Warung Kopi Cethe Menjamur
Warung kopi Mak Waris terus berkembang, sejak 1990 warung dikelola Hariyanto. Kini, rata-rata 500 sampai 700 pengunjung per hari, Sedangkan saat libur panjang, libur sekolah, libur lebaran dan tahun baru pengunjung membludak. Pembeli dari luar Tulungagung juga berdatangan. Saat ini warung kopi Mak waris mempekerjakan 20 orang, dibagi dalam dua shift.
“Keuntungan sekitar Rp 2 juta per hari,” ujar Hariyanto. Keuntungan ini menarik minat warga Tulungagung untuk membuka warung kopi serupa. Hampir setiap desa berdiri warung kopi sekaligus menyediakan cethe. Namun sampai saat ini belum ada data pasti berapa jumlah warung kopi cethe di Tulungagung.
“Tujuh tahun lalu ada sekitar 200 warung,” kata Hariyanto. Aktivitas nyethe, katanya, dilakukan secara turun temurun sejak 1970-an. Budaya nyethe dilakukan sambil ngobrol para petani minum kopi dan merokok usai mengerjakan sawah. Siang hari mereka berkumpul berdiskusi mengolah sawah.
“Iseng ada yang mengolesi rokok dengan ampas kopi. Rasanya lebih mantap,” katanya. Sejak saat itu sejumlah warung menjadi tempat nyethe. Bahkan warung Mak Waris menyediakan ampas kopi bercampur susu dan vanila untuk nyethe. Warung kopi, katanya, menjadi ruang berinteraksi untuk sekedar bertemu teman atau transaksi jual beli.
Warung cethe terus berkembang, sejauh ini belum ada organisasi atau paguyuban yang menaungi para pemilik warung cethe. Selama ini pemerintah terkesan kurang memperhatikan keberadaan warung cethe.
“Dulu pernah mendapat kompor dari calon Bupati, dari pemerintah belum pernah,” katanya. Termasuk tak pernah ada pembinaan dan bantuan permodalan. Sementara warung kopi cethe harus bersaing dengan café dan kedai kopi yang dikelola profesional.
Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tak memiliki data pasti berapa jumlah warung cethe. “Kami belum mendata pasti jumlah warung cethe,” kata Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Kebudataan dan Pariwisata Kabupaten Tulungagung, Sri Wahyuni.
Yuni berjanji akan mendata dan mengajak para perajin atau seniman cethe untuk pameran produk unggulan Tulungagung di even nasional. Tujuannya untuk mengenalkan tradisi nyethe sebagai kearifan lokal budaya masyatakat Tulungagung.
Di sekitar pasar Ngunut berderet sekitar sembilan warung kopi cethe. Saban hari senantiasa ramai pengunjung. Sepeda motor berderet di sepanjang jalan, mereka menikmati kopi sembari nyethe. Seperti yang dilakukan Gunawi, 39 tahun, hari-harinya dihabiskan di warung kopi. Tak sekedar ngopi dia juga membuat kreasi melukis sebatang rokok dengan cethe.
Adonan cethe diambil dari butiran ampas kopi yang paling halus. Dia menggunakan tusuk gigi atau obeng yang diraut khusus untuk membuat aneka motif. Motif batik menjadi spesialisasi bagi bapak satu putri ini.
“Pertama kali ikut lomba nyethe di warung Mak Waris,” kata Gunawi. Nawi sapaan akrab Gunawi mengaku mengikuti lomba semasa SMA pada 1993. Saat itu, dia langsung menyabet juara pertama. Baju, rokok dan uang tunai sebagai hadiah. Nyethe, katanya, awalnya iseng mengisi waktu luang selepas sekolah.

“Saat itu belum merokok,” katanya. Dia belajar nyethe secara otodidak, sejumlah sopir truk yang mampir di warung kopi meminta dibuatkan lukisan cethe. Usai nyethe dia mendapat imbalan tertentu. Nawi terus mengasah kemampuan nyethe dan mengikuti berbagai kompetisi. Sejak itu, dia dikenal sebagai seniman cethe atau cigarette painting.
Nawi dikontrak perusahaan rokok, melanglang buana ke seluruh penjuru tanah air. Dia mengenalkan kesenian nyethe khas Tulungagung kepada para penggemar kretek. Untuk melukis sebatang rokok dibutuhkan waktu sekitar lima menit.
Tak hanya melukis, dia juga menceritakan sejarah dan aktivitas masyarakat Tulungagung nyethe. Dia membuat ramuan khusus, cethe dibuat dari ampas kopi dicampur susu sebagai perekat dan pasta vanila yang menghasilkan aroma harum.
“Membuat adonan cethe ini yang sulit,” katanya. Saat melukis cethe, katanya, dibutuhkan konsentrasi tinggi. Tak hanya menjadi duta cethe Nawi juga melayani pesanan cethe untuk cinderamata. Rokok hasil kreasinya dibingkai dalam bungkus plastik agar menarik.
Pesanan datang dari berbagai Negara seperti Cina, Amerika, Jepang, Taiwan dan Malaysia. Pemesanan dilakukan melalui teman dan media sosial. Setiap bungkus rokok dihargai Rp 150 ribu. “Mereka kadang memberi lebih, dianggap terlalu murah,” katanya.
Nawi juga mulai mengembangkan melukis cethe dengan media cangkir, lepek, bambu dan kulit kayu. Aneka kerajinan itu diharapkan akan menggairahkan nyethe sebagai bagian dari seni dan memiliki nilai ekonomis. Sayang, dia terhambat permodalan maupun pasar sehingga berhenti berproduksi.
Kini, penggemar olah raga motor trail ini tengah melatih para pemuda untuk nyethe. Anak muda dilatih nyethe untuk mengembangkan seni, menjauhi dampak negatif penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. Maklum dibutuhkan konsentrasi tinggi untuk melukis rokok degan cethe. Ikhsan Bawavi, 18 tahun, asal Desa Gilang, Ngunut, Kabupaten Tulungagung salah satunya yang belajar nyethe. Sejak tiga tahun terakhir dia belajar membuat cethe yang memiliki motif menarik.
“Awalnya melihat motif batik di buku pelajaran sekolah,” ujarnya. Di sela kesibukannya bekerja di bengkel las Ikhsan menemui komunitas cethe untuk belajar dan mendiskusikan motif nyethe. Untuk membuat lukisan di sebatang rokok diselesaikan dalam tempo satu jam.

“Jika lomba maksimal 30 menit,” katanya. Ikhsan telah empat kali menjuarai lomba nyethe. Pekerjaan utama di bengkel las dan bubut, di sela pekerjaan itu dia membuat akun media sosial untuk memajang rokok cethe kreasinya. Untuk melukis di setiap batang rokok, Ikhsan memasang tarif Rp 5 ribu.

Jalan, baca dan makan
[…] ampas kopi untuk melukis, berawal dari kebiasaan Sawir meminum kopi dan ‘nyethe’ yakni mengoleskan ampas kopi di batang rokok. Setelah berhenti merokok, kebiasaan nyethe tak […]
[…] di berita online terakota.id. Hasil reportasenya telah terbit di medianya pada 1 Mei 2017, berjudul Geliat Tradisi Nyete Kaum Muda Tulungagung dan Imaji Visual Ampas […]