Genealogi Katolisitas dalam Pentigraf Oleh: Ardi Wina Saputra, Agustinus Indradi, dan Blasius Perang*

Tengsoe Tjahjono (paling kanan) pencetus sastra tiga membincangkan pentigraf sastra tiga. (Foto: KPI).
Iklan terakota

Terakota.IDAngka tiga merupakan angka yang sungguh hidup, dalam tradisi masyarakat, dan agama di Indonesia. Begitulah ungkapan yang disampaikan oleh Tengsoe Tjahjono, ketika ditanya tentang mengapa angka tiga dipilih sebagai format dalam sastra tiga yang dicetuskannya. Seperti yang telah santer diberitakan dalam berbagai media daring dan media konvensional, Tengsoe Tjahjono merupakan penemu sastra tiga. Melalui komunitas yang didirikannya yaitu Kampung Pentigraf Indonesia (KPI), Tengsoe bersama anggota KPI rutin menerbitkan cerpen tiga paragraf. Sebenarnya selain pentigraf, ada juga puisi tiga bait (putiba),  cerita tiga kalimat (tatika), dan puisi tiga baris (putibar). Dari semua genre itu, tulisan ini akan membahas mengenai cerpen tiga paragraf.

Secara sadar, Tengsoe mendaku diri sebagai penemu pentigraf karena pentigraf murni ditemukan oleh Tengsoe sejak tahun 1980-an. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, tertanggal 8 Maret 1983, suratkabar Suara Indonesia memuat cerpen-cerpen tiga paragraf. Kolom cerpen tiga paragraf tersebut merupakan kolom pentigraf pertama di Indonesia. Gagasan Tengsoe mengenai cerpen tiga paragraf dipengaruhi oleh penulis sebelumnya, yaitu Arswendo Atmowiloto yang menulis sastra pendek yang dia beri nama cerita-cerita dinding. Dari situlah perjalanan pentigraf dimulai.

Tahun 1980 merupakan tahun yang belum tersentuh oleh teknologi informasi dan komunikasi. Media massa merupakan arena utama dalam kontestasi sastra sehingga kehadiran pentigraf saat itu masih belum dapat merambah banyak orang. Hal ini diperparah dengan kondisi politik nasional dan kondisi politik sastra Indonesia saat itu sehingga fokus perhatian pembaca lebih menitikberatkan pada peristiwa makro. Peneliti mencatat setidaknya ada dua peristiwa politik sastra yang terjadi di tahun 1980-an dan 1990-an yang sangat menyedot perhatian media.

Peristiwa pertama adalah kehadiran sastra kontekstual yang dicetuskan oleh Ariel Heryanto dan Arief Budiman dari Universitas Kristen Satya Wacana pada tahun 1984. Peristiwa kedua adalah bangkitnya sastra perlawanan dari Ngawi yang berusaha untuk mendobrak dominasi sastra pusat (Jakarta) pada tahun 1990 an. Dua peristiwa tersebut sangat menguras tenaga dan fokus para sastrawan sehingga kemunculan pentigraf akhirnya tenggelam oleh dua dominasi pemberitaan tersebut.

Tahun 2014 merupakan tahun kebangkitan kembali pentigraf. Hal itu ditandai dengan publikasi pentigraf melalui dinding media sosial facebook milik Tengsoe Tjahjono. Saat itu, penemu pentigraf, Tengsoe Tjahjono sedang mengajar di Korea. Waktu luang yang dimiliki oleh Tengsoe digunakan untuk menulis cerpen tiga paragraf. Cerpen-cerpen tiga paragraf yang ditulis oleh Tengsoe ternyata direspons oleh para pengikut media sosialnya baik yang berada di Korea maupun di Indonesia. Kehadiran media sosial inilah yang menjadi faktor penentu sekaligus faktor utama genre cerpen tiga paragraf kemudian diminati oleh para pembaca di Indonesia.

Respons atas kemunculan pentigraf Tengsoe sangat beragam. Respons tersebut berasal dari berbagai kalangan, termasuk kalangan penulis Katolik Indonesia. Saat Tengsoe di Korea, salah satu komunitas kepenulisan yang sangat intensif merespons genre pentigraf ini adalah Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG). Itulah sebabnya saat kembali ke Indonesia pada tahun 2015, Tengsoe bergerak bersama KPKDG meliterasikan umat Katolik melalui cerpen tiga paragraf. Pergerakkan pentigraf dalam KPKDG sangat masif, hal tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya buku berjudul Pedagang Jambu Biji dari Phnom Phen yang berisi kumpulan cerpen tiga paragraf dari KPKDG.

Proses penulisan buku Pedagang Jambu Biji dari Pnhom Phen dilatari oleh pertemuan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) di Ambarawa. Selain Tengsoe Tjahjono dalam pertemuan itu hadir pula penulis Eka Budianta, dan Joko Pinurbo sebagai pemateri. Kegiatan yang dimoderatori oleh Romo G. Subanar ini menghasilkan karya sastra berupa antologi pentigraf Pedagang Jambu Biji dari Pnhom Phen. Buku tersebut kemudian diluncurkan sekaligus dibedah di Kota Malang. Bedah buku Pentigraf di Malang dilakukan di Universitas Katolik Widya Karya (UKWK) Malang pada Juli 2017. Saat itu hadir berbagai penulis Katolik dari berbagai daerah di Indonesia.

Animo pentigraf yang sangat luar biasa terhadap bedah buku pentigraf di Kota Malang membuat Tengsoe Tjahjono, sebagai penemu pentigraf dan Romo Albertus Herwanta, O.Carm, rektor Universitas Katolik Widya Karya saat itu juga menyelenggarakan pelatihan penulisan pentigraf bagi para peserta. Romo Albert memberikan materi pada bagian pewartaan injil, dan Tengsoe memberikan materi tentang cerpen tiga paragraf. Mengedukasi para penulis Katolik Indonesia melalui pentigraf sebenarnya menunjukkan bahwa gereja merangkul orang muda dan orang tua melalui gerbang literasi.

Literasi, khususnya literasi sastra merupakan salah satu alternatif yang dapat dioptimalkan oleh umat Katolik Indonesia dalam mewartakan sabda Tuhan. Hierarki di Gereja Katolik yang cenderung didominasi oleh Pastor Paroki membuat kondisi literasi semakin sempit untuk berkembang di hati umat. Tidak sedikit ditemukan karya-karya liturgia seperti koor, pemasmur, lektor, menjadi menu utama mengisi kegiatan kaum muda gereja. Hal ini tentu membuat para pemuda yang tidak memiliki bakat di bidang paduan suara dan liturgia lainya menjadi minder sehingga melarikan diri pada kegiatan sekunder lain seperti jaga parkir. Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan terus menerus sehingga memang tepat dilakukan sebuah kegiatan pelatihan penulisan pentigraf bagi penulis Katolik Indonesia.

Alumni pelatihan penulisan pentigraf di UKWK ternyata semakin lama semakin berkembang. Penulis dalam penelitian ini juga merupakan alumni dari pelatihan tersebut. Selain itu ada juga alumni pelatihan penulisan pentigraf ini yang kemudian menjadi kepala sekolah, guru, dosen sehingga menyebarkan semangat meulis melalui pentigraf menjadi agenda utama bagi mereka. Bagi para biarawan dan biarawati, pentigraf menjadi jalan bagi mereka untuk mewartakan injil dalam kondisi apapun. Ilustrasi yang dipaparkan melalui pentigraf digunakan untuk menyampiakan pesan injili baik secara tersurat maupun tersirat pada umat. Saat virus corona melanda Indonesia, kehadiran pentigraf yang menyatu dengan sifat-sifat media digital ternyata sangat bermanfaat bagi para pewarta injil baik dari kaum awam maupun rohaniawan yang tetap teguh mewartakan injiil.

Seiring berkembangnya waktu, kehadiran pentigraf dapat diterima secara universal. Hal ini karena dari aspek spiritualitas, angka tiga juga melekat pada agama-agama di Indonesia. Angka tiga bukan hanya melekat dalam konsep tritunggal maha Kudus dalam agama Katolik. Dalam agama Islam, dikenal konsep Tauhid, Fikih, dan Tasawuf. Selain itu, dikenal pula konsep ilmu, iman, dan amal. Dalam agama Hindu dikenal konsep trinitas, yang didasarkan pada aspek purusha (satu), shakti (dua), dan diri sendiri (tiga). Selain itu juga ada konsep mengenai Tri Murti atau tiga dewa yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa. Dalam agama Budha dikenal konsep Trikhaya (Tiga Tubuh Budha) yang meliputi Dharmakay, Shambogakaya, dan Nirmanay. Selain itu, kitab suci agama Budha juga tidak dapat dilepaskan dari konsep angka tiga yaitu Tripitaka yang meliputi Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Umat Budha juga dianjurkan untuk melakukan tiga jalan kebenaran atau Tridharma. Itulah sebabnya, pentigraf sangat cair dan dapat diterapkan oleh siapa saja dalam menyuarakan kebenaran melalui sastra.

 

*Pegiat literasi dan sastra

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.