
Oleh : Putri Aisyiyah R.D*
Terakota.id–“Jeng, putrinya nanti sekalian dikhitan ya saat cukur.” Masih terngiang jelas oleh Elsa ucapan Mbok Nah, perempuan yang biasa dipanggil untuk mencukur bayi baru lahir di kampung halamannya. Elsa menemui Mbok Nah di rumahnya yang terpaut dua gang dari rumah orang tua Elsa. Ia datang untuk menentukan tanggal kapan putrinya harus dicukur dan tentu saja memastikan Mbok Nah tidak ada agenda lain di hari tersebut.
Elsa bingung, hingga usianya yang nyaris menyentuh 30 tahun ini ia tak pernah mendengar tentang khitan perempuan. Ia memang akan mengkhitankan Reyhan, putra sulungnya. Tapi, ini tentang putrinya, dan dikhitan di usia yang terlampau dini.
Belum juga Elsa menemukan jawaban, Ibunya menyinggung tentang khitan perempuan tadi saat sarapan bersama, “semua perempuan memang harus khitan. Tapi khitannya beda, tidak seperti laki-laki. Ini Cuma dibersihkan saja bagian vitalnya” pernyataan Ibu yang ia garis bawahi dan ingat-ingat. “Noted! Dibersihkan saja.”
Elsa menelpon Windy, sahabatnya semasa kuliah. Windy pun membenarkan, bahkan ia juga mengkhitankan putrinya. Bahkan Windy bilang khitan perempuan ada dalam ajaran agama. “Tenang, Sa. Itu seperti membersihkan kulit kering di ujung kuku. Gak sakit sama sekali”, statement Windy ketika menutup percakapan mereka.
Akhirnya Elsa membawa kebingungan ini pada suaminya. Suaminya pun senada dengan yang sudah-sudah, “kalau semua bilang gak papa, ya artinya gak papa Sayang. Ibu juga bilang kamu pun dikhitan pas bayi. Mbok Nah juga bilang semua anak perempuan di sini juga khitan kan?”
Elsa sangat bimbang, sementara besok adalah hari dimana putrinya akan diberi nama, cukur rambut, dan ah.. khitan. Ia sudah menyiapkan nama untuk sang buah hati, “Aurora”, Mentari yang baru terbit.
Ya, akhirnya Elsa menuruti kata Mbok Nah, Ibunya, Windy, dan suaminya. Aurora menjalani tiga proses sekaligus. Putrinya tidak menangis seperti yang dikatakan oleh Ibunya. Ia pun menyaksikan prosesnya, tidak ada pisau atau alat tajam lain. Hanya kunyit yang digunakan untuk mengoles bagian privat sang Putri. Ia pun merasa telah menyempurnakan Aurora sebagai seorang calon perempuan dewasa kelak.
Elsa mengisahkan pengalamannya tentang khitan Aurora pada dua hari lalu, ketika saya sedang mengumpulkan data-data terkait khitan perempuan. 6 Februari menjadi tanggal yang ditetapkan untuk memperingati Hari Internasional Nol Toleransi untuk Praktik Khitan Perempuan. Saya yang mudah penasaran, akhirnya mencari tahu mengapa sampai sebegitunya sunat perempuan ini diperbincangkan, bahkan sampai perlu dibuatkan hari spesial yang garang menggunakan istilah “nol toleransi!”.
Rasa penasaran saya membawa kami berdua, saya dan Elsa bertemu khusus untuk membahas pengalamannya mengkhitankan putrinya. Elsa menjadi sahabat saya sejak enam tahun terakhir, ketika institusi tempat kami bekerja bekerjasama. Saya menyukai Elsa yang cekatan, tulus, dan baik hati. Dalam banyak hal kami memiliki kecocokan, mulai selera bacaan hingga warna lipstick.
“Sa, kamu tahu nggak.. kamu itu kena bandwagon effect” ujar saya. Mata Elsa melebar, ia mencondongkan badannya, tidak lagi bersandar seperti ketika bercerita. “apa itu? Aku tahunya wagon itu artinya gerbong.”.
“Iya, memang gerbong. Karena semua orang di sekitarmu bilang A maka kamu langsung ikut A. Khawatir menjadi satu-satunya orang yang ada di luar gerbong dan tertinggal kereta”. Saya spontan ingat teori bandwagon dan propaganda ketika mendengar cerita Elsa. Ia tertawa lantas membenarkan, “hehe.. sebenarnya pas itu memang aku gak sreg tapi ya gimana lagi..”
Pada pertemuan kami sore itu, saya dan Elsa juga mencari tahu berbagai isu tentang khitan perempuan. Dimensi agama jelas menjadi prioritas kami, jika memang ajaran agama maka tuntas sudah pembicaraan tentang harus atau tidaknya khitan perempuan. Kami mendapat beragam perspektif tentang bagaimana agama memandang praktik ini.
Ada Ulama yang meyakini sebagai suatu hal yang wajib, sunnah, namun banyak yang mengharamkan. Dua organisasi agama terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, dalam fatwa-nya jelas mengharamkan apabila praktiknya disertai pemotongan bagian tertentu (female genital mutilation).
Pada dimensi kultural, kami mencari tahu sejarah dan nilai-nilai yang mengikutinya. Sejarah panjang khitan perempuan dimulai dari Mesir dan Negara-Negara Afrika, mereka percaya bahwa perempuan yang beranjak dewasa harus dilindungi kesucian dan keperawanannya, agar mereka layak dinikahi.
Nawal El Saadawi, seorang penulis perempuan dari Mesir menuliskan kisah sunat yang ia alami di masa kecil dalam bukunya, Perempuan di Titik Nol. Buku ini menjadi best seller, karena cara bertutur yang lugas membuka mata pembaca bagaimana Nawal harus melalui kejadian yang menyiksanya secara fisik dan psikologis.
Di Mesir dan sebagian negara Afrika, khitan perempuan dilakukan dengan cara-cara yang membahayakan, mulai dari memotong sebagian atau seluruh klitoris, memotong labia minora (bibir dalam vagina), bahkan menjahit labia mayora (bibir luar vagina) dan hanya menyisakan lubang kecil untuk keluar darah mens dan air seni.
Mengapa perlu dijahit? Untuk memastikan vagina tidak digunakan sebelum pernikahan. Tindakan demikian membawa risiko kesehatan yang serius karena bisa terjadi pendarahan, keloid, dan trauma fisik sehingga perempuan tidak akan bisa menikmati hubungan seksual seumur hidupnya.
Dari dimensi kesehatan, organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali. Memang saat ini khitan perempuan dilakukan dengan cara-cara yang “lebih humanis” dan tidak menyakiti perempuan. Sebagian masyarakat juga masih melakukan sebagai bagian dari budaya.
Menteri Kesehatan dalam Permenkes No 6 tahun 2014 juga menyatakan demikian. Ada toleransi terhadap praktik khitan yang memang jelas berbeda dengan genital mutilation, namun juga menyatakan tindakan tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali dalam medis.
Kembali ke Elsa, kadang kita menjadi orang-orang yang takut tertinggal kereta. Ketika semuanya melakukan A, maka kita khwatir menjadi satu-satunya orang yang berada di luar gerbong. Maka, dengan langkah tergesa kita naik dan bergabung.
Bandwagon effect telah dipelajari pada masa kajian propaganda massif dilakukan di Perang Dunia Pertama. Bahkan dalam dunia iklan dan pemasaran, teknik ini digunakan orang orang mau membeli produk tanpa pikir panjang. “Semuanya sudah pakai loh, masak kamu enggak”, kira-kira demikian pesan-pesan jualan tersebut dibuat.
Ibarat naik kereta, sebagai calon penumpang bukankah kita harus tahu persis kemana tujuan gerbong, siapa saja yang ada didalamnya, apakah kita telah berada di gerbong yang tepat atau tidak. Jangan sampai hanya karena lack of information atau sedikitnya informasi, dan orang-orang di dalam kereta yang berteriak meminta kita segera naik, maka kita terburu-buru naik.
Ketika di dalam, kita baru sadar berada di gerbong yang salah. Seperti Elsa, yang kemudian menyesalkan mengapa Ia baru mencari informasi saat semuanya sudah terlanjur, padahal beragam informasi tersebut akan membantunya membuat keputusan apakah akan melakukan khitan pada putrinya atau tidak.
*Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi Unesa dan bergiat di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyyah (LPPA) Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi