
Terakota.ID–Kapan terakhir kali Anda menunggu pesanan makanan atau kopi Anda di warung dengan mengamati para pelanggan lain di sekitar Anda, menyapa mereka yang duduk dekat dengan Anda, dan mungkin kemudian bercakap-cakap dengan mereka sekiranya mereka terlihat memang ingin melakukannya dengan Anda? Kapan terakhir kali Anda naik kereta api jarak jauh atau pesawat terbang dan karena menyadari perjalanan Anda akan memakan waktu lumayan panjang Anda lantas mengeluarkan buku dari tas ransel Anda dan lalu membacainya sepanjang perjalanan tersebut?
Atau, kapan terakhir kali Anda menunggu mobil Anda diganti olinya atau sepeda motor Anda ditambal bannya yang bocor tanpa tergoda untuk merogoh saku celana Anda, mengeluarkan telepon genggam Anda, dan asyik menjelajah dari akun medsos Anda, peramban Anda, dan gim Anda? Anda bahkan tidak sempat sedikit pun mengenal dan berbicara dengan montir Anda atau tukang yang menambal ban sepeda motor Anda di luar memberikan perintah Anda dan menanyakan berapa yang mesti Anda bayar.
Mungkin, jawabannya adalah sudah puluhan tahun lalu, atau hanya dalam kehidupan Anda sebelum yang ini. Kita sekarang hidup di dunia serba impresi. Hampir semuanya diukur dan dinilai dengan impresi. Semuanya serba cepat dan serba melayang. Gambar demi gambar, video demi video, suara demi suara terus mengalir tanpa jeda, tidak membiarkan pikiran kita sedikit pun lengah atau sendirian.
Kita tidak pernah sempat merasa bosan. Kecepatan kita dalam menggulir layar telepon genggam kita, cara kita berpindah-pindah dari satu laman ke laman lain, ketidaksabaran kita membaca buku cetak atau berita dengan kalimat-kalimat yang panjang adalah beberapa isyarat sederhana dari betapa impresi sangat penting dewasa ini dan bagaimana kita tidak betah berada dalam kubangan rasa bosan.
Tentang Pentingnya Rasa Bosan dan Perlunya Berkanjang di Sana
Kevin Garnett menulis buku berjudul Super Focus: How to Turn your Brain into a Laser-Sharp Concentration Machine (2020). Di dalamnya, dia menyinggung tentang betapa otak kita dewasa ini terus-menerus distimulasi dan pada akhirnya tumbuh menjadi organ yang selalu membutuhkan stimulasi. Otak kita telah dibuat sedemikian rupa sehingga keadaannya seperti seorang yang ketagihan. Otak kita ketagihan untuk dirangsang, yang membuatnya tidak bisa berhenti, atau lebih tepatnya tidak melompat-lompat dari satu episode pendek ke episode pendek yang lain.
Seperti seorang yang ketagihan akan apa pun, otak kita selalu membutuhkan dosis dopamin yang lebih besar. Kita selalu ingin merasa bergairah, merasa senang, merasa tertantang, merasa mencapai sesuatu.
Seorang yang ketagihan alkohol akan membutuhkan asupan alkohol lebih banyak daripada yang ditenggak di waktu sebelumnya untuk membuatnya mampu merasakan kemabukan dengan derajat yang sama menyenangkannya. Seorang yang ketagihan film biru akan membutuhkan asupan yang lebih dari yang sebelumnya untuk membuat birahinya menghentak. Kalau sebelumnya, adegan-adegan yang lumrah sudah menaikkan libidonya, di level ketagihan yang lebih lanjut, dia mungkin membutuhkan sesuatu yang lebih kuat, lebih ekstrem, dan semacamnya.
Begitulah, jikalau pada waktu sebelumnya, kita menghabiskan hanya beberapa jam dalam sehari di depan layar telepon genggam atau komputer jinjing, semakin ke sini, kita semakin tidak dapat melepaskan diri darinya. Sedikit-sedikit kita tergoda untuk menengok layar; sedikit-sedikit kita merasa tidak lengkap dan hilang tanpa gawai modern tersebut. Apabila kita bepergian dan dompet kita ketinggalan di rumah, kita ternyata tidak merasa sepanik jika gawai kita yang tertinggal. Bahkan fungsi uang kertas pun mulai tergantikan oleh uang digital yang kita simpan di aplikasi di telepon pintar tersebut.
Intinya sama saja: semakin ke sini, otak kita semakin membutuhkan dopamin dan stimulasi dalam jumlah yang semakin besar dan mengkhawatirkan. Kita selalu mencari hal-hal baru yang bisa membuat kita tidak bosan. Rasa bosan adalah musuh terbesar dari stimulasi dan gairah yang dicetuskan oleh dopamin.
Sebagai musuh terbesar, kita sangat ingin dan berusaha keras untuk membunuh rasa bosan tersebut. Dan, era digital sekarang ini, di mana harga gawai cerdas atau pintar beserta paket datanya menjadi relatif semakin terjangkau, kita memiliki fasilitas untuk membunuh rasa bosan tersebut dengan lebih mudah.
Sayangnya, rasa bosan, selain tidak mudah dibunuh atau jika satu dibunuh ternyata masih menyimpan cadangan nyawa yang nyaris tanpa batas, sesungguhnya perlu dan penting bagi kehidupan kita. Ada setidaknya dua alasan yang dapat saya temukan untuk mendukung gagasan bahwa rasa bosan itu perlu dan penting.
Alasan yang pertama adalah karena dalam rasa bosan, kita dituntut dan dituntun untuk berjumpa dengan diri kita sendiri dan menyapa serta membuka diri pada segala hal di lingkup terdekat kita. Orang yang membiarkan dirinya merasa bosan dan mau berkanjang di sana niscaya akan seperti seorang yang dihadapkan pada cermin. Di cermin tersebut, dia melihat bayangan dirinya sendiri. Karena tidak ada hal lain yang dapat dilakukan, orang itu akan mengamat-amati bayangan dirinya di cermin, mematut-matut diri, dan menilai atau mengevaluasi diri.
Rasa bosan memungkinkan seseorang untuk memandang diri sendiri dan berefleksi. Ada sangat banyak hal yang ketika hiruk-pikuk dan kegaduhan yang dipicu oleh tiadanya rasa bosan tidak terlihat menjadi teramati lewat proses refleksi atau merenung. Kita menjadi tahu bahwa sikap kita ada yang salah, cara pandang kita ada yang kurang tepat, pembawaan diri kita ada yang menyakiti hati orang lain, dan semacamnya.
Rasa bosan juga membuat seseorang lebih sadar atau lebih aware dengan lingkungan di sekitarnya pada waktu itu. Betapa banyak dari antara kita telah menjadi tidak peka pada apa-apa yang terjadi di seputar kita. Kita melihat gunung kebiruan di hadapan kita, tetapi abai; kita mendengar cericau burung yang merdu di pagi hari, kita abai; kita melihat kupu warna-warni di taman yang indah, tetapi kita lebih asyik dengan upaya mengejar kegairahan dan dopamin lewat gawai cerdas kita.
Kesadaran diri dan lingkungan saat ini itulah yang oleh mistikus semacam Anthony de Mello perlu kita pupuk dan kembangkan demi kemajuan personal dan spiritual kita. Awareness seperti ini hanya dimungkinkan bila kita diam, tidak mengejar, dan memerhatikan serta menyimak sepenuh hati. Itu berarti menerima rasa bosan dan memeluknya erat-erat alih-alih segera berlari tunggang-langgang meninggalkannya.
Alasan yang kedua adalah fakta bahwa rasa bosan adalah awal dari kreativitas. Ketika kita menerima kenyataan bahwa kita merasa bosan dan tidak serta-merta lari mencari pengalihan, kita sebenarnya sedang masuk ke kedalaman. Di dalam kedalaman itu, kita tidak semata-mata merenung tentang diri kita secara retrospektif atau ke belakang, tetapi juga mencoba membuat ancangan-ancangan ke depan atau proyeksi yang mungkin.
Ancangan-ancangan atau proyeksi yang lahir dari kedalaman tidak akan sekadar menjadi sarana pengalihan atau pelarian seperti ketika kita lari ke gawai cerdas dengan segenap kesenangan yang ditawarkannya saat kita merasa bosan. Ancangan atau proyeksi yang lahir dari kedalaman punya substansi yang lebih. Dari sanalah dapat diharapkan solusi yang lebih menyeluruh dan komprehensif atas berbagai permasalahan mendasar kehidupan.
Orang yang mau menerima dan memeluk rasa bosan dan menggunakannya demi dua alasan tersebut bisa diharapkan akan muncul sebagai pribadi yang reflektif, mendalam, komprehensif, sekaligus solutif. Orang yang tidak punya waktu untuk mengendapkan perasaan bosan akan cenderung menjadi pribadi yang impulsif, reaktif, gampang terombang-ambing, dan serba ingin berlari.
Orang yang tidak betah dengan rasa bosan, yang mencakup sangat banyak dari generasi dewasa ini, akan puas menjadi seorang pengejar kenikmatan dan kegairahan yang seperti tiada akhir. Mereka akan jadi konsumen belaka, seperti seorang yang kecanduan.

Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.