Iklan terakota

Terakota.id–Saya selalu bangga dengan profesi guru. Sejak saya menjadi dosen, Kartu Tanda Pengenal (KTP) saya berstatus pekerjaan sebagai seorang guru. Sampai suatu saat saya harus mengubah identitas guru menjadi dosen karena aturan negara. Ya, saya tidak boleh mencantumkan pekerjaan sebagai guru setelah mendapat Sertifikasi Dosen (Serdos).

Jika saya menulis pekerjaan sebagai guru, saya dianggap berpendapatan ganda (dari dosen dan guru). Tentu itu pelanggaran. Toh saya harus mengikuti aturan itu. Meskipun saya lebih senang dianggap dan dengan tetap bangga mencantumkan identitas guru dalam KTP saya.

Tugas guru tidak mudah. Anda yang berprofesi bukan guru tentu tidak banyak merasakan beratnya tugas guru. Sebagai dosen – tugas utamanya mendidik – tidak kalah beratnya dengan seorang guru di pendidikan dasar dan menengah. Tentu semua punya level, kemudahan dan kesulitan masing-masing. Semua profesi guru adalah mulia. Beda status tapi tujuan tetap sama.

Kyai juga guru. Ustadz juga guru. Pemuka agama yang lain juga guru. Saya menganggapnya begitu. Guru dalam arti punya tugas mendidik para siswanya. Hanya sebutan untuk murid Kyai namanya santri. Namun bagi saya itu hanya sebutan. Tugas Kyai juga tak kalah penting dalam mendidik sebagaimana seorang guru.

Saat saya ikut mengaji di PP Nurul Ummah, Penggan Kotagede, Yogyakarta ada kejadian menarik. Diketahui ada seorang santri yang ketahuan berbuat salah. Namanya juga anak muda. Dia juga kelihatan agak nakal, dilihat dari penampilan dan kata-kata yang diucapkan. Dia kedapatan menjalin hubungan asmara dengan anaknya warga sekitar pondok. Maklum saja, waktu itu penjagaan pondok tidak ketat. Juga, jumlah santrinya juga tidak banyak. Pondok hanya mempunyai kamar 17 saja. Sementara pagar sekitar pondok juga tidak ketat penjagaannya.

Syahdan, santri itu diketahui oleh “Lurah pondok” (sebutan ketua para santri). Akhirnya santri yang melakukan kesalahan itu diadili. Dia mengakui. Lalu ada yang usul. Karena sudah kelewat batas dan agak memalukan pondok maka ada yang usul untuk dipulangkan. Ini tentu usulan beberapa santri senior.

Tentu saja segala keputusan harus mendapat persetujuan pak Kyai. Pulang ke rumah saja harus minta tandatangan pak Kyai, apalagi memutuskan sebuah kesalahan. Usulan untuk mengembalikan ke orang tua itu disampaikan ke pak Kyai.

Apa yang terjadi kemudian?  Pak Kyai itu tentu saja menolak. Mengapa? Orang tuanya mempercayakan anaknya untuk dididik di pondok. Tentu agar menjadi “orang”. Tak semua santri berasal dari keluarga baik-baik. Minimal punya bibit yang berbeda-beda. Punya niat mau mondok saja sudah bagus. Bagaimana jika seandainya melakukan kesalahan lalu dipulangkan? Apa kata orang tuanya nanti? Bagaimana komentar masyarakat umum jika mengetahui karena amanah yang diberikan orang tua ternyata pondok cuci tangan dengan mengembalikan ke orang tua?

Akhirnya santri itu tetap diperbolehkan tinggal di pondok. Lalu apakah sekadar memaafkan saja? Tentu tidak. Santri itu diberikan hukuman (tanzir) dengan digunduli. Rambutnya dipotong plontos. Pemotongan harus dilakukan pada malam hari. Ini kebiasaan potong yang dilakukan untuk memberikan hukuman.

Hampir sama yang pernah saya lihat di PP Al Qur’aniy, Mangkuyudan, Solo. Waktu itu seorang anak kecil yang ikut mondok ketahuan mencuri uang. Kejadian itu sebenarnya sudah saya rasakan juga. Bagaimana mungkin uang saya dalam saku celana kadang merasa berkurang. Selidik punya selidik ternyata ketahuan seorang santri kecil yang mencuri. Setelah mengakui, maka santri itu digunduli sebagai langkah untuk melakukan efek jera.

Jadi, betapa berat tugas seorang guru bukan? Tugasnya menukik ke permasalahan yang paling dalam. Tidak saja soal akhlak – dan ini yang paling penting – tetapi juga pelajaran-pelajaran lain terkait dengan pengetahuan. Tentu untuk memperkuat karakter anak didik di masa datang.

Atta Halilintar

Terkait dengan tugas seorang guru saya jadi ingat Atta Halilintar. Dia baru saja melangsungkan pernikahan dengan Aurel Hermansyah (3/4/21). Bahkan tak tanggung-tanggung presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para menteri datang di acara. Tak tanggung-tanggung lagi, disiarkan televisi swasta secara langsung. Heboh. Siaran itu tentu melanggar frekuensi publik. Karena frekuensi milik negara dan harus digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat.

Apa yang menarik dari fenomena Atta? Dia youtuber yang punya 26 juta subscriber. Sebuah prestasi yang tak semua orang bisa melampauinya. Dia awalnya juga bukan seorang yang terkenal. Mendadak terkenal karena kepintarannya memakai dan menyiasasi kondisi teknologi untuk mencapai sukses. Dalam hal ini kita salut.

Lalu apa yang meresahkan? Isi youtubenya yang mempunyai efek buruk. Pamer kemewahan, prank, bahkan “malam pertamanya”dengan Aurel juga diunggahnya. Masyarakat tersedot perhatiannya pada youtuber itu. Kebanyakan hanya ikut-ikutan. Tetapi ikut-ikutan ini telah menguntungkan pemilik youtube karena akan “kebanjiran” uang. Enak bukan? Tak ada yang bisa dicontoh selain hanya untuk hiburan.

Ilustrasi : Irwan ART drawing

Kita tahu, masyarakat memang sedang gandrung dengan tayangan hiburan. Menikmati youtube tak perlu seperangkat pengetahuan mumpuni. Yang penting secara indera bisa menikmatinya. Sudah cukup. Tentu saja semakin remeh-temeh sebuah tayangan akan semakin banyak yang menonton. Tidak percaya? Boleh diteliti sendiri. Dan itu sangat berbahaya bagi perkembangan anak didik.

Apakah Anda yang sudah punya anak pernah membayangkan jika anaknya penonton setia youtube Atta? Apa kita tak khawatir untuk itu? Orang tua tak sengaka disedot “pulsanya” untuk keuntungan orang tertentu? Bisa membayangkan orang tua bekerja keras membanting tulang untuk mencukupi kebutuhannya? Tayangannya hanya remeh temeh.

Memang Atta tak seratus persen salah.  Karena dia hanya menayangkan apa yang dia inginkan. Dia sedang berusaha untuk eksis. Dengan kata lain, “menjual mimpi” melalui tayangan. Sementara kita berada dalam masyarakat yang pasif menikmati sebuah tayangan. Kalau selama ini kita khawatir media massa banyak manayangkan acara hiburan saja sudah mencemaskan, apalagi berkembang youtube yang isinya remeh temeh.

Yang dikhawatirkan nanti banyak anak-anak hanya mau meniru seperti Atta. Sementara keahlian dia hanya terkait soal teknis memanfaatkan media. Serba remeh temeh dan tak banyak unsur pendidikannya. Apakah saya benci tayangan-tayangannya itu? Tidak juga.

Tugas Berat Guru

Di sinilah saya sebagai seorang guru sering galau. Bukan saya tidak menghargai jerih payah Atta. Juga bukan saya tak mengapresiasi keuletan Atta. Tetapi saya sebagai guru juga punya hak untuk cemas, bukan? Jangan-jangan anak didik hanya meniru apa yang tersaji dalam tayangan Atta. Sementara dia membangun itu semua dengan susah payah dan jangka panjang. Ini orang tentu tak banyak yang tahu dan paham.

Bagaimana dengan pendidikan budi pekerti? Tentu tak banyak diajarkan dalam tayangan tersebut. Jika anak didik hanya ahli dalam soal ketrampilan semata sesuai tunt Bisa jadi, itu hanya kekhawatiran seorang guru.utan zaman, maka pendidikan dasar seperti membangun karakter, budi pekerti, akhlak tentu akan terancam. Sekali lagi, kekhawatiran saya bisa jadi tak beralasan.

Masalahnya, pendidikan yang tidak mendasarkan pada pendidikan karakter dan budi pekerti hasilnya sudah bisa kita saksikan saat ini, bukan? Kondisi masyarakat yang karut marut, mau menang sendiri, mementingkan tujuan, saling  menelikung,  cermin betapa nilai dasar pendidikan di negara ini dalam kurun waktu lama tidak dilaksanakan dengan baik.  Itu karena pendidikan karakter tidak dilaksanakan dengan baik.

Guru itu tentu pelaksana. Jadi dia juga perlu acuan negara terkait dengan kegiatannya dalam mendidik. Dalam kurun waktu lama pendidikan kita hanya fokus pada hafalan. Sekarang mau digiring ke ketrampilan praktis. Sebagai guru saya semakin cemas juga kondisi ini. Kecemasan yang akan dituduh orang lain terlalu berlebihan. Tetapi kita buktikan saja dalam jangka panjang dengan mengacu pada sistem pendidikan saat ini.