Iklan terakota

Terakota.id–Saya punya beberapa mahasiswa yang sedang melakukan bimbingan Tugas Akhir (TA). Namanya mahasiswa tentu bermacam-macam karakter. Ada yang rajin bimbingan, ada yang malas-malasan. Ada yang WhatsApp (WA) setiap hari menanyakan kapan proses bimbingan kembali dibuka. Ada yang orangtuanya ikut menanyakan ke saya.

Beberapa ciri khas unik yang juga ada. Misalnya, saya punya mahasiswa yang awalnya bimbingan dengan rajin. Tiba-tiba selama hampir satu tahun menghilang. Kemudian muncul dengan naskah yang sudah sampai analisis data. Bahkan ada yang sudah sampai abstrak. Jadi, mahasiswa itu jarang bimbingan kemudian tiba-tiba muncul. Ada pula yang muncul deadline (tenggat waktu) terakhir pendaftaran ujian. Terhadap aksus terakhir ini tentu saya menolak. Bahkan saya sarankan mencari dosen pembimbing lain agar tak ada kesan saya dianggap menyulitkan TA-nya.

Yang unik, ada mahassiwa yang sudah melakukan seminar proposal skripsi. Lalu menghilang. Tiba-tiba mau bimbingan. Dia mengaku lama tidak bimbingan karena berpindah dosen pembimbing dan ia memilih jalur non skripsi (TA karya). Namun dengan dosen pembimbing yang baru itu naskah TA-nya ditolak. Alasanya, memang TA-nya tak layak untuk jadi bahan tugas akhir sebagai mahasiswa tingkat sarjana. Naskahnya seperti laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) anak sekolahan.

Terhadap mahasiswa terakhir ini tentu saya menolak. Saya merasa di “PHP” karena tanpa sepengetahuan saya dia “hilang”. Kemudian muncul lagi dengan masalah baru. Lalu saya putuskan untuk mencari dosen lain saja karena hubungan saya dengan dia sudah “cacat”. Tentu tak enak terkait proses bimbingan nanti. Dalam istilah sekarang saya menjadi korban goshting mahasiswa.

Arti Ghosting

Apa itu ghosting? Mengapa ia mendadak muncul? Padahal istilah itu sebenarnya sudah lama ada? Mengapa baru ramai dibicarakan masyarakat umum? Istilah ghosting muncul karena ada peristiwa yang menyangkut orang terkenal. Sebut saja Kesang Pangarep, anak presiden Joko Widodo (Jokowi).

Istilah ghosting menjadi semakin viral setelah muncul tuduhan pada Kaesang. Ia dituduh melakukan ghosting  atas hubungannya dengan Felicia Tissue (anak pengusaha dari Singapura). Tuduhan Kaesang dilakukan ibu Felicia (Meilia Lau).

Nama Kaesang dan Felicia semakin popular saat foto-foto Felicia tiba-tiba hilang dari media sosial Kaesang. Lalu, media sosial Kaesang dipenuhi dengan foto-foto dirinya dan produk bisnis yang dirintisnya. Menjadi semakin ramai manakala pihak Felicia buka suara. Ia  pun menuduh Kaesang melakukan ghosting atau hubungan tanpa kejelasan.

Namun tingkah laku ibu Felicia ini tak mengundang simpati. Ia justru dianggap sinis lantaran  “marah-marah” melalui di media sosial. Atas kasus itu Kaesang hanya  menanggapinya dengan biasa saja. Bahkan belakangan diketahui punya hubungan dengan Nadya  Arifta asal Bima yang ikut membantu bisnis Kaesang. Nadya juga diketahui pernah menjadi MC acara-acara Kaesang dan bisnisnya, menjadi reporter TV dan pernah kuliah di Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), meskipun tidak sampai tamat.

Tentu itu hubungan asmara biasa antar anak muda. Ghosting bisa jadi berita biasa jika dilakukan masyarakat umum. Menjadi menarik karena menyangkut “orang populer”. Menjadi semakin viral karena kemudian banyak pihak berkomentar tanpa tahu permasalahn dasarnya. Apakah sebuah hubungan akan terus dilakukan jika sudah tak ada cinta diantara mereka? Ini pertanyaan rasional dan menyangkut rasa.

Tetapi yang menarik bukan hubungan segitiga antara Kaesang, Felicia dan Nadya. Saya lebih tertarik membahas soal ghosting ini. Tentu dikaitkan dengan beberapa hal. Tetapi apa itu sesungguhnya ghosting?

Ghosting bisa diartikan sebagai perilaku menjauh. Bisa berarti tiba-tiba menghilang dari kehidupan seseorang tanpa mengirim kabar. Biasaya orang yang melakukan ghosting akan menjauh dari suatu hubungan. Dianggapnya perilaku menjauh ini sebagai jalan keluar yang cepat dan mudah.

Tetapi, perilaku ghosting merugikan orang yang jadi korban. Sebut saja korban ghosting. Korban tentu akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa dia menjauh? Apa sudah tidak ikatan cinta lagi? Yang jadi korban juga bertanya-tanya apakah dia salah? Mengapa itu bisa terjadi? Itu sederetan pertanyaan pada korban ghosting.

Saya tidak akan membahas ghosting cinta. Itu tak menarik. Untuk orang lain itu mungkin bisa hanya sekadar gosip. Yang ingin saya tekankan adalah ada dua pihak yang melakukan kegiatan; yang melakukan ghosting dan yang menjadi korban ghosting. Satu hal yang penting terkait ghosting adalah ada usaha menjauh dari sebuah hubungan karena dianggapnya itu menyelesaikan masalah. Tetapi itu tentu menjadi masalah bagi orang yang menjadi korban.

Ghosting di Sekitar Kita

Nah, sekarang, ghosting ini sebenarnya tidak hanya terjadi dalam kasus asmara. Tetapi ia juga terjadi pada kasus di kehidupan sekitar. Satu diantaranya terkait aktivitas politik. Coba amati lebih detail bukankah partai politik (Parpol) kita, anggota dewan, dan presiden juga pejabat di bawahnya pernah melakukan ghosting?

Saat mau Pemilu Parpol mendekat ke masyarakat. Begitu sudah selesai Pemilu ya selesai sudah hubungannya. Tak ada lagi istilah wakil rakyat atau yang merasa diwakili. Parpol menjauh, sibuk dengan dirinya sendiri. Parpol akan muncul lagi menjelang Pemilu. Sebegitu mudahnya masyarakat kita dighosting sama Parpol, bukan? Apalagi jika seorang anggota dewan sudah diantarkan untuk menduduki gedung dewan yang terhormat itu. Ini bukan berarti sinis pada anggota dewan. Tetapi jika kita benar-benar sadar kita telah dighosting.

Pemerintah yang sibuk sendiri dengan urusan politik dan bukan urusan kemaslahatan banyak orang juga punya indikasi melakukan ghosting. Mungkin saja secara fisiknya hadir di tengah masyarakat. Tetapi mereka sudah menjauh dari sisi kebijakan dan urusan-urusan kemasyarakatan. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung membela elite politik. Ini juga ghosting.

Itu juga bukan berarti bersikap sinis pada pemerintah. Jangan terlalu dangkal memahami masalah. Tetapi dengan melihat berbagai problem yang muncul terus berkepanjangan, terus menumpuk, tak ada penyelesaian secara kongkrit bukankah itu ghosting juga? Di sinilah selayaknya kita tak sekadar merenung, tetapi harus berbuat. Kecuali jika kita puas sebagai korban ghosting.