
Terakota.id—Bokai, tempat kami menginap tak hanya suasana tenang. Namun juga menyajikan kenyamanan. Nyaman saat membaca buku, dan bersantai. Di balik semua itu, ada kisah sejarah yang sedikit mistik di balik nama Bokai.
Diceritakan secara turun temurun, dulu kala penghuni laut dan darat bersahabat karib. Jika ada acara atau pesta di darat maka tetua setempat akan menggelar ritual. Ritual dilangsungkan untuk mengundang para penghuni laut. Jika para penghuni laut datang memenuhi undangan, maka mereka akan berubah wujud.
Di tepian pantai akan menanggalkan sisik (kulit laut) mereka sebelum jauh masuk ke daerah daratan. Suatu ketika penghuni laut datang ke darat untuk menghadiri undangan para tetua adat melalui ritual. Penghuni Darat berkhianat, mereka mengambil Tali, daun gewang, jaring, pukat untuk ditutup sepanjang pantai.
Pada saat pesta berakhir para penghuni laut hendak kembali ke laut. Namun tak bisa karena tertahan jaring. Lantas masyarakat mulai mengumpulkan para penghuni yang telah kembali memakai kulit laut mereka.
Jumlah ikan terlalu banyak sehingga sebagian tersisa atau dalam bahasa lokal disebut taga’e atau kai di jaring. Sehingga ikan mulai membusuk (Bo). Sehingga kampung ini kemudian disebut bokai.
Sebuah kisah penghianatan yang sangat terlalu. Sama seperti politisi yang menginkari janji kampanye terhadap rakyat.
Pasar Rakyat
Di sini pasar cuma seminggu sekali. Para pedagang dari ba’a biasanya berdatangan sejak pagi. Pagi sekali. Bahkan sebelum anak-anak pembesar bangun di akhir pekan. Mereka sudah menyiapkan lapak dan barang dagangan,
Percuma ngeceng dengan telepon pintar. Di sini tak berguna karena tak ada sinyal telepon. Hari itu, semua orang pergi ke pasar.
Namun kami menyeberang pulau, “kami datang jauh-jauh bukan untuk main-main ke pasar.” Kami bersiap berangkat ke destinasi berikutnya. Teman-teman sigap menenteng tas berisi air minum, bekal, dan tentunya kamera yang dengan baterai penuh. Kami mengisi daya baterai kamera menggunakan listrik tenaga surya.
Jadi jika kalian yang bertamasya sembari naik mobil dan tidur di kamar dengan penyejuk udara itu tak ada di sini. Jangan pula suka mengeluh saat matahari sedikit panas.
Hari ini kami mengunjungi Inaoe atau orang-orang sering menyebutnya Pantai Perawan. Sebuah gugusan pantai yang terletak di Desa Inaoe, Kecamatan Rote Selatan. Sebuah pantai indah, belum banyak wisatawan berkunjung. Mungkin salah satunya lantaran akses jalan rusak menuju pantai . Saat musim kemarau, angin kencang memukulan air laur, menimbulkan ombak. Deburan ombak menggelegar menghantam karang, Dua teluk berhadapan dengan laut lepas.

Pantai sebelahnya oleh masyarakat sekitar dikenal bernama Pantai Tolanamon. Berasal dari kata Tola artinya menusuk, menembus dan Namo artunya teluk. Diapit dua tebing, kedua sisi pantai ini dengan arus yang sangat tenang. Airnya jernih, cocok untuk berenang.
Setelah menikmati keindahan inaoe, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Batu Pintu. Terdapat sebuah batu besar dan anak tangga yang dibuat agar lebih mudah wisatawan berjalan ke atas. Di bawah batu terdapat sebuah lubang, seolah seperti sebuah gerbang menuju lautan. Inilah juga yang menjadi alasan mengapa pantai disebut batu pintu.
Satu garis pantai dengan Pantai Mboa. Pantai ini cukup bersih, sepi sampah apalagi tercemar limbah industri. Semoga tetap terjaga, sampai saya kembali untuk foto prewedding bersama calon istri tekasih. Selamanya tetap bersih, lestari dan indah terawat.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Lifulada. Dibutuhkan waktu selama 10 menitan dari Pantai Batu Pintu. Berbeda dengan pantai sebelumnya di Lifulada, masyarakat memasang pagar berjajar. Tak ada penjaga yang mengutip karcis masuk. Mungkin karena bukan hari libur dan pengunjung tak seberapa.

Melewati pintu masuk, Anda bisa melihat sebuah tulisan besar di atas bukit yang mirip dengan Pantai Pandawa di Bali. Di tengah-tengah pantai terdapat sebuah karang besar, membuat pantai ini sangat insagramable.
Terakhir Pantai Nembrala. Pantai ini sudah lebih terkenal lebih dulu dibanding pantai-pantai lainnya. Banyak wisatawan asing berkunjung ke pantai ini. Ketika kami beristirahat dan membeli minuman di sebuah toko milik masyarakat lokal, saya iseng bertanya tentang aktivitas warga.
Mereka tinggal bertahun-tahun di pesisir. Ada yang kerjanya ngutang di toko namun tetap dibayar meski dalam tempo cukup lama. Pantai ini terkenal sebagai tempat Surfing, pada musim ombak biasanya ada even surfing regional maupun nternational.

Bagi anda yang tidak suka atau tak tertarik surfing tak usah bersedih. Anda bisa menikmati matahari terbenam dan mengunggah foto di media sosial. Tentu dengan berafam caption alias keterangan foto. Cocok bagi Anda pecinta senja.
Setahu lalu Presiden Joko Widodo mengunjungi pantai ini. Bukan untuk surfing namun dalam rangka kunjungan kerja.
Setelah dari sini, kami bergegas pulang dari ke Bokai. Tentu untuk mempersiapkan diri kembali ke kupang esok hari.

Alumni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang ingin alam ini lestari. Bisa disapa di instagram @ferdybili15