
Terakota.id–Selain Jalaludin Rakhmat (1949-2021) tokoh yang saya kagumi yang sama-sama ada Jalal-nya adalah Jalaluddin Rumi (1207-1273). Kata “jalal” berarti kemuliaan. Dua tokoh ini telah melampaui hidupnya dalam mengemban tugas demi kemuliaan umat dengan pemikirannya yang melintasi sekat-sekat identitas. Keduanya menaruh perhatian yang mendalam kepada tasawuf. Jalaludin Rakhmat sangat menaruh perhatian terhadap Jalaludin Rumi, dan juga mengaguminya. Sebagian pemikiran Jalaludin Rahmat juga sangat dipengaruhi oleh karya-karya Jalaluddin Rumi.
Sepanjang hayatnya, Jalaluddin Rumi menggelorakan cinta melalui karya-karyanya. Dalam pengantar untuk terjemahan buku karya Jalaluddin Rumi, Matsnawi, Senandung Cinta Abadi (Bentang, 2006), Abdul Hadi W.M. menyatakan bahwa cinta sebagai sifat Tuhan dan sekaligus wujud batinnya itu dipandang oleh para sufi sebagai asal kejadian atau penciptaan alam semesta, sebab tanpa al-Rahman dan al-Rahim-Nya tidak mungkin alam dunia yang begitu menakjubkan dan penuh kenikmatan ini diciptakan oleh Yang Mahakuasa sekaligus Maha Pengasih dan Penyayang.
Lebih lanjut Abdul Hadi W.M. juga menegaskan bahwa cinta juga memiliki kekuatan transformatif, yaitu kekuatan mengubah keadaan jiwa manusia negatif menjadi positif. Itulah antara lain yang diajarkan Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lain pada abad ke-13 M, ketika umat Islam di dunia Arab dan Persia berada dalam periode buruk dalam sejarah klasiknya.
Salah satu karya Rumi yang paling banyak diperbincang adalah Matsnawi. Matsnawi dianggap sebagai karya terbesar Rumi sepanjang hidupnya. Dalam bahasa Indonesia, pada umumnya Matsnawi diterjemahkan dari bagian-bagian tertentu saja, mengingat karya ini memuat 40 ribu bait prosa berirama. Setelah membaca edisi terjemahan Abdul Hadi W.M. saya tertarik salah satu prosa lirisnya Rumi dalam Matsnawi, yang diterjemahkan dengan judul “Pedagang Sayur dan Burung Beo yang Menumpahkan Minyak Tanah.”
Rumi berkisah tentang seorang tukang sayur yang memiliki burung beo. Suatu saat burung beo itu tidak sengaja menumpahkan botol yang berisi minyak. Tukang sayur itu marah dan menggunduli kepala burung beo itu. Beberapa hari burung beo itu tidak dapat mengoceh seperti biasanya. Tukang sayur itu berusaha keras agar burung beonya bisa berbicara lagi. Ia memberi sedekah kepada setiap darwis yang lewat depan tokonya. Ketika ada seorang darwis lewat dengan kepala gundul, burung beo itu kembali bisa bersuara. Ia meneriaki sang darwis itu, “Hai ikhwan! Mengapa kamu botak, hai Gundul? Apakah kau menumpahkan minyak dari botol seperti aku?”
Tidak jelas mengapa Rumi memilih burung beo dan seorang darwis yang gundul untuk membangun ceritanya. Dalam kisah ini yang jelas Rumi mengajak kita untuk tidak mengukur orang lain dengan ukuran yang ada dalam diri kita sendiri. Jangan ukur perbuatan orang suci dengan dirimu. Sebab walaupun cara menulis kata “sher” (singa) dan “sheir” (susu) mirip, keduanya berbeda.
Lahirnya intoleransi disebabkan oleh kehendak pribadi atau kelompok yang secara langsung maupun tidak langsung menginginkan agar orang lain mengikuti apa yang menjadi kehendaknya. Sebuah kelompok tertentu menganggap dirinya memiliki otoritas tunggal, yang bahkan otoritas itu mengatasnamakan Tuhan. Akhir-akhir ini, baik di YouTube, WhatsApp, Fecebook, dan media sosial lainnya sedang marak orang menafsirkan keyakinan orang lain secara serampangan.
Tidak sedikit dari mereka bahkan menghakimi bahwa keyakinan orang lain itu sesat menyesatkan, kafir dan sebagainya, serta tidak selaras dengan keyakinan agamanya. Oleh karena itu, mereka berkeinginan keras agar keyakinan yang tak sejalan itu diberangus dari bumi Indonesia. Mengukur keyakinan orang lain dari kacamata keyakinannya atau kitab sucinya sendiri jelas tindakan yang tidak fair.
Di luar itu semua, hubungan antar umat beragama di negeri ini selalu mengalami pasang surut yang tajam. Salah satu penyebab ketegangan itu disebabkan oleh dunia maya kita yang saat ini dipenuhi oleh para apologet. Sekalipun tidak semua apologet membawa virus perpecahan, namun beberapa di antaranya telah menanamkan pandangan yang subjektif dan cenderung menggelorakan kebencian terhadap agama lain. Kesalahpaham di antara pemeluk agama makin meningkat, dialog mengalami kebuntuan. Perdebatan yang tanpa ujung pangkal justru dipelihara sebagai kebanggaan.
Salah satu keyakinan yang paling banyak disalahpahami dan selalu menjadi topik hangat di medsos adalah tentang Trinitas yang dianut oleh saudara kita umat Kristiani. Banyak orang mengutip Quran 5:116 untuk menghakimi keyakinan Kristiani. Di samping hal tersebut merupakan perilaku yang tidak terpuji, karena menyerang keyakinan orang lain secara terbuka, banyak hal telah disalahpahami oleh segolongan masyarakat kita tentang Trinitas.
Menurut saya, Quran 5:116 jelas tidak ditujukan kepada umat Kristen, sebab Trinitas yang diyakini oleh umat Kristen bukanlah adanya tiga Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam ayat tersebut, yakni Allah, Maria, dan Yesus. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Hai ’Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ’Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”
Dari diskusi saya dengan banyak orang Kristen, mereka sama sekali tidak pernah memiliki keyakinan yang demikian itu. Trinitas atau Tritunggal Maha Kudus yang diyakini oleh umat Kristiani, terutama di Indonesia, pada hakikatnya bahwa Allah itu Esa. Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus adalah satu kodrat. Ketiganya adalah manifestasi dari Allah Yang Esa, yang maujud dari sifat-sifat-Nya.
Dalam konsteks Kristiani keilahian Yesus bukan terletak pada dagingnya, tetapi karena ia adalah firman-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam Injil Yohanes 1:1, “Pada mulanya adalah Firman ; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Dalam Quran 3:45 disebutkan bahwa (Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
Dalam Quran sifat Allah yang Maha Berfirman disebut dengan Mutakalliman. Karena nama-nama Allah dasarnya adalah sifat-sifat-Nya, maka jika orang Islam menyebut 99 nama Allah apakah bisa dimaknai bahwa Allah itu jumlahnya 99? Tentu saja tidak. Begitu pula konsep ketuhanan Kristiani yang Trinitas tersebut tidak juga bisa dimaknai bahwa Tuhan itu tiga, sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang di luar Kristen. Trinitas tidak menghalangi ketauhidan Kristen. Dasar ketauhidan itu adalah pernyataan iman sebagaimana tertera dalam Ulangan 6:4, “Shema Yisrael Adonai Eloheinu Adonai Ehad, Dengarlah, hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa,” yang ditegaskan kembali oleh Yesus dalam Matius 12:29.
Terhadap perkara ada perbedaan antara Kristen dan Islam dalam banyak hal, terutama menyangkut pribadi Isa Al-Masih atau Yesus Kristus, hal tersebut bukanlah menjadi masalah, karena kita tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan “dapur” orang lain. Umat Islam tidak memiliki wewenang untuk menghakimi kayakinan umat Kristen, begitu pula sebaliknya umat Kristen juga tidak memiliki kapasitas untuk mengukur keyakinan Islam berdasarkan pandangan teologisnya.
Dalam memandang fenomena keagamaan kita tidak dapat melepaskan diri dari tiga hal, yakni teks, konteks, dan praktik. Teks-teks suci hadir dalam konsteks budaya tertentu, sementara praktik-praktik keagamaan sangat dipengaruhi tafsir yang dihasilan oleh masing-masing kelompok, atau bahkan mungkin pribadi. Wajah agama yang sesungguhnya tidak bisa dilihat hanya sekadar dari praktik orang-perorang, atau kelompok-kelompok tertentu. Barangkali apa yang dipraktikkan tidak sesuai dengan kitab suci yang dipegangnya. Sebuah pertanyaan, apakah terorisme bersumber dari agama, misalnya. Jawabannya sangat bergantung dari tafsir atas teks-teks itu. Dalam praktiknya, memang di antara mereka menggunakan teks-teks itu untuk melegalkan bahwa tindakan yang mereka lakukan benar, sekali pun berdasarkan tafsir sepihak.
Media sosial kita juga dipenuhi dengan penggiringan pemujaan pada simbol. Banyak orang terjebak pada nama, pada label, namun sepi dari hasrat untuk mendorong melakukan perbuatan mulia. Orang terperangkap dalam kungkungan istilah dan cap formal, namun melupakan hakikat Sang Maha Cinta. Kita diciptakan sebagai “gambar” Sang Maha Cinta, dan memiliki tugas untuk memanifestasikan-Nya. Kata Rumi, “Nama orang mukmin dicintai sesuai dengan isi hatinya, yaitu iman yang tertanam dalam-dalam; nama orang munafik dibenci sesuai dengan tabiatnya yang tercela. Empat huruf, mim, wau, mim, dan nun tidak mendatangkan kemuliaan; perkataan mukmin hanya untuk memperlihatkan namanya.”
Sering kali kita lupa bahwa orang lain memiliki hak untuk menyatakan miliknya juga baik, sekalipun mungkin di mata kita sebaliknya. Tentu, semua ada alasannya. Seseorang memilih rambut gundul dengan alasan untuk menghemat shampo. Sementara orang lainnya melakukan pilihan yang sama agar lebih kelihatan keren, karena bentuk kepalamu bagus. Jika kita sama-sama gundul, misalnya, bukan berarti kita memiliki alasan yang sama. Jadi, gundulku berbeda dengan gundulmu. Sesuatu yang sederhana, tak usah diperumit.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)