
Terakota.id-–Rerimbun rumpun bambu, menaungin Tomboan Ngawonggo, Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Teduh, dan tenang. Angin berembus, daun bambu dan batang bambu melambai menghadirkan bebunyian khas rumpun bambu. Suara gemericik air mengalir dari Kali Manten, tepat di samping Tomboan, Ngawonggo.
Menghadirkan bunyi alam, penuh harmoni. Di bawah rumpun ini, Duo Etnicholic (Redy Eko Prastyo dan Anggar Syaf’iah Gusti) menggelar konser. Serta pemain tambahan atau additional player wahyu bemain gitar dan Chandra memainkan drum. Selaras, musik pengiring menggunakan instrumen akustik. Gitar, dawai cempluk, dan rebana. Sedangkan drum menggunakan jenis elektrik.
“Gemericik air. Repetisi bunyi alam adalah harmoni. Kalau sungai habis dan rusak jangan harap bumi akan menghasilkan harmoni. Ini estetika yang luar biasa,” kata Redy.
Mereka mengenakan pakaian tradisional, mengenakan kemeja lurik dan udeng khas Jawa. Sedangka Redy mengenakan bandaha dan kemeja dari kain tenun asal Timor. Sedangkan anggar mengenakan kebaya hitam dan jarik berbahan kain tenun bermotif emas dengan dominasi warna merah dan hitam.
Mereka memainkan lagu berjudul Hijau Lestari, pas dengan suasana sekitar Tomboan Ngawonggo. Tanaman hias dan pepohonan hijau terhampar di kawasan yang hanya selemparan batu dari situs Petirtaan Ngawonggo. Lagu ini mengantarkan Duo Etnicholic menjuarai Sopravista International Festivals di Italia, kategori duet mixed vocal and instrumental 2020.
“Di sini kita menghirup udara segar. Organik, dengan bahasa musikal,” kata Redy. Musik, kata Redy, merupakan media belajar untuk hidup. Menjaga keseimbangan antara satu dengan yang lain. Menggunakan instrumen yang berbeda tetapi dengan kesepakatan bersama menghasilkan harmoni. “Mudah mudahan instrumen ini frekuensi selaras dengan alam,” ujar Redy.
Single tersebut ditulis Enggar hanya dalam tempo selama dua hari. Ia mengaku risau dengan beragam bentuk dekoratif artifisial di rumah dan ruang publik. Melalui single ini Anggar mengajak semua untuk menanam aneka tanaman yang menghasilkan oksigen.
“Dekorasi rumah terlihat bagus, ada rumput, bunga dan tanaman hias. Tapi semuanya plastik,” ujarnya. Berturut-turut mereka menyanyikan lagu Berdendang dan Renjana Senja. Lagu berdendas khas dengan gaya lagu melayu. Sedangkan Renjana Senja dipadu dengan lirik berdialek Banyuwangi.
Bercengkrama dengan Musik dan Alam
Redy dan Anggar merupakan personil Etnicholic Project yang berdiri sejak 2007. Alasan kesibukan personil, akhirnya lahir Duo Etnicholic. Mereka berduet dengan memadukan unsur musik dan budaya etnik Nusantara. “Awalnya delapan orang. Konsepnya minimax, minimalis tapi hasil maksimal,” kata Redy.
Menurut Redy, Anggar memiliki talenta mengeksplorasi vokal dan gerak yang luar biasa. Redy menilai Anggar, sejajar dengan sejumlah penyanyi berkarakter di Indonesia. “Seperti Ubit (Nya Ina Raseuki), Iik (Trie Utami) dan Peni Solo (Peni Candrawati). Konsep musiknya bercengkerama. Musik dimainkan, mereka bisa langsung menangkap dan merespon bunyi dengan vokal,” katanya.
Anggar mengakui jika ketiga solois tersebut menginspirasinya dalam bermusik. Selain itu, juga turut mempengaruhi dirinya dalam seni olah vokal. “Saya mengidolakan Mbak Peni dan Mbak Iik,” kata Anggar yang juga duru seni budaya Brawijaya Smart School (BSS).
Ia mengaku berbahagia kembali berkarya bersama Duo Etnicholic. Anggar menemukan dunianya berbunyi, dan melepas bebas sekaligus merespon bunyi-bunyian. “Bareng Etnicholic, ekspresi saya terwadahi. Mewadahi imajinasi bunyi saya,” ujarnya.
Musik, katanya, bukan hanya yang sesuai dengan “standar bagus” di industri musik. Namun, juga sesuai dengan standar dan idealisme sang seniman. Seni musik, katanya, mewadahi ekspresi dalam bermusik. Ia seolah bisa masuk ke “dunia lain” seolah dunia tersebut milik sendiri. “Mengarungi duniamusik. Berimajinasi liar,” ujarnya.
Anggar juga menjelaskan jika sejumlah musik etnik terinspirasi dari alam. Seperti ketukan tempo musik tradisi di Bali seperti ombak. Sedangkan instrumen suku Dayak Kalimantan juga memproduksi instrumen bunyi yang terinspirasi dari alam.
Berkarya bersama etnicholic, sekaligus menjadi media Anggar dalam mengjarkan seni budaya kepada para muridnya. Menunjukka hasil karyanya dan mengajak para siswa turut berkarya. “Harus bikin karya,” ujarnya.
Konser ini sekaligus bagian dari pengambilan video klip untuk IRL Gigs. Selama konser berlangsung menerapkan protokol kesehatan (Prokes). Jumlah penonton dibatasi maksimal 30 orang. Selain itu, penonton wajib mengenakan masker dan mencuci tangan sebagai bagian dari prokes.
“Mohon tak mengunggah foto dan video hari ini. Agar tak banyak orang hadir di sini, sesuai protokol kesehatan,” kata salah seorang panitia. Sedangkan sampah, dan putung rokok diminta dibuang di tempat sampah yang tersedia. Selama konser berlangsung, penonton mencicipi aneka kudapan dan minuman tradisional. Sembari menikmati musik dan lagu karya Duo Etnicholic.
Usai konser, penonton mendapat jamuan makan siang. Aneka jenis masakan rumahan khas Jawa tersaji di sini. Suasana dan kuliner khas, menggugah selera siapapun untuk menikmati makanan yang tersaji.

Jalan, baca dan makan