Himbauan Terus Dilakukan, Mudik Jalan Terus

himbauan-terus-dilakukan-mudik-jalan-terus
Ilustrasi : Poliklitik/mufcartoon
Iklan terakota

Terakota.id–Banyak orang bertanya, kenapa masyarakat tetap mudik? Sementara himbauan untuk tidak mudik selalu diteriakkan? Kurang apa kampanye tak mudik bisa dibaca di media sosial? Bagaimana derasnya anjuran tak mudik juga dikatakan oleh para pejabat kita? Juga di media massa? Pertanyaannya lagi, kenapa mudik tetap dilakukan?

Pertanyaan lain, apakah mereka tidak sayang keluarga yang tinggal di daerah asal? Apakah para pemudik itu merasa yakin tidak membawa virus covid-19? Misalnya, jika ada salah satu orang pemudik itu membawa virus terus menulari masyarakat sekitar apakah mereka ini pernah berpikir ke arah itu juga? Apakah dia siap dijadikan kambing hitam semua sebab? Pertanyaan yang lebih tragis; apakah dia siap mati dan meninggalkan jejak sebagai penyebar virus?

Lalu, apakah mereka ini termasuk orang yang tidak patuh pada anjuran pemerintah? Juga tak melaksanakan himbauan pemuka agama? Apakah sudah sedemikian tak empatinya masyarakat kita terhadap orang lain? Sudah sedemikian miskinnya rasa kemanusiaan dan kepedulian pada sesama sementara selama ini kita dikenal sebagai bangsa yang suka menolong, punya semangat gotong royong, peduli sesama, punya persaudaraan tinggi, toleran, dan sejenisnya?

Tentu masih banyak pertanyaan pertanyaan yang menggelantung di benak masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di awang-awang. Kapan menyentuh tanah? Tidak tahu kapan. Jawaban tersebut baru akan bisa ditemukan saat wabah virus ini berhenti atau semakin menggila dan memakan lebih banyak korban.

 

Aturan Saja Dilanggar, Apalagi Himbauan?

Mengapa berbagai silang pendapat dan pertanyaan silih berganti muncul soal mudik tersebut dan belum menemukan jawabannya? Coba kita mengurai satu per satu.

Pada dasarnya masyarakat Indonesia itu tidak patuh pada aturan. Mengapa demikian? Coba kita perhatikan di perempatan jalan yang ada tanda lalu lintas. Sudah tahu kalau warna merah tetap saja ada yang menerobos. Mereka tidak berani menerobos saat ada polisi lalu lintas (Polantas) yang menjaga. Jadi, mereka lebih takut pada Polantas dan bukan pada aturan lalu lintas itu.

Memakai helm juga begitu. Helm dipakai bukan karena sadar bahwa itu bermanfaat dan menghindari keburukan jika jatuh. Tetapi lebih karena ada polisi yang berada di pinggir jalan. Giliran tidak ada polisi maka tak ada jaminan para pengendara sepeda motor mau memakai helm.

Contoh di atas membuktikan bahwa aturan dipatuhi jika ada sanksi tegas dan nyata. Seseorang mau membayar pajak karena ada sanksi nyata jika tak membayarkannya. Coba seandainya tidak ada sanksi? Coba pula seandainya naik angkot tetapi suka-suka memberikan ongkos? Tentu banyak yang tak membayar.

Apa pelajaran yang bisa dipetik? Masyarakat kita secara umum tak patuh dengan aturan. Bahkan ada sindiran bahwa “hukum diciptakan untuk dilanggar”. Jadi, hukum saja dilanggar kok bagaimana jika hanya sekadar hibauan?

Kita tak perlu menyalahkan masyarakat. Katakanlah memang kondisi masyarakat kita masih seperti itu. Bagaimana dengan para pejabat? Kalau kita mau jujur tak ada bedanya, bukan? Bukankah aturan dan dahulu juga sudah dibuat mereka tetapi pelanggaran demi pelanggaran tetap dilakukan para elite politik kita?

Apakah kita tidak risih dengan kasus korupsi yang selalu terjadi di lingkar elite politik? Bukankah korupsi itu juga dilakukan dengan persengkongkolan dan berjamaah? Pokoknya tahu-sama tahu.  Kurang apa teriakan agar elite politik tidak menyalahgunakan kekuasaan  tetapi korupsi jalan terus? Ini belum termasuk penyalahgunaan kekuasaan selain korupsi.

Kalau sudah begitu siapa yang harus disalahkah? Apakah melulu masyarakat sebagai pihak yang terus disalahkan? Kalau demikian tentu mudah. Mengapa? Karena masyarakat tidak punya kekuasaan. Ia akan mudah menjadi objek kesalahan. Sementara elite politik yang salah bisa dengan mudah berlindung di balik kekuasaan.

Akar Masalah

Mengapa saya juga mengupas bahwa elite politik kita punya andil dalam kesalahan yang terjadi di sekitar kita? Jangan-jangan masyarakat tidak patuh pada hukum itu karena melihat elite politiknya juga tak patuh aturan pula? Ini tak bermaksud menyalahkan elite politik, tetapi kita mencoba melihat permasalahan secara lebih adil. Elite politik itu adalah panutan, terpilih dan lebih terdidik dan melek politik. Tentu harus bisa dijadikan teladan.

Contoh lain, beberapa orang menyalahkan kenapa saat ini dampak perseteruan Pemilihan Presiden (Pilpres) masih terasa? Mengapa masyarakat tidak mau move on? Mengapa masih membawa-bawa kepentingan politik dalam setiap komentar atau kecenderungan untuk memutuskan sesuatu? Banyak orang hanya menyalahkan masyarakat, bukan? Mengapa harus masyarakat yang disalahkan?

Untuk mengurai  permasalahan itu memang tidak mudah. Secara lebih tegas suatu permasalahan bisa diurai dan diatasi kalau kita berani melihat akar masalahnya. Masalahnya, masyarakat kita tak mau melihat akar masalah atau disengaja oleh oknum tertentu untuk tak melihat permasalahan utamanya?

Akar perseteruan di masyarakat sebenarnya bisa dilacak pada kasus keputusan elite politik kita yang mengamdemen UUD 1945. Ini salah satu contohnya. Kemudian lihat Undang-Undang Pemilu mengenai ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold/PT) pada Pasal 222. Pasal itu mengatakan, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Dari pasal ini jelas bahwa sangat tertutup kemungkinan banyak calon yang muncul (banyak calon ini menekan perseteruan politik hanya pada dua kubu). Tentu akan terjadi “kongkalikong” antar partai politik.  Selama PT ini tidak diubah maka sangat terbuka kemungkinan perseteruan politik yang berimbas  pada masyarakat akan terus terjadi.

Apakah dalam hal ini masyarakat kita belum dewasa? Ya kita harus melihat kenyataan dan pengalaman. Bahwa perseteruan yang tak kunjung usai itu buntutnya pada soal Pilpres. Sementara Pilpres berdasar pada  Undang-Undang yang dibuat DPR. Tentu pasal-pasal soal itu menguntungkan parpol dan DPR yang bisa meraih suara banyak.

Sejarah membuktikan bahwa apapun protes yang dilakukan oleh masyarakat, DPR akan berusaha mempertahankan. Mengapa? Karena mereka menikmati kekuasaan politik tersebut. Mereka yang teriak memprotes PT biasanya dari parpol “kecil”, sementara yang mencoba mempertahankan parpol besar dan menengah. Kalau sudah begini apakah kesalahan hanya bisa  ditimpakan pada masyarakat?

Bersatu Padu

Kembali soal mudik, karena ulasan di atas hanya sebagai contoh dan analogi saja. Bahwa kesalahan tidak semata-mata hanya ditimpakan ke masyarakat. Sebagaimana kita tahu, masyarakat kita itu susah diatur dan tak mudah patuh pada aturan. Bukan tidak mau patuh tetapi jika elite politiknya selama ini mau menang sendiri bagaimana?

Maka, terhadap aturan resmi saja dilanggar apalagi hanya sekadar himbauan? Maka, himbuan untuk mudik memang punya implikasi karena sejumlah besar masyarakat tidak mudik. Tetapi bagi masyarakat “kebanyakan” hal demikian tidak mudah dilakukan. Masyarakat kebanyakan yang selama ini kurang sadar hukum itu tentu akan menganggap enteng himbauan untuk tidak mudik di tengah pandemi covid-19. Aturan yang lain saja dilanggar apalagi jika hanya soal mudik. Karena soal mudik itu soal “keyakinan”. Meskipun kita juga yakin bahwa mudik itu berbahaya untuk menularkan virus.

Apa pelajaran yang bisa dipetik? Sebaiknya elite politik pun memberikan contoh baik bagaimana caranya mematuhi aturan hukum. Ini tidak bermaksud semata-mata menimpakan kesalahan pada mereka. Tetapi daripada menyalahkan masyarakat yang tidak punya pengaruh apa-apa? Masyarakat hanya melaksanakan kebijakan yang dihasilkan elite politik. Para elite politiklah yang membuat kebijakan dan mereka sendirilah yang harus bisa dijadikan contoh.

Jadi, dampak yang saat ini muncul bukan lantas hanya terjadi saat ini juga. Ia punya rangkaian dan tali temali yang kuat dengan setiap kejadian yang selama ini ada.  Selama keadilan belum bisa ditegakkan, maka rasa patuh masyarakat pada hukum juga kurang kuat.

Juga, jangan serta merta jika mengiritik kebijakan elite politik itu sebagai orang yang tidak suka pemerintah. Itu tentu pikiran yang sempit. Jika kita tak mampu mengurai akar permasalahan utamanya sampai kapan pun setiap masalah yang muncul tidak mudah diselesaikan. Mungkin aturan hukum semakin banyak tetapi rasa patuh masyarakat pada hukum semakin meningkat.

Maka, larangan mudik jika tidak diimbangi dengan penegakan aturan yang kongkrit akan mudaha dilanggar. Masyarakat kita itu sakti, aturan hukum saja dilanggar apalagi hanya himbauan. Bagaimana mungkin himbauan itu juga bisa efektif jika mudik dilarang tetapi transportasi diijinkan berjalan dan bandara tetap dibuka?  Meskipun pun ada alasan khusus. Masalahnya, kita ini berurusan dengan masyarakat negeri +62.