Halal bi Halal Budaya Islam Indonesia

ketupat-dan-kewarasan-publik
Iklan terakota

Oleh: M. Najih

Halal bi halal merupakan tradisi Islam di Indonesia, yang dicetuskan oleh Bung Karno (setelah meminta pendapat dan  nasihat dari para ulama antara lain KH wahab Khasbullah) untuk merespon perkembangan   akibat polarisasi konflik politik pasca dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ide dasarnya adalah menemukan cara mempertemukan para elit politik akibat proses politik. Ide silaturahmi antar elit tersebut,  ternyata dianggap sebagai  bentuk  respon yang strategis secara politik pada waktu itu, yang kemudian ditradisikan dalam masyarakat Islam Indonesia sampai ke hari ini. Sejarah tersebut menunjukkan bahwa Halal bi halal secara historical menjadi simbol pola rekonsiliasi dalam sebuah momentum  kebangsaan yang  penuh dinamika gimik dan intrik.

Dalam makna simbolik, halal bil halal dapat disebut sebagai penanda momentum, untuk sebuah fase  baru dari laku yang sebelumnya, menuju  gerak baru, tantangan baru, utuk berkarya dan berprestasi yang lebih baik, sebagai hasil dari output Ramadan sebagai  pengejawantahan dan pengamalan insan yang taqwa.

Halal bil halal menandai diperdalamnya makna kebersamaan, makna kerja berkeleompok/berpasukan.  Mengeratkan kerenggangan, mengoreksi kelemahan untuk memadukan kembali kerja-kerja bersama yang belum tuntas maupun yang akan dicapainya. Jadi sesungguhnya  dan seharusnya momentum halal bil halal menjadi forum untuk mengintegrasikan kembali semangat persaudaraan manusia untuk mau hidup bersama saling berbagai dan memberi, bukan saling melukai  atau membenci.

Sebagai momentum, maka tidak tepat kiranya forum halal bil halal, hanya sekedar temu kangen keluarga, ketemu rindu nostalgia , reuni masa lalu.  Oleh karena itu secara  teknis, halal bil halal harus di laksanakan dengan pola dan langgam yang lebih bermakna, untuk semangat perbaikan dan perubahan dari kegelapan kepada cahaya dan bukan sebaliknya (minadzuluumati illannnur).

Makna simbolik dari Halal bil halal

Sebagaimana disimbolkan oleh kuliner dalam lebaran ketupat, bahwa  ketupat, yang berasal dari kata “kupat” (ngaku lepat), juga bisa dimaknai dengan “laku papat” .  Bahwa dalam silaturahmi dalam rangka hari raya idul fitri, (halal bil halal)  didalamnya terdapat  empat makna dari simbol hari raya itu. Ketupat atau disebut Kupat  (laku papat) yaitu “lebar”. “lebur’, “Luber” dan “labur”. 

Pertama  makna  kata  “lebar” (inilah yang  kemudian menjadi istilah hari raya lebaran). Lebar dalam bahasa jawa bermaksud  usai, telah berakhir, hal ini dapat dimaknai bawa hari Raya Idhul Fitri sebagai tanda telah berakhirnya orang Islam menjalani  puasa Ramadan, sebagai laku yang pertama.  Laku yang kedua,  yaitu “ lebur”, yang dalam hal ini bermakna  bahwa umat islam setelah ibadah puasa, maka segala dosa dan khilaf menjadi  hancur, menjadi  melebur, sehingga mencapai derajad yang paling tinggi yaitu manusia  yang fitri (suci bersih) maka lahirlah insan yang bertaqwa  sebagai output ibadah puasa Ramadan.

Ketiga,  “luber”,  “meluber” yang artinya tumpah yang meluas ke berbagai arah. Luber adalah laku yang bersifat kasih sayang. Seperti contoh bahwa sebagai hamba Allah yang beriman, membelanjakan harta benda kepada sanak saudara, kepada orangtua, untuk  pembangunan  masjid, sekolah dan tempat kegiaran sosial adalah bentuk menyebarkan atau meluberkan rizki yang dititipkan kepada kita sebagai simbol penyerahan diri kepada Allah SWT.

Keempat, bahwa dalam laku papat berikutnya adalah “labur”, yang berarti bahwa sebagai simbol perubahan laku sebelum Ramadan dan sesudahnya. Labur sebagai simbol perubahan atau pembaharuan.  Berkaitan dengan istilah “labur”, dikampung saya setiap menjelang hari raya, hampir semua rumah diperbaharuai cat dinding rumahnya.  Laku ini bermakna bahwa setelah puasa, umat muslim hendaknya terus tetap konsisten untuk menjalankan ibadah dengan lebih baik lagi. Pergantian warna dengan melabur/mengecat rumah kita berarti kita perlu melakukan perubahan cara kita beribadah, kearah yang lebih baik.

Maka usai  halal bil halal, kita kembali ke aktifitas rutin, dan melanjutkan tugas-tugas dengan cermat,  tuntas dan  tuntas.

Penulis (google.co.id)

*Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang