Djoko Saryono bersama mendiang Hazim Amir dalam sebuah diskusi sastra. (Foto : Dokumen Djoko Saryono).
Iklan terakota

Terakota.id–Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) hilir mudik berjalan kaki melintasi hamparan lahan luas di sisi timur kampus. Sebuah bangunan setinggi tujuh lantai berdiri. Gedung jangkung merupakan graha rektorat. “Dulu ini kompleks rumah dinas dosen,” kata bekas mahasiswa Hazim, Djoko Saryono.

Guru besar sastra Universitas Negeri Malang, Profesor Djoko Saryono kini menjadi Kepala Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Di lahan itu, rumah mendiang Pak Hazim Amir, guru besar Sastra Indonesia IKIP Negeri Malang. Rumah menghadap ke barat, rimbun dipenuhi tumbuhan dan perabotan antik. Bahkan pedati dan dokar juga menghiasi taman dan pekarangan rumah. Di rumah dinas ini para seniman, budayawan, dan mahasiswa betah berlama-lama untuk menimba ilmu dari sang tuan rumah.

Setiap hari bertebaran buku di lantai, kursi, meja, dan ruang keluarga yang disulap menjadi sanggar seni untuk para seniman. Buku berserakan, Hazim sering mengisi waktu dengan membaca buku di manapun. Melahap aneka jenis buku. Terutama saat menulis makalah dan buku, Hazim membaca empat sampai lima buku sekaligus.

Tulisan Hazim, katanya, sering menulis buku, artikel dan makalah dengan mengutip banyak buku dan puisi. Hazim banyak menulis di atas kertas dengan tangan, kertas dipotong dan ditempelkan di buku. Lantas, Djoko yang tengah mengikuti bimbingan thesis itu membantu mengetik naskah tersebut agar rapi. Usai menulis, kadang buku berserakan tak di lantai.

“Setiap hari Bu Hazim (Astuti Hazim Amir) yang membersihkan buku-bukunya,” ujar Djoko. Di sela-sela kesibukan Astuti mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dan Sekolah Tinggi Administrasi Negara, sendirian Astuti membersihkan dan merawat buku-buku koleksi Hazim.

Menurut Djoko, diperkirakan jumlah buku koleksi Hazim mencapai ribuan. Banyak buku tua, buku langka yang tak ternilai harganya disimpannya di rak atau lemari antik. Rak buku tersebut disimpan di sebuah ruangan khusus untuk menyimpan buku sekaligus perpustakaan pribadi Hazim.

Namun, siapapun diijinkan membaca, kadang buku itu dipinjamkan ke teman dan mahasiswanya. Terutama buku yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Djoko menyimpan 10 buku milik Hazim, buku tersebut tak sempat dikembalikan sampai Hazim meninggal 1997 lalu. “Buku itu masih saya simpan. Pak Hazim menyerahkan buku itu tiba-tiba tak ada pesan untuk dipinjamkan atau diberikan,” ujarnya.

Hazim banyak mengoleksi buku berbagai tema budaya, dan kesenian sesuai fokusnya. Sedangkan buku yang ditulisnya mulai sastra, budaya, teater, dan puisi. Hazim akrab dengan buku, mencintai dunia literasi dan melahap semua jenis buku. “Buku yang dibaca lintas bidang,” ujarnya.

Djoko mengenang sosok Hazim sebagai sosok dosen yang humanis dan akrab dengan siapapun. Ia tak pernah melupakan suatu hari Hazim berdiri di depan pintu rumahnya dan menyerahkan sebuah buku. Buku tersebut merupakan buku yang dibutuhkan untuk bahan kuliah.

Perkuliahan, katanya, kadang sering dilakukan di rumahnya. Djoko sendirian menjadi satu-satunya mahasiswa pasca sarjana yang menempuh kuliah yang diajarkan. Usai kuliah, Hazim membawa oleh-oleh dua sampai empat buah buku. Buku tersebut harus katam selama sepekan untuk menyusun makalah bahan kuliah.

Semua Demi Buku

Koleksi buku milik Perpustakaan Universitas Negeri Malang. (Foto : Dokumen Universitas Negeri Malang).

“Setiap pekan mendapat tugas membuat makalah,” ujarnya. Buku-buku koleksi Hazim diperoleh saat kuliah pasca sarjana maupun doktoral di Amerika Serikat. Serta mendapatkan buku klasik dari teman, budayawan dan pekerja seni. Bahkan, pedagang buku sering ke rumah Hazim untuk menawarkan sejumlah buku yang sesuai dengan kebutuhannya.

Gaji yang diterima Hazim, katanya, kadang tak mencukupi untuk membeli buku. Kesulitan keuangan tak menyurutkan niatnya untuk mendapatkan buku bagus. Bahkan Hazim pernah terpaksa meminjam uang koperasi untuk membeli buku.

Beruntung, Hazim memiliki saudara, dan teman yang mengerti kecintaannya melahap buku. Adik iparnya, Joko Pramono bekas inspektur jenderal TNI Angkatan Laut dan kakaknya Kiai Haji Wardan Amir, Kota Gede, Yogyakarta senantiasa mengahadiahi Hazim dengan aneka jenis buku. Sejumlah buku yang dikoleksi Hazim meliputi interpretation of cultures, history of java (raffles), buku-buku tentang sejarah dan bahan kuliah.

Sejumlah seniman sering ke rumah Hazim untuk sekedar berdiskusi atau membaca buku koleksi Hazim. Seperti Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, dan mendiang Nurcholis Madjid. Mereka sering menginap dan berdiskusi bersama. Pernah, semalaman Zawawi si celurit emas membaca puisi, Hazim mendengarkan dan berdiskusi tentang puisi tersebut.

Djoko meyakini jika buku-buku koleksi tersebut tercecer, dipinjam dan dibawa orang lain. Buku tak kembali ke tangan Hazim. Terutama sejak meninggalkan rumah dinas empat tahun lalu. Sebelum rumah dinas
dirobohkan, keluarga mendiang Hazim diberi kesempatan empat bulan untuk mengosongkan rumahnya.

Buku-buku koleksi Hazim, katanya, sangat berharga dan sayang jika tak dimanfaatkan. Djoko berharap keluarga Hazim mendirikan perpustakaan untuk umum atau menyumbangkan buku ke perpustakaan. Agar orang lain bisa ikut membaca dan menikmati buku koleksi Hazim.

Hazim, katanya, sempat membeli lahan di Purworejo, Pasuruan untuk sanggar dan rumah tinggal. Namun, sampai meninggal Hazim gagal mewujudkan sanggar sekaligus menampung buku koleksinya tersebut. Hazim lahir fi Yogyakarta, 3 Agustus 1937, wafat 1996. Kini, seluruh buku diboyong ke rumah istri kedua Hazim, Astuti Hazim Amir di Buring, Kedungkandang Kota Malang. Istri pertama meninggal. Anak tunggal Rene Sariwulan tinggal di Yogyakarta.

Astuti mengeluarkan buku dari empat lemari buku yang digunakan menyimpan buku. Buku dikemas ke dalam kardur. Selama menempati rumah dinas sekitar 100 an buku rusak karena atap bocor. Buku yang rusak meliputi buku pedalangan, wayang, dan materi kongres. Kini tersisa 500-600 an buku.

Astuti mengaku tak bisa mendata buku yang dipinjam teman-teman Hazim. Lantaran tak pernah mendata buku yang di tangan pihak lain. Kini, buku koleksinya disimpan di lemari khusus diletakkan di ruangan ukuran 12 meter persegi.

Sempat berdatangan penawaran dari berbagai pihak untuk membuka perpustakaan Hazim Amir. Namun, batal karena mereka tak memiliki komitmen untuk merawat dan memanfaatkan buku tersebut. “Tak ada yang sejalan dengan cita-cita almarhum,” ujarnya.

Buku tersebut tetap dijaga dan dirawat. Menjaga agar buku tak rusak dan hancur. Disela kesibukan Astuti merawat buku dengan menjaga sirkulasi udara, sirkulasi cahaya dan mencegah kelembaban.Buku yang dikoleksi meliputi buku sejarah agama, sastra, wayang dan sosial politik. Kini, sejumlah mahasiswa sering berkunjung untuk membaca dan menggandakan buku tersebut.