
Terakota.id–Kabar duka datang di tanggal cantik, 02-02-2020. Akan selalu saya ingat tanggal ini sampai kapan pun. Sebagaimana saya mengingat tanggal kelahiran saya sendiri. Bukan karena angkanya yang menarik. Namun, dua orang yang saya cintai, pulang untuk selama-lamanya di tanggal itu. Tadi pagi, adik keponakan yang sangat dekat meninggal di usia yang masih sangat muda, 27 tahun, dan terbilang mendadak. Tak ada tanda sakit atau firasat.
Lalu malamnya, seluruh grup WA yang saya ikuti membagikan kabar KH.Sholahudin Wahid atau karib dipanggil Gus Sholah wafat. Saya berharap ini adalah kabar bohong atau disinformasi. Hingga beberapa waktu tidak ada yang meralat. Benar, bahwa orang tua, guru, sekaligus teladan kita itu benar-benar pulang menyusul kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari, dan abahnya, KH. Wahid Hasyim.
Isyarat kepulangannya sebenarnya dapat ditangkap jauh-jauh hari. Tepatnya, ketika Gus Sholah menunjuk calon pengganti pengasuh Pondok Tebuireng. Kira-kira sejak dua tahun lalu Gus Sholah beserta dzurriyah KH. Hasyim Asy’ari memilih KH. Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin sebagai wakil pengasuh.
Posisi wakil pengasuh ini jika diperhatikan merupakan medium transisi sekaligus “pemagangan” bagi pengasuh Tebuireng mendatang. Gus Kikin juga mendiami dalem kasepuhan yang dulu ditempati Gus Sholah. Lantas Gus Sholah boyongan ke dalem, di dekat makam dan pintu belakang.
Hal yang sama juga dilakukan pengasuh Tebuireng sebelumnya, KH. Yusuf Hasyim yang menunjuk Gus Sholah sebagai gantinya. Karena sudah menunjuk calon pengganti, Kiai Yusuf pun boyongan dari ndalem kasepuhan. Terjadi pada medio 2006. Setahun setelahnya pada 2007 ketika pengasuh Tebu Ireng berpindah di pundak Gus Sholah, KH. Yusuf Hasyim wafat.
Entah kebetulan atau tidak, hari ini cerita itu berulang, Gus Sholah wafat tidak lama setelah menyiapkan calon penggantinya. Saya yakin, di sinilah letak kebijaksanaan sekaligus kewaskitaan seorang Kiai. Mereka seolah adalah pembaca hari esok yang ajaib.
Kabar wafatnya Gus Sholah secara otomatis membuat saya menggali ingatannya. Tanpa bisa dicegah, air mata ini meleleh. Saya merasa sangat dekat dengan Gus Sholah. Tentu ini sekadar perasaan saja. Perasaan santri kepada gurunya. Dan saya pikir, air mata kesedihan dan kehilangan memang tak butuh alasan kedekatan personal untuk mengiringi kepergian orang-orang baik dan berdedikasi luar biasa kepada sesama. Sebagaimana tangisan banyak orang untuk KH. Yusuf Hasyim, Gus Dur, Mbah Maimoen, juga Cak Munir.
Gus Sholah menjadi pengasuh Tebuireng pada tahun kedua saya mondok di Tebuireng hingga lulus. Gus Sholah juga orang yang mewisuda saya dengan menyematkan medali di panggung kelulusan di lapangan SMA A.W.H Tebuireng. Jadi alamiah, setiap santri merasa dekat dan terikat dengan kiainya. Saya pikir ini juga lah salah satu kelebihan pendidikan di pesantren. Ikatan emosinal antara santri, ustadz, dan kiai sangat erat, seperti satu keluarga besar.
Saya masih sangat ingat, di tengah kesibukannya, Gus Sholah juga pernah menyempatkan hadir memberi tausiyah di acara Halal bi Halal Organisasi Pelajar Thoriqul Huda (OPI-TH). Organisasi santri daerah se-karesidenan Madiun-Kediri, dua kali berturut-turut dan keduanya berlangsung di Madiun. Satu di rumah penulis sendiri.
Untuk level pengajian umum yang besar, kami masih sangat “ingusan” waktu itu. Banyak bolong di sana-sini. Dan kehadiran Gus Sholah dalam memberikan ceramah telah menambal semuanya. Karena pada akhirnya, semua perhatian tertuju pada piantun sepuh murah senyum dan ramah ini.
Sosok Gus Sholah tak jauh beda dengan sesepuh-sesepuh Tebuireng sebelumnya: berdiri di ordinat politik kebangsaan yang berpihak pada umat. Pada Maret 2015, ketika KPK coba dilemahkan akibat konflik KPK-Polri, saya dan beberapa teman sowan ke dalem Gus Sholah.
Kami mengutarakan rencana untuk mengadakan halaqoh antikorupsi di Tebuireng menggandeng pesantren-pesantren di Jawa Timur. Bagaimanapun, selain sebagai tempat “menggembleng” santri, dalam lintasan sejarahnya pesantrean telah menunjukkan bukti sebagai basis perjuangan bagi umat. Baik itu di masa kolonial maupun pasca kemerdekaan.
Gus Sholah menyambut dengan tangan terbuka. Bahkan Gus Sholah bersedia jika undangan halaqoh ditandatanganinya. “Manfaatkan tanda tangan saya selagi itu untuk kebaikan,” kira-kira begitu yang beliau sampaikan.
Pada hari itu juga, panitia mengetik surat undangan di kantor pusat Tebuireng lalu membubuhinya dengan tanda tangan Gus Sholah yang dipindai dari server sekretariat kantor pusat Tebuireng. Berbekal surat itu kami berbagi tugas berkeliling dan menghubungi beberapa pesantren. Tanda tangan Gus Sholah benar-benar “sakti”. Para Kiai yang kami hubungi menyambut dengan antusias. Mereka rela menempuh jarak yang jauh untuk hadir ke acara yang dipersiapkan dalam rentang waktu sangat pendek. Satu minggu.
Ternyata itu bukan kali terakhir saya merepoti Gus Sholah. Di pengujung 2016, saya kembali menghubungi Gus Sholah untuk hadir di Laporan Akhir Tahun Malang Corruption Watch (MCW) yang dilangsungkan di Universitas Islam Malang (UNISMA). Gus Sholah menyanggupi. Meski begitu saya tetap wajib sowan ke Tebuireng, karena tidak pantas mengundang hanya lewat telpon.
Pada hari pelaksanaan, Gus Sholah datang beserta rombongan dari Tebuireng beserta Bu Nyai Farida. Gus Sholah datang tepat waktu, ketika kursi-kursi acara masih banyak yang kosong. Inilah salah satu ciri khas Gus Sholah, disiplin. Gus Sholah mencatat rinci jadwal keseharian lengkap dengan waktu pelaksanaan.
Jika waktu janjian pukul 10.30 WIB dan ternyata kita molor datang pukul 10.50 WIB , maka kita harus legowo jika harus dijadwal ulang. Kini, sudah tak mungkin kita membikin janji dengan sosok tepat waktu itu lagi. Gus, temui kami “di sana” saja nggeh.
Selang satu tahun, saya kembali mengganggu waktu beliau untuk tema yang sama: korupsi. Kali ini saya meminta Gus Sholah memberikan sinopsis untuk buku Bambang Widjojanto berjudul “Berantas Korupsi Reformasi: Catatan Kritis BeWe.”
“Tolong kirimi outline buku tsb: bab yg ada, utk bisa membuat catatan thd buku tsb,” jawab Gus Sholah yang saya tulis ulang apa adanya.
Setelah outline dan draft buku saya kirim, selang berapa hari Gus Sholah benar-benar mengirimkan tanggapan atas buku BeWe. Sungguh, Gus Sholah tokoh tidak ribet dan “ngelit” (macak elit) saat berkomunikasi dengan siapapun. Hingga Gus Sholah wafat, saya justru lupa membawakan buku yang telah selesai dicetak ke dalem Tebuireng. Gus, ngapunten nggeh.
Beberapa bulan lalu, sebenarnya saya hendak “merepoti” beliau lagi. Saya meminta waktu untuk sowan bersama salah satu calon Pimpinan KPK yang berasal dari elemen pergerakan. Artinya, bukan Calon Pimpinan (Capim) KPK dari unsur Polri, Kejaksaan, birokrasi, ataupun “utusan” partai.
Gus Sholah adalah salah satu tokoh yang masuk daftar wajib untuk disowani. Alasannya, selain sebagai tokoh bangsa, beliau juga sosok yang memikirkan persoalan kebangsaan, mengkritik oligarki, dan mendukung pemberantasan korupsi. Beliau berada di Jakarta waktu itu dan dokter memintanya beristirahat. Akhirnya, kami memilih untuk tidak mengganggu masa perawatan kesehatannya.
Kini, ulama yang memandang umat dengan pandangan kasih sayang itu telah dipanggil Allah untuk selama-lamanya. Gus Mus, dalam sambutannya di prosesi pemakaman Gus Sholah, mengatakan: “Gus Sholah telah menyusul keluarga-keluarganya yang pejuang.” Semua orang pasti mengatakan, 77 tahun terlalu cepat. Kami masih ingin sesekali sowan berlama-lama, sekadar memandang parasmu yang meneduhkan.
Tapi sudah tidak mungkin. Panjenengan telah dimakamkan diantar lautan air mata. Dan, esok, ketika sowan, kami hanya bisa memandang pusaramu yang berbunga. Bukan lagi wajahmu dengan senyum yang khas.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict