
Oleh: Wahyu Eka Setyawan*
Terakota.id— Hari Pahlawan baru saja dirayakan dengan suka cita di seluruh pelosok negeri. 10 November diperingati sebagai bentuk takdzim atas jasa pendahulu. Mereka merelakan nyawanya demi utuhnya Republik Indonesia.
Hari Pahlawan sendiri sering diidentikan dengan kota Surabaya. Bermula kedatangan Sekutu ke Surabaya dengan tujuan mengamankan wilayah kekuasaannya. Pasca menang dari Jepang, maka sekutu berhak mendapatkan wilayah bekas kekuasaan Jepang, sebagai konsekuensi perang. Hal ini memicu aksi heroik yang diawali oleh arek-arek Surabaya. Mereka berperang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan. Terutama dari upaya rekolonialisasi oleh pihak Belanda yang membonceng pihak sekutu.
Peristiwa 10 November juga dikenal sebagai perang kemerdekaan. Terjadi dalam rentang bulan Oktober dan November, tepatnya tanggal 27 Oktober hingga 20 November 1945. Perang di palagan Surabaya menjadi aksi heroik yang memicu semangat rakyat. Dampak dari perang tersebut menjalar ke seluruh tanah air, memicu perang-perang serupa yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa aksi heroik di Surabaya dan berbagai belahan wilayah Indonesia lainnya menjadi tonggak penting dalam perjuangan rakyat. Di mana Front-Front Rakyat, Laskar-Laskar Santri dan Tentara Rakyat Indonesia bahu membahu untuk melawan sekutu.
Jika membincangkan perang 10 November, mungkin kita tidak asing lagi dengan sosok Bung Tomo. Sosok yang dikonstruksikan sebagai tokoh kunci dalam peristiwa 10 November, karena dianggap berhasil membakar semangat pemuda-pemuda Surabaya, melalui pidatonya yang berapi-api di radio saat itu. Tetapi ada fakta lain, jika Bung Tomo bukan satu-satunya tokoh yang berjasa dalam peristiwa 10 November.
Ada tokoh lain yang perannya sangat vital daripada Bung Tomo, bahkan cenderung sangat signifikan di medan pertempuran. Salah satu tokoh penting yang sering tidak diketahui , ialah Sumarsono sebagaimana dicatat oleh Bonnie Triyana dalam Historia.id. Dalam konteks 10 November menurut catatan Bonnie Triyana, Sumarsono berpandangan dan menyerukan, jika dalam pertempuran Surabaya merupakan cerminan kekuatan rakyat Indonesia. Di mana antar elemen saling bahu membahu, baik rakyat, tentara, laskar dan front, semua andil untuk mempertahankan kemerdekaan.
Tentu selain Sumarsono, ada tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam upaya pemertahanan kemerdekaan. Seperti, Darto Perang, Muriel pearson dan Haryo Kecik, bahkan seorang jepang bernama Laksamana Shibata Yaichiro turut membantu perjuangan rakyat, dengan menyediakan senjata dalam pertempuran tersebut. Namun keberadaan mereka sangat minim diulas, hingga keberadaanya sering dilupakan ketika peringatan hari pahlawan.
Sisi Lain Peristiwa 10 November dalam Lintasan Sejarah
Sebenarnya jika memperbincangkan peristiwa 10 November, bukan melulu soal terbunuhnya AWS Mallaby ditangan pemuda Surabaya atau laskar santri. Dan ini masih menjadi perdebatan yang cukup serius oleh para sejahrawan. Karena perihal terbunuhnya AWS Mallaby ini masih menjadi misteri, sesuatu hal yang enigmatik. Melihat peristiwa 10 November harus lebih holistik, mengenai bagaimana heroiknya rakyat dalam merespons aksi sepihak sekutu. Terutama kepentingan Belanda yang ingin menancapkan kolonialismenya kembali, melalui sekutu sebagai pemenang perang.
Perlu diketahui saat peritiwa perang kemerdekaan, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 10 November. Memunculkan perdebatan sengit antar tokoh pergerakan, di mana Sukarno, Sjahrir dan Hatta yang memilih jalur diplomasi, dengan Tan Malaka yang anti diplomasi. Seperti yang dituliskan oleh Tan Malaka dalam tulisan yang berjudul “Moeslihat.” Tulisan tersebut sebagai reaksi atas perjuangan pemuda Surabaya, terutama dalam upaya menyumbang gagasan dalam konteks strategi dan taktik.

Dalam tulisannya yang berbentuk seperti dialog antara Pacul, Toke, Mr . Apal dan Godam, Tan Malaka menegaskan jika diplomasi tidak terlalu signifikan dalam perjuangan. Tan lebih menekankan pada pentingya menyusun strategi yang berdasarkan situasi dan kondisi saat itu. Perlunya membentuk organisasi serta program-program terkait rakyat yang berjuang, guna menemukan syarat strategi perjuangan yang berkesinambungan.
Kemudian ada tulisan yang dituangkan oleh Sjahrir dengan judul “Perjuangan Kita,” sebenarnya tulisan ini tidak secara spesifik membahas perstiwa 10 November. Tetapi dalam waktu terbitnya tulisan tersebut berbarengan dengan peristiwa peperangan melawan sekutu. Sjahrir dalam tulisannya sangat kontradiktif dengan Tan Malaka. Ia menyatakan bahwa perjuangan rakyat tidak harus dengan kekerasan. Tetapi harus berlandaskan pada prinsip demokrasi, humanisme, anti-fasis dan sosialisme.Namun dalam menghadapi kapitalisme dan imprealisme harus dengan jalan damai, menekankan pada perjuangan demokratis.
Jika ditelaah mendalam tulisan “Perjuangan Kita” ini satu lintasan dengan peristiwa perang kemerdekaan. Karena sangat berkaitan dengan pokok tulisan Sjahrir terkait kemerdekaan dan revolusi. Berbeda dengan Tan Malaka yang lebih membedah syarat dan pra-syarat perjuangan. Sjahrir lebih menekankan pada strategi nirkekerasan, condong ke jalan damai yang tidak disarankan oleh Tan Malaka. Senada dengan Sjahrir, Sukarno menyerukan agar pertempuran melawan sekutu tidak dilanjutkan. Pandangan Sukarno ini lebih dilandasi agar tidak berjatuhan korban lebih lanjut, serta lebih menekankan pada perjuangan diplomasi.
Belajar Menelaah Peristiwa 10 November
Hari pahlawan tidak melulu soal heroisme, patriotisme dan hal-hal berbau militeristik. Dalam sub-judul di atas telah dijabarkan jika peristiwa 10 November, dalam spektrum yang lebih luas juga terdapat perjuangan non-perang. Seperti diplomasi, pendidikan dan upaya-upaya yang jauh dari kata angkat senjata. Memang penekanan dalam perang kemerdekaan ialah angkat senjata, baku tembak, hingga berseliwerannya tank-tank dan pesawat-pesawat tempur.
Hari Pahlawan harus menjadi awal dan pemicu untuk perbaikan negeri, di mana perjuangan tidak hanya melawan kapitalisme asing, tetapi juga eksploitasi oleh bangsa sendiri. Pahlawan sejatinya adalah mereka yang tanpa pamrih memajukan negeri ini. Profesor-profesor pertanian, teknologi serta bidang lainya.
Selain itu ada para pejuang lingkungan, kaum adat yang senantiasa mempertaruhkan nyawanya demi keseimbangan alam. Para pekerja yang selalu kritis dan militan dalam menyuarakan ketidakadilan, petani dan nelayan yang menyediakan kebutuhan pokok yang terjangkau, walaupun kadang mereka dianggap kaum liyan. Para guru dan dosen progresif yang menyuarakan pendidikan, mereka tanpa pamrih dalam mendidik rakyat.
Merekalah sosok pahlawan sesungguhnya, karena pahlawan tidak harus mengangkat senjata, berambut cepak dan mahir dalam menembak. Pahlawan sejati ialah yang benar-benar ingin memajukan negeri. Justru yang terpenting dalam melihat hari pahlawan, ialah bagaimana sebuah perjuangan diterapkan dengan melihat situasi dan kondisi terkini. Berperang merupakan pilihan terkahir dalam sebuah perjuangan.
Tetapi apakah sekarang kita membutuhkan peperangan? Lantas melawan siapa? Apakah melawan kapitalisme yang mengakibatkan ketimpangan kita harus angkat senjata? Tentu tidak militerisme tidak berguna dalam konteks ini. Hari pahlawan 10 November adalah kenangan positif, seharusnya dijadikan semangat untuk memajukan negeri.

*Santri FNKSDA dan Aktivis WALHI Jatim
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi