utusan kolektor benda antik mencari keris Nagasasra, Cak Memed mengaku memilikinya.
Joyosrandul menawar keris tersebut dan menjanjikan utang Cak Memed lunas. Juga ditambah uang tunai puluhan juta rupiah. Kesepakatan terjalin antara keduanya. Ketika Joyosrandul menyerahkan keris ke perwakilan kolektor, ternyata keris itu bukan Nagasasra. Joyosrandul merugi akibat ulah iseng Cak Memed.
Pementasan Sabuk Inten Nagasasra diperankan lima aktor. Ludruk Karya Budaya Mojokerto memberangkatkan total 24 seniman dalam pagelaran ini. “Lima pemain, dua penari Remo, 10 pengrawit, dan lima orang tim belakang panggung,” ujar Edy.

Pagelaran ludruk disajikan secara luring dan daring. Pertunjukan luring diselenggarakan hari pertama, 24 Februari 2021 di Taman Krida Budaya Kota Malang. Mengundang penonton terbatas, maksimal 40 orang. “Menerapkan protokol kesehatan, jaga jarak antar kursi penonton, setiap penonton Rapid Test dulu sebelum memasuki ruang,” ujar Edy.
Pertunjukan daring ditayangkan melalui akun Youtube Disbudpar Jatim dan Ludruk Karya Budaya Official, tayang premier pada 25 Februari 2021 pukul 15.30 WIB.
Perjalanan Ludruk Karya Budaya
Imawati dalam laporan ilmiahnya berjudul Sejarah Kesenian Ludruk Karya Budaya Mojokerto Tahun 1969 – 2009 mengurai jika peristiwa 30 September 1965 memengaruhi dinamika kesenian ludruk di Jawa Timur. Ludruk tumbuh dan berkembang subur pada 1950 hingga 1965. Banyak kelompok ludruk yang berafiliasi dengan partai politik.
“Rezim Orde Baru melarang pementasan ludruk lantaran dianggap sebagai seni komunis yang lekat dengan Lekra” tulis Imawati.
Awal 1969, pemerintah mengizinkan ludruk kembali tampil dengan pengawasan dan pembinaan dari militer. Terjadi peleburan dan pembentukan grup ludruk pada masa itu. Peleburan ludruk di Jawa Timur pada tahun 1971 diantaranya eks Ludruk Marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma Unit 1, eks Ludruk Anoraga di Malang dilebur jadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II, eks Ludruk Urill A di Malang dilebur jadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit III, eks Ludruk Tresna Enggal di Surabaya dilebur jadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit IV dan eks Ludruk Kartika di Kediri dilebur jadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit V.
Masyatakat Desa Canggu, Mojokerto mendirikan sebuah kelompok ludruk bernama Karya Budaya. Masyarakat Canggu menginginkan kelompok ludruk yang mampu menghibur seperti sebelumnya. Cak Bentoe, warga desa Canggu diminta memimpin kelompok ludruk.
Awal kelompok ini beranggotakan kelompok intelektual seperti guru dan PNS. Ismawati menyebutkan pendirian kelompok ludruk Karya Budaya bertujuan menunjukkan monoloyalitas mereka terhadap Golkar. Mereka pendukung Sukarno dan tergabung dalam GPM (Gerakan Pemuda Marhaenis). Awalnya menolak bergabung dengan Golkar, namun mereka diancam tak diberi gaji bulanan. Mereka akhirnya menyerah juga, masuk sebagai pendukung Golkar.
Kelompok ludruk Karya Budaya menjadi pembuktian mereka yang kala itu masih diragukan. Selain tujuan politis, mereka juga berkeinginan melestarikan kesenian ludruk. Cak Bantoe, merupakan anggota Polri dinobatkan sebagai ketua karena kedudukan citranya mendukung, sebagai anggota Polri, pendukung Golkar. Cak Bantoe merupakan ayah Edy, pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto saat ini.

“Pada 1979-an Ludruk Karya Budaya berkembang pesat. Awalnya hanya nobong atau pentas keliling dari desa ke desa di Mojokerto, bisa nobong ke luar daerah, salah satunya Jombang, “ tulis Ismawati.
Pada 1980-an ludruk mencapai puncak keemasan sebagai media hiburan masyarakat. Pentas ludruk laris. “Pada 1969 sampai awal 1990-an ludruk jaya sekali, dulu 180 pertunjukan per tahun, bisa dibilang dua hari sekali tampil. Pernah satu bulan tampil tiap hari tanpa henti,” ujar Edy mengenang.
Namun setelah tahun itu, Ludruk Karya Budaya turun intensitas pentasnya. Hadirnya teknologi audio-visual membuat msyarakat memilih nonton televisi. Edy menceritakan penonton ludruk tak seramai sebelumnya yang berkerumun, ludruk tampil di undangan-undangan warga. “Tahun – tahun suram untuk pentas pertunjukan Ludruk,” tulis Ismawati.
Sepeninggal Cak Bantoe pada 1993, kepemimpinan kelompok Ludruk Karya Budaya Mojokerto diwariskan kepada Edy. Ludruk Karya Budaya menjual karya pementasan dalam format VCD dan DVD. Sekitar 20 karya direkam dan dijual ke masyarakat, Misteri Watu Blorok, Sakerah, Sarip Tambak Oso, Joko Sambang, Padepokan Gunung Lawu dan lainnya.
Edy juga mulai memberanikan diri mengikutkan Ludruk Karya Budaya tampil di festival seni pertunjukan. Apresiasi berdatangan dari kalangan jurnalis, seniman, budayawan, hingga akademisi. Edy menganggap melalui keikutsertaan festival akan menambah pengalaman ruang pentas. Juga memotivasi anggota berpikiran terbuka terhadap saran dan kritik, media promosi kelompok seni serta mempertajam objektivitas mencermati perkembangan tren seni pertunjukan yang berkembang.
Dalam perjalanannya Ludruk Karya Budaya berhasil menorehkan beberapa prestasi, Lima Penyaji Unggulan Terbaik dalam festival Ludruk se-Jatim, Malang (2005), Penata Gending terbaik dan penari Remo terbaik gaya pria dalam festival budaya Jatim, Surabaya ( 2006 ), Penampilan Terbaik dalam Festival Tari Remo Tingkat Nasional, Surabaya ( 2008 ), Penyaji Tari Remo Terbaik Dalam Festival Jula Juli se- Jatim, Nganjuk (2008), Lima Penyaji Terbaik dalam Festival Teater Tradisional, Pekan Budaya Jatim, Malang (2009).
Kini kelompok ludruk yang beranggotakan 70 orang ini masih aktif bergiat seni. Selama pandemi, Edy mengatakan pentas teropan (langsung) tiga kali dan pentas virtual dua kali.
