cerpen senja
Ilustrasi (Pixabay.com)
Iklan terakota

Terakota.idSenja Agustus memerah di kaki bukit Petrin, Mala Strana. Langit mengencingi Praha tak habis-habis. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sungai Vltava baru saja mulai tenang setelah marah meletup-letup selama setengah pekan lalu. Dua hari lalu, airnya naik hingga sembilan meter. Jembatan Charles nyaris terendam. Kemarahan Vltava nyaris saja menenggelamkan Praha.

Semilir angin sore baru saja mengendap ketika saya mendengarkan nukilan cerpen Gerimis Senja di Praha karya Eep Saefulloh Fatah. Di sudut Oksigen Café, Kecamatan Dau, hanya sekian langkah dari sepetak sawah yang sedang hijau-hijaunya. Saya mencoba menarik garis cerita antara senja, gerimis, dan langit. Tak habis pikir, mengapa ketiga kata yang sering dicomot para penulis itu terasa berbeda ketika berada dalam paragraf Eep.

Pertanyaan itu sedikit demi sedikit terjawab seiring ulasan ringan Eep tentang bagaimana ia menulis cerpen. Setiap kita adalah sohibul hikayat, pemilik cerita. Begitulah Eep mengawali ceritanya dalam acara bertajuk Membaca Cerpen Pelarian pada Sabtu 29 Mei 2021. Dengan kalimat-kalimat sederhana, Eep menghadirkan cerita tentang pemilik cerita.

Jumlah pemilik cerita di muka bumi ini sama dengan jumlah manusia yang mendiami bumi. Karena memang begitulah hakikat manusia sebagai pemilik cerita. Ada pemilik cerita yang memilih membiarkan ceritanya mati dan terkubur. Ada pemilik cerita yang memilih untuk melisankannya kepada khalayak. Lisan cerita itu mengembara dalam benak pendengarnya. Ada pemilik cerita yang memilih menuliskan ceritanya. Cerita itu hidup bebas dalam dunia tafsir pembacanya. Yang paling nahas tentu saja mereka yang tak menyadari bahwa hidupnya berlimpah cerita.

Eep juga menceritakan bagaimana ia berliterasi sejak kecil. Ayah Eep yang guru SD kerap membawa buku ke rumah. Buku itu digeletakkan begitu saja di meja. Tak ada perintah untuk membaca. Eep tak pernah sekalipun disuruh membaca buku itu. Namun, Eep begitu terpesona dan bertanya-tanya, ada cerita apa di dalam buku itu. Keterpesonaan itulah yang kemudian mendorongnya untuk membuka dan mambacai halaman demi halaman.

Kelas 4 SD, Eep sudah melumat buku setebal 500-an halaman. Pengalaman mengakrabi buku itu menghadiahi Eep ketrampilan menulis. Ia pernah membanggakan sekolahnya dengan menjuarai lomba menulis. Sejak itu ada kesadaran baru tertanam dalam dirinya tentang kemerdekaan dan proses menulis. Sebagaimana hakikat menulis sebagai proses memerdekakan diri, menulis pun mesti dilingkupi suasana merdeka.

Kemerdekaan menulis, secara sederhana, bisa diartikan sebagai menulis tanpa teori, tanpa tips dan trik, pun tanpa panduan cara cepat langkah demi langkah. Ketika menulis, bebaskan diri dari segala teori yang justru menjadi belenggu. Jangan berpikir tentang siapa yang mau membacanya. Jangan ambil pusing pendapat orang lain.

Pendapat tersebut diamini Profesor Tengsoe Tjahjono. Sastrawan penggagas pentigraf (cerpen tiga paragraf) itu mengungkapkan betapa pentingnya menulis tanpa tirani. Banyak penulis gagal menulis bukan karena kehabisan gagasan, melainkan karena kebanyakan memikirkan apa kata orang. Pikiran semacam itu justru membelenggu diri. Berhenti berpikir untuk memuaskan semua pembaca. Setiap tulisan punya pembacanya sendiri. Jadi, jangan membelenggu diri sendiri, menulislah sebagai orang merdeka. Cara terbaik menulis adalah menulis. Menulis saja, baik atau tidak itu urusan pembaca dan selera. Penulis merdeka tak pernah bermimpi menjadi orang lain. Penulis merdeka adalah penulis yang menjadi diri sendiri.

Agak menggelitik ketika Eep mengungkapkan bahwa menulis adalah pelarian. Tentu tak berarti bahwa menulis berawal dari kondisi bermasalah. Bukan pula menulis sebagai cara cerdik menghindari masalah. Eep kemudian menceritakan bagaimana ia terjebak kebosanan ketika menempuh studi di luar negeri. Menulis adalah caranya membunuh waktu yang terus berlari.

Dalam sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya bagaimana mengatasi kemandegan menulis. Eep mengungkapkan keyakinannya bahwa apa yang keluar tergantung apa yang masuk. Kalau enggan membaca mustahil bisa menulis. Tanpa interaksi dengan banyak orang dan segala masalah yang digelutinya, tak mungkin punya empati. Tak mungkin pula punya cerita sehingga tak mungkin menulis sebagai pencerita.

Sementara, Sudarmanto, seniman yang familiar disebut Mas Dengkek, mengamati fenomena zaman besar, zaman dimana semua orang bebas mengekspresikan kebudayaan. Kecanggihan teknologi informasi menyediakan sumberdaya tak berbatas. Namun, zaman besar justru akan membuat manusia menjadi kecil apabila tidak memperlengkapi diri dengan kesigapan literasi. Zaman besar hanya akan disesaki bauran cerita fiksi dan kisah nyata yang sulit dibedakan.

Ketidaksiapan literasi diperparah dengan banjir informasi yang disediakan jejaring maya dan media sosial. Manusia dimanjakan dengan kecepatan dan kemudahan mengakses informasi, tetapi malas mengkonstruksi data dari informasi. Itu sebabnya, generasi hari ini miskin literasi. Miskin literasi hanya bisa ditaklukkan dengan gerakan literasi. Gerakan literasi tak cukup hanya diformalkan ke dalam kebijakan publik yang menyentuh sisi permukaan saja.

Gerakan literasi mesti diendapkan layaknya seorang merdeka membaca cerita biografi, sejarah, dan sastra. Dari buku biografi, kita memetik cerita orang-orang biasa menjadi luar biasa setelah mengalahkan keterbatasan. Dari buku sejarah, kita menyelami betapa susahnya hari ini dicapai dengan segala perngorbanan diri. Dari buku sastra, kita belajar melunakkan kecongkakan diri sembari membebaskan ekspresi kemanusiaan.

Percakapan tentang cerpen berlanjut ke labirin cerita dimana mesin ketik dan kolong bengkel menjadi cerita kebudayaan. Bambang Sugianto, pemilik Oksigen Café yang juga seorang deklamator handal, menceritakan bagaimana ia berjumpa-kenal dengan Eep Saefulloh Fatah dan W.S. Rendra. Bambang selalu teringat Eep setiap kali mengenang mesin ketik pertamanya. Kala itu, Bambang bersama istrinya sangat mendambakan sebuah mesin ketik agar bisa menulis. Ia hanya bisa membeli dengan mencicil. Pendek cerita, Bambang berjumpa dengan Eep yang kemudian menghadiahinya dengan laptop dan mesin ketik. Bambang pun menjadi kawan setia sang istri, Lintang, mengalirkan cerita-cerita besar seperti kumpulan puisi Ilahi (1998), Pelepah (2000), Namaku Perempuan (2006), Kusampaikan (2006), dan novel Matahari di atas Gilli (2007).

Bambang melanjutkan cerita mengapa Rendra kerap mengumpulkan orang di kolong bengkel. Semua berikhwal dari keterbatasan energi. Berkumpul, berjumpa, dan bercerita adalah cara mengikat energi positif untuk menyingkirkan energi negatif. Kolong bengkel itu adalah saksi bagaimana energi positif memilin cerita kebudayaan mengalir secara sederhana dalam peristiwa bertukar sapa. Perjumpaan bisa bubar, tapi tidak dengan cerita-cerita yang mengendap di dada setiap orang.

Eep Saefulloh Fatah, Tengsoe Tjahjono, Mas Dengkek, Bambang Sugianto, dan segenap budayawan serta pegiat literasi yang hadir malam itu adalah noktah cerita di samudera pasir Kota Malang. Mereka adalah pemilik cerita yang mempercayakan ceritanya kepada semesta. Bukan untuk dipuja, apalagi untuk mendulang suara. Mereka bercerita demi memastikan Kota Malang punya titik kebudayaan: Ruang dimana cerita orang-orang merdeka dipercakapkan dalam bingkai cerita kebudayaan.

 

*Kepala SMPK Pamerdi Kabupaten Malang. Penulis buku Mendidik Generasi Z dan A dan Secangkir Kopi Inspirasi. Penerima Penghargaan Kepala Sekolah Inovatif Kemendikbud 2020. Pemenang 2 Sayembara Kritik Sastra Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2020). Instagram: @wahjoekris