
Terakota.id–Heliofilia membuat saya harus membangkang petuah eyang Roland Barthes. Filusuf Perancis tersebut pernah bersabda bahwa di hadapan pembaca, penulis telah mati (The Death of Author). Peracik sajian modernisme tersebut menggunakan pisau cincang strukturalisme untuk mencabik-cabik karya yang dibaca oleh pembaca. Memosisikan penulis sebagai ibu susu (almamater) yang menggigit sapu tangan di hadapan kesadisan para pembacanya. Jika memang itu yang Anda harapkan, maka tekan tanda silang di pojok kanan atas gawai Anda untuk berpindah ke artikel lain yang sesuai aroma Anda.
***
Pada mulanya adalah kata; Heliofilia. Pembahasan mengenai Heliofilia benar-benar tak dapat saya lepaskan dari sosok penciptanya, Hendy Pratama. Sebagai pencipta, ia membutuhkan waktu lebih dari tujuh hari untuk merancang semesta heliofilia. Waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kisah penciptaan yang termaktub dalam kitab suci bangsa Romawi.
Ia perlu banyak waktu untuk merangkai kosmologi imajinasinya sendiri. Bahkan, tak jarang ia meluluhlantahkan bagian awal, tengah, dan akhir ceritanya untuk membentuk koherensi dan kohesi pada bukunya ini. Usaha tersebut membuahkan hasil. Heliofiliapun lahir. Sebagai karya yang hadir di tengah bencana tsunami pandemi, Heliofilia serupa santapan lezat bergizi sekaligus bernutrisi tinggi.
Peter Carey, sejarahwan pengkaji Diponegoro pernah mengungkapkan kepuasanya pasca melahirkan buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-XIX. Kepuasan tersebut disebabkan karena bentuk fisik bukunya yang ringan di tangan, sekaligus ringan di kepala. Bentuk fisik yang kurang lebih serupa dengan Heliofilia, ringan di tangan juga di kepala.
Dalam cerpen-cerpen yang disajikan, Hendy menjelma serupa Deus yang turun langsung menentukan nasib tokoh-tokohnya. Tak jarang ia menyelesaikanya dengan cara kematian, khususnya bagi tokoh antagonis. Persis seperti istilah yang sering kali didengungkan dalam drama Yunani Kuno, Deus ex Machina. Dalam istilah tersebut, tokoh protagonis mendapat bantuan tangan Tuhan ketika dalam kondisi terhimpit. Namun, tak jarang juga kematian sebagai gerbang penyelesaian bagi tokoh protagonis untuk menyelesaikan pengembaraan di dunia.
Kondisi seperti ini tentu sangat kontroversial, mengingat dalam tradisi agama samawi, Tuhan menyayangi hambanya yang berjuang susah payah bahkan hingga berdarah-darah untuk mencapai kemaslahatan umat semesta. Lihat saja, bagaimana Musa melakukan eksodus dari perbudakan Firaun di Mesir dan wafat dalam pengembaraan menuju tanah terjanji, kemudian ada pula Yunus yang bersusah payah untuk keluar dari lambung ikan, juga Yusuf yang dijual oleh sanak saudaranya sendiri, hingga kemenangan Daud atas Goliat. Kisah-kisah tersebut tentu berbeda dengan tokoh Epikurus yang mencari jalan mati, Derek penjagal kelinci, hingga Morgan pembunuh peri.
Secara umum, cerpen-cerpen dalam antologi ini mengisahkan lelaki yang tuna asmara. Cerita-cerita tersebut setidaknya terdapat pada judul “Malinda dan Maruna”, “Epikurus Mencari Jalan Mati”, “Derek Berkurban Kelinci”, dan “Lelaki Telanjang yang Menjadi Kenari”. Ketunaasmaraan mereka seringkali dikaitkan dengan maut dan kematian. Coba bayangkan saja, betapa stresnya Lucifer karena neraka penuh dengan para gelandangan cinta akibat kutukan oleh Hendy ex Machina.
Pada beberapa cerpen, memang ditampilkan alur yang menggantung seperti pada “Mayat di Tepi Jalan”. Dalam cerpen tersebut, Hendy mengakhiri cerita dengan menggantung tapi kehadiranya sebagai dalang utama masih teramat jelas dan nyata. Ia tak kuasa melepas tahta Neptunus di kepalanya secara penuh pada pembaca.
Buku yg sy kerjakan selama 1,5 taun, akhirnya menjumpai cercah harapan di bulan Mei, 2021. Sy sengaja ngulur-ngulur wkt supaya kalean kebelet beli 😛 pic.twitter.com/6tJNRWkRdf
— Hendy Pratama (@prahenta) April 28, 2021
Berbicara tentang keunikan tema, Hendy juga menyajikan satu tema religi pada cerpen bertajuk “Musala dari Langit”. Cerpen ini unik karena Hendy berani untuk mengambil tokoh kera, sebagai representasi sifat manusia. Teknik seperti ini hampir sama seperti teknik dongeng legendaris China yaitu Legenda si Raja Kera yang menceritakan perjalanan seorang biksu menyusuri jalur sutra ke barat untuk mengambil kitab suci. Murid terbaik sekaligus kakak pertama pengawal biksu tersebut adalah kera, dan disinyalir direpresentasikan sifat manusia. Kembali pada kera yang merindukan musala, kerinduan kera tersebut disebabkan oleh sifat primitifnya yang tak sama dengan manusia.
Youval Noah Harari dalam buku bertajuk Sapiens memang menyinggung mengenai perbedaan kera dan manusia. Kera memiliki realitas objektif yang cenderung lebih singkat serta faktual dari pada manusia, sehingga pola bertahan hidupnya adalah bertahan hidup untuk saat itu saja. Inilah yang memacu otak hewaninya (brain reptil) berkembang pesat. Hal tersebut tentu berbeda dengan manusia yang memiliki otak imajinatif sehingga memiliki ingatan pada masa lalu, kemampuan menghadapi kondisi saat ini, hingga perencanaan untuk masa depan. Ituah sebabnya, tokoh kera dalam “Musala dari Langit” berguru pada pengalaman manusia yang ditemuinya.
Secara etimologis, heliofilia berarti ketertarikan berlebihan pada cahaya matahari. Uniknya, tak satu pun cerita dalam antologi ini mengisahkan tentang matahari, bahkan tidak juga berjudul Heliofilia itu sendiri. Matahari berubah sebagai analogi objek artifisial yang dibebaskan untuk berkeliaran mengorbit di tata surya kepala pembaca. Tak seperti kebanyakan penulis yang bangga pada profesinya, Hendy tergolong sebagai penulis yang cukup skeptis. Aroma kemelaratan dari hasil menulis tergurat jelas dalam cerpen bertajuk “Kucing Hitam yang Menghilang di Loteng”.
Selain nasib melarat pada profesi penulis, Hendy juga membuka aib profesi lainya yang seringkali dianggap sebelah mata dalam struktur masyarakat sekitarnya, seperti petani dalam “Kebun Tebu yang Menyala”, dan nelayan pada “Mengantar Ibu ke Laut”. Jika dua cerpen tersebut merepresentasikan kondisi ibu pertiwi, maka kemelaratan benar-benar menonjok dua profesi utama yang selama ini diadiluhungkan sebagai semboyan negeri kita ini; Negeri Agraris juga Negeri Maritim. Kegagalan dua profesi itu kiranya dapat menjadi koreksi terkait representasi terkait kesejahteraan bangsa ini.
Kritik sosial juga ditunjukkan pada cerpen bertajuk “Lelaki yang Menjadi Api”. Pada cerpen tersebut Hendy mencoba menjadi corong bagi kaum yang tak mampu berusara (voice of voiceless). Tokoh gelandangan sabar peminta-minta menunjukkan kontekstualisasi kehidupan yang sesungguhnya. Fasilitas umum yang seringkali menyajikan ketimpangan antara si kaya dan si miskin, si kuasa dan si hamba termaktub jelas dalam cerpen ini. Hendy tak menjadi humas penguasa, tapi ia telah membasuh kaki para pendosa dan para miskin papa melalui suara yang tak dapat mereka katakan. Meskipun, lagi dan lagi, faktor tangan Tuhan terlihat jumawa melalui kematian tokohnya.
***
Sebagai Heliofilia, lantas di mana mataharinya? Pertanyaan mengenai keberadaan matahari, entah sebagai sesuatu yang fisik atau yang imaji, yang materiil atau yang artifisial, semuanya sengaja dibenamkan pada benak pembaca. Tak ada yang tahu tentang itu. Teori tanda dan petanda sekaligus petanda dan penanda pun akan serupa benang ruwet jika diminta untuk mencari sosok Heliofilia dalam cerpen Hendy Pratama. Sudahlah, biarlah tata surya utama yang menyinari galaksi pembaca itu menjadi misteri dalam keilahian kosmos Hendy ex Machina.

Penulis dan Pendidik. Karya yang sudah terbit diantaranya: Kumpulan Cerpen Alor-alor Merah dan Ruang Literasi Generasi Mantul.