Musthafa Daood, Debu, berkolaborasi dengan penari Sufi Nusantara dalam Festival Dawai Nusantara #3. (Terakota.id/HA. Muntaha Mansur)
Iklan terakota

Terakota.id—Harum dupa menguar, dari balik panggung gedung Kesenian Gajayana Jalan Nusakambangan Kota Malang, Jumat 20 Oktober 2017. Asap membumbung, bergulung-gulung di atas panggung beradu dengan sorot cahaya lampu warna-warni.  Panggung bermandikan asap dan kerlip cahaya lampu. Di kedua sisi panggung terbentang dua layar, memutar setiap adegan di atas panggung.

Sementara di depan panggung, berderet kursi penuh penonton. Festival dibuka dengan lagu Indonesia Raya, penonton berdiri sembari menyanyikan lagu kebangsaan yang menggema di seluruh ruangan. Konser dawai nusantara sebuah rangkaian Festival Dawai Nusantara #3 dimulai. Festival bertema “Merajut Kebhinekaan dengan Bunyi Dawai” menghadirkan berbagai instrumen dawai dari nusantara.

“Indonesia ini ibarat dawai. Filosofi dawai, terlalu kendur gak enak. Terlalu kencang putus. Karenanya, dibikin kesepakatan agar terbentuk harmoni,” ujar Redy Eko Prasetyo, penggagas Festival Dawai Nusantara di depan panggung. Festival untuk kali ketiganya ini merupakan bagian dari merespon seniman melalui kanal kebudayaan. Konser sekaligus menjadi media untuk mendidik masyarakat dalam merawat tenun kebangsaan.

Konser dibuka Wali Kota Malang Mochamad Anton dengan memetik dawai dari instrument Sapek, sebuah alat musik dawai tradisional khas suku Dayak. Anton, dalam sambutannya mengapresiasi kiprah para seniman dan berjanji terus memberikan dukungan kepada pemuda kreatif.

Lampu temaram, seolah mengajak penonton menyelami perpaduan bunyi yang tersaji dalam konser dawai. Kelompok Unen-unen Rengel dari Tuban menjadi penyaji pertama. Nuansa mistis mewarnai alunan dawai, seolah ada rintihan. Penyaji kedua, Syech Razi berkolaborasi dengan arabian music dari Bekasi. Irama musik padang pasir ini dipadu dengan Sholawat Nabi menghentak para penonton.

Penari Sufi Nusantara berputar-putar. Tarian sufi merespon musik yang dihasilkan penyaji ketiga, Musthafa Daood musisi asal Amerika dan kawan-kawannya. Musthafa sempat menyisipkan pesan dan kritik. Selama 18 tahun hidup di Indonesia, dia melihat rendahnya penghargaan terhadap kesenian. Padahal, seni di Indonesia sangat luar biasa indah.

“Saya keluar masuk daerah mengajak untuk mengapresiasi kesenian yang dimiliki Indonesia. Luar biasa,” ujar Musthafa diikuti riuh tepuk tangan penonton.

Musthafa juga menyampaikan kritik kepada Wali Kota Malang yang tengah berjalan keluar meninggalkan ruang konser sesaat setelah Musthafa Daood naik panggung. Dia menyesali sikap Wali Kota Malang yang keluar duluan di tengah pertunjukan. “Bagaimana rakyat akan menghargai seni, kalau pemerintah seperti itu. Bukan saya benci, tapi harus ada yang berani menyuarakan. Tidak apa-apa saya yang dijadikan kambing hitam,” kata Musthafa disusul siulan dan tepuk tangan penonton.

Tak semua kursi terisi, namun, sekitar 500 pasang mata terlihat antusias menikmati pertunjukan konser dawai. Sebagian penonton mengabadikan momentum itu dengan merekam video dan foto dengan gawai atau gadget. Sampai pukul 23.00 WIB para penonton tetap setia, tak beranjak dari  tempat duduk. Masih ada sekitar tujuh penyaji yang akan memanjakan mata dan telinga penonton.

Total 14 penampil menuguhkan instrument dawai dan konser dawai kali ini. Para penampil Festival Dawai Nusantara #3 meliputi Azis Franklin (Malang), Etlabora Poni (Subang-Jawa Barat), Ali Gardy (Situbondo), Nusa Tuak (NTT), Ganzer Lana Sasandois (NTT/Yogyakarta), Joko Porong (Surabaya), Gregorius Argo (Kalimantan Barat), Miho Bawakng  (Yogyakarta), TOPA (Tenggarong-Kaltim), Syech Razie (Jakarta), Mustafa Daood n Friends (Amerika), Unen-Unen Rengel (Tuban), SAUNG SWARA, Pak Meng Project (Salatiga) dan SriMara (Surakarta).

Instrumen Dawai dari Relief Candi

M.Faizal berpose dengan Sape’ buatannya. Seniman ini tengah menyelesaikan PURWA RUPA, Instrumen musik berdawai yang direplikasi dari relief Candi Jajaghu. (Terakota.id/HA. Muntaha Mansur).

Ragam seni, budaya dan instrumen ada di nusantara.  Ragam kebudayaan ini, kata Redy, menempatkan musik sebagai sarana efektif meresonansikan kebhinekaan, keberagaman, dan kekayaan Indonesia. “Idiom musik berbasis budaya lokal. Instrument musik berbasis senar, dimainkan dengan dipetik, gesek, serta dipukul” kata Redy yang juga pegiat Jaringan Kampung Nusantara (Japung) kepada Terakota.id.

Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), M. Dwi Cahyono dalam tulisan “Wahana Revitalisasi Etno-musikologi Nusantara,” menyebutkan festival yang mempergunakan kata “nusantara” ini sejatinya menunjukkan perjumpaan berbagai jenis, bentuk, dan kemasan musik etnis seantero Nusantara.  Alat musik berdawai atau waditra berdawai di lingkungan masyarakat etnik memiliki akar sejarah yang panjang.

Instrument Sape’ etnik Dayak, kecapi etnik Sunda, siter, celempung dan rebab pada etnik Jawa, gambus, mandolin dan biola etnik Melayu, Sasando dan beragam etnik di Nusa Tenggara Timur, gitar merupakan intrumen etnik di Maluku, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Festival Dawai Nusantara, katanya, amat penting untuk merepresentasikan kebhinekaan musikal khas Nusantara.

Festival Dawai Nusantara ini berawal dari kegelisahan sejumlah musisi dawai. Mereka menganggap kekayaan musik dawai masih bersifat sekunder, hanya melengkapi musik yang bercorak perkusi. Seperti corak musik yang dihasilkan alat musik tabuh, pukul, gosok, atau digoyang. Redy Eko Prasetyo berjejaring dengan musisi dawai lintas etnik menginisiasi ajang silaturahmi para pegiat instrument dawai.

Maka hadir even bernama Festival Dawai Nusantara. Pertama kali diselenggarakan 2015 di Kota Malang. Sembari mengajak anak-anak muda untuk mencintai dan memainkan dawai nusantara. “Program ini jadi ajang gathering, memperkenalkan produk dawai, sekaligus mendeteksi seniman-seniman dawai lainnya yang belum berjejaring,” ujar Redy.

Ada yang istimewa dalam Festival Dawai Nusantara kali ini. Sebuah instrumen dawai khas Malangan segera diselesaikan dan diluncurkan. Instrumen ini berada di salah satu relief Candi Jajaghu atau lebih dikenal dengan Candi Jago. Sebuah instrumen berbentuk musik dawai. Instrumen ini digarap oleh M.Faizal. Sebelumnya, Ali Gardy seorang musisi dawai asal Situbondo juga telah merampungkan instrumen musik dawai Borobudur.

M.Faizal, menggarap instrumen dawai Candi Jago ini diperkirakan tuntas dua bulan mendatang. Setelah tuntas, M.Faizal akan mencocokkan dan meneliti ulang dan disesuaikan dengan relief di Candi Jago. “Ada arkeolog yang membaca dan menafsirkan relief itu, Pak Dwi Cahyono mempunyai gambarnya. Saya hanya membuat saja,” ujar Faizal spesialis pembuat gitar.

Instrumen dawai ini dikerjakan di sebuah workship di Kepanjen, Kabupaten Malang. Selama ini ia juga membuat alat musik dawai asal Suku Dayak, Sape’. Faizal tak terlalu mengharap bantuan dari pemerintah. Dia hanya berharap pemerintah mengapresiasi dan bantuan promosi.

 

 

 

1 KOMENTAR

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini