
Terakota.id—Akhir-akhir ini berseliweran nostalgia akan sosok almarhum Wahyu Sardono atau yang populer dikenal Dono yang humoris nan progresif. Barang tentu, saya teringat sosok Warkop DKI yang tak lepas dari stigma lucu sarkas. Mungkin, kita bisa beranjak ke masa lalu. Bernostalgia bahwa humor Warkop bukan sembarang humor, tapi penuh sentilan halus menggelitik, membawa satu pengetahuan baru bahwa di republik ini tidak baik-baik saja.
Melihat scene-scene lucu ala Warkop, baik film panjang atau serial televisi, pasti kita akan merasakan sesuatu yang berbeda. Lihat saja ketika waktu masih kecil atau beranjak remaja dulu, mungkin kita hanya menangkap sedikit pesan dari humor yang mereka sampaikan. Selebihnya merupakan euforia komedi yang sukses bikin tertawa, atau mungkin scene bikini yang bikin orang berotak ngeres reaktif.
Coba saja kalau kita menggunakan sedikit prinsip pemikiran logis, mungkin kita akan mempunyai perspektif berbeda dalam melihat lagi film atau serialnya. Harus benar-benar jeli dalam mengamati secara betul-betul apa yang dijabarkan di film atau serial tersebut. Maka kita akan menemukan sesuatu yang cetar di dialog atau gestur tubuh yang ditampilkan oleh trio Warkop yang sarat akan kritik sosial dan makna yang dalam.
Memang Warkop sangat fenomenal, lawakan lucu nan cerdas selalu jadi daya tarik tersendiri. Jika dibandingkan dengan sitkom atau tayangan komedi saat ini, maka akan terlihat jauh kualitas yang sangat jauh berbeda.
Di saat industri hiburan berlomba-lomba membuat acara komedi menjurus SARA, bullying dan tindakan negatif hanya demi sebuah rating, tentu semua untuk keuntungan mereka. Istilahnya, akumulasi modal alias meraup keuntungan demi menambah pundi-pundi keuangannya. Jelas mereka tidak akan memperhatikan kualitas tayangan, bahkan cenderung dibuat asal dapat untung saja.
Berbeda dengan Warkop di era awal muncul hingga akhir kejayaannya, walaupun terjun di dunia industri dan mengikuti tren pasar, setidaknya kualitas mereka tidak hilang. Dono, Kasino, Indro mengawali lawakan mereka di radio hits ibu kota prambors. Acara mereka menjadi favorit dan alternatif hiburan pada saat itu.
Perlawanan Warkop sebagai Kritik Budaya “Humor”
Kekhasan Warkop terletak pada isi dan konten komedi mereka yang tak jauh-jauh dari kritik sosial hingga ajakan untuk tetap peduli dengan lingkungan sosial. Soeharto dan realitas sosial budaya di era Orde Baru selalu menjadi sasaran kritik mereka. Mulai dari kehidupan keluarga, kroni-kroninya, hingga terkait kehidupan politik di era itu. Budaya Orba selalu jadi bahan candaan yang menggelitik, dikemas dengan balutan kritik khas kaum terpelajar.
Mereka-pun harus menerima konsekuensi dari lawakan mereka, baik dalam bentuk ancaman verbal maupun kekerasan hingga penjara. Hal-hal yang menakutkan semacam itu selalu mengiringi karir mereka. Bukan trio Warkop namanya kalau dengan hal begitu saja sudah ketakutan, justru hal tersebut tampaknya tak menyurutkan niat mereka untuk terus kritis dalam berkarya.
Beranjak ke industri film, di balik isi dan konten film yang kocak menjurus vulgar, mungkin bagi sebagian orang itu lumrah, dan itulah komedi yang cukup bikin tertawa tanpa edukasi. Dari film awal berjudul Mana Tahan sampai Manusia Enam Juta Dollar, Chips, Maju Kena Mundur Kena, Itu Bisa Diatur, Pencet Sana-Sini, dan masih banyak lagi, selalu sarat dengan kritik sosial, mulai dari isu politik terkini hingga kondisi sosial masyarakat.
Coba kita lihat film Chips yang mengisahkan tentang aparat jujur dan mengayomi, tampak sangat berkontradiksi dengan kondisi faktual saat itu. Di mana banyak aparat nakal, terindikasi ada bau-bau kolusi dan nepotisme, mungkin sampai saat ini masih sama.

Selanjutnya di film Semua Bisa Diatur, yang secara umum menunjukan kondisi faktual saat itu, di mana semua hal bisa diatur asal ada kekuasaan dan uang. Walaupun untuk beberapa film hanya menekankan pada hiburan saja demi keuntungan, namun pembawaan mereka secara implisit tetap memegang idealisme mereka. Semua itu terkait perspektif bahwa seni bisa digunakan untuk melawan, komedi yang progresif menyadarkan pemirsa dari kebodohan.
Tagline “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” merupakan sebuah pernyataan yang lucu, penuh dengan sindirian. Bagaimana tidak, di zaman Orba, semua serba tertutup, ngomong sedikit!!! vokal sedikit!!!! langsung diciduk, diberangus, dipenjarakan oleh si jenderal. Dari hal itulah muncul istilah tersebut, kalimat lucu namun mengandung sindiran yang satir.
Sikap Warkop Pasca Reformasi
Di era pra dan pasca reformasi di rentan waktu 1998 menuju 2000-an, idealisme mereka tetap berjalan. Terlihat di serial yang mereka bintangi terbitan multivision plus, mereka sering berceloteh tentang kondisi negeri, terutama kritik akan budaya Orba.
Ada salah satu serial yang berjudul “Warisan,” di salah satu scenenya menggambarkan kritik sosial terkait kondisi sosial saat itu. Dalam serial tersebut, diceritakan di mana Indro dapat kabar kalau dia dapat warisan. Tak disangka Indro sampai harus ke dukun untuk mendapatkan warisan tersebut. Dia samlai harus melakukan ritual aneh, yakni mogok bicara.
Sebelum melakukan itu, Karina istri Indro dalam serial tersebut bilang jika warisan didapatkan, maka harta mereka akan melimpah, hidup foya-foya, hingga ada ide sisa harta disimpan di Swiss. Secara tidak langsung, scene tersebut berisi candaan yang sarkas terhadap aristokrasi kekuasaan Orba.
Warkop DKI adalah representasi jika humor tidaklah hanya murni untuk humor, istilahnya seni tidak hanya untuk seni. Namun juga sebagai media untuk edukasi serta penyadaran masyarakat. Lewat guyonan yang lucu dibalut aksi kocak, mereka menyisipkan kalimat sarkas nan satir sebagai kritik sosial. Hingga berkenaan dengan solusi atas permasalahan sebagai tanggung jawab moral.
Begitulah seharusnya karya seni. Film industri yang profit tidak hanya representasi hiburan yang rekreatif, tetapi sudah seharusnya di balik pengakumulasian kapital. Idealisme harus tetap dipelihara untuk menyajikan tayangan televisi yang ideal. Humor bukan sekadar humor, namun dapat juga sebagai medium protes.
Komedi dalam bentuk apa pun tetaplah sebagai karya seni. Warkop telah menunjukan kapasitasnya sebagai seniman pro-rakyat. Karya mereka bisa dikatakan bertumpu pada realisme sosial, walaupun terlalu subjektif dan prematur jika menggolongkan karya seni mereka.
Tidak salah jika ingin menemukan kritik di karya Warkop harus benar-benar serius melihat dan menilai. Walaupun masyarakat tidak semua tahu soal maksud di balik humor satir Warkop, setidaknya ada beberapa yang tercerahkan.
Di tengah kondisi masyarakat sudah terhegemoni oleh konstruksi lucu dan humor yang membius kesadaran, hingga selentingan seni itu bukan politik, maka generasi Warkop harus direproduksi, dikembangkan untuk alternatif perlawanan.
“Warung kopi kita enggak pernah sukses”.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur