
Oleh : Mikke Susanto*
Terakota.id–Salah satu tajuk dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah sejarah Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Tokoh yang satu ini telah menjadi salah satu keteladanan bagi bangsa Indonesia. Hidup sang pangeran telah diangkat sebagai bagian dari sejarah Nusantara, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sejumlah buku yang menggali sejarah hidupnya pun tidak sedikit, mulai dari Moh. Yamin (Yamin, 1945) hingga Peter Carey (Carey, 2011).
Meskipun banyak literasi yang mengisahkan hidup dan perjuangan Diponegoro, namun sayangnya tidak ada kamera yang berhasil memotret sang pangeran. Oleh sebab itulah ketiadaan foto menyebabkan Diponegoro menjadi misterius. Kesempatan ini justru menjadi peluang bagi banyak pelukis untuk menangkap, mengungkap, dan mengabadikan profil dan kisah-kisahnya tersebut secara visual.
Dalam perkembangan seni rupa modern hingga kontemporer, pengungkapan tokoh Diponegoro secara visual telah dikerjakan oleh banyak pelukis, dan dengan sejumlah konsep yang berbeda-beda. Di luar hal tersebut, ikonisasi sosok Diponegoro kerap digambarkan stereotip pada masa tertentu. Hal ini diakui sendiri oleh Peter Carey bahwa sosok Diponegoro di kalangan masyarakat umum dilukiskan sedang mengendara kuda “Kyai Gentayu” dengan kaki depan terangkat sambil menendang-nendang di udara.
Sementara jubah dan surban Diponegoro terkena angin dan berkibar saat mengarahkan tenaganya melawan Belanda. Ikonisasi semacam ini dekat dengan lukisan Alexander Agung karya J. Louis David. Pelukisan semacam ini sesungguhnya dipola atau dirancang oleh pemerintah Orde Baru (di bawah pimpinan Presiden Suharto semasa 1968-1998). Sejumlah patung yang diletakkan di sejumlah kota di Indonesia memiliki gambaran gesture atau adegan yang nyaris sama.
Gambaran Diponegoro dibajak penuh oleh Tentara Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Darat, lebih khusus lagi oleh Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Divisi ini juga mengadopsi keris Diponegoro (Kyai Bondoyudho) sebagai lambang atau emblem divisi. Untuk itulah perlu kiranya, ikonisasi sosok pangeran yang bersifat tunggal ini diubah dan dikembangkan, agar memberi gambaran yang lebih jelas dan mendekati kebenaran sejarah. Semuanya tentu melalui media yang mudah dijangkau oleh masyarakat, yakni lukisan.
Lukisan tentang Diponegoro
Secara umum, terdapat sejumlah khasanah tentang gambar-gambar mengenai Diponegoro. Dalam artikel ini dikumpulkan sejumlah contoh gambar yang berasal dari era yang sezaman dengan Diponegoro sampai dekade 2000an. Sejumlah lukisan atau gambar ini mencerminkan berbagai cara dalam pengekspresian diri sang tokoh oleh para pelukis.
Dengan melihat perbandingan ini diharapkan pembaca mendapat pemandangan umum sampai sejauh mana Dipoengoro telah dipakai sebagai subyek dalam lukisan selama ini. 2 Pada masa yang paling mendekati zamannya, muncul gambaran Diponegoro sebagai sebuah ilustrasi manuskrip.
Adegannya sederhana. Dua diantaranya, Diponegoro dilukiskan memakai blangkon dan pakaian Jawa. Pada sejumlah manuskrip tersebut para pelukis Jawa pada saat itu memilih gaya visual dekoratif, gesture-nya kaku, tergambar sebagai tokoh kartun, dan sama sekali tidak menyiratkan persoalan kemiripan tubuh maupun wajah.
Meskipun demikian, keindahan pada karya ini terletak pada pemilihan adegan, kesan lokal, dan kesederhanaannya tersebut. Dalam konteks seni tradisi, kemiripan tokoh tidak dikejar. Justru hal penting dalam ilustrasi ini adalah persoalan gambaran moralitas dan etika diutamakan.

(1) Anonim, manuskrip Diponegoro saat menulis naskah Babad Diponegoro dalam Babad Diponegoro; (2) Teks: door M. Wongsodimedja, Diponegoro; (3) Buku Kedung Kebo (KITLV Or 13, Leiden) Diponegoro memukul wajah Patih Danurejo IV dengan selop, kisaran tahun 1820
Berbeda pada masa setelahnya, gambaran sosok Diponegoro telah berada di tangan para pelukis Eropa, atau para perupa yang belajar seni modern. Diponegoro dilukiskan tampak realistik, dibuat semirip mungkin dengan aslinya.
Sejumlah karya milik A.J. Bik hingga karya Basoeki Abdullah, memberi kesan bahwa wajah Diponegoro digambarkan sebagai wajah orang Jawa yang keras, penuh dinamika, dan maskulin. Sejumlah karya yang dibuat pada masa modern tersebut, hanya satu yang melukiskan Diponegoro dalam balutan busana Jawa, yakni pada karya pelukis Yogyakarta. B

(4) AJ. Bik, melukis wajah Diponegoro di Stadhuis Batavia, pensil pada kertas, April 1830; (5) De Stuers (?), Portrait Diponegoro tahun tak terlacak; (6) Anonim, Pangeran Diponegoro, tahun tak terlacak ; (7) Kemungkinan pelukis kraton, Diponegoro semasa muda bernama Raden Ontowiryo, dengan nama religious ‘Ngabdurahim’, dilukis sekitar 1805 – 1807, Diponegoro bersurjan dan blangkon

(8) Soedjono Abdullah, Potret Pangeran Diponegoro, 100×80 cm, cat minyak di kanvas, 1947, koleksi Istana Presiden Republik Indonesia; (9) Soedjono Abdullah, Diponegoro, cat minyak di kanvas, 48×55 cm, ca 1947, koleksi Istana Presiden Republik Indonesia; (10) Harijadi S, Pangeran Ontowiryo, cat minyak di kanvas, 100×80 cm, 1946/7, koleksi Istana Presiden Republik Indonesia; (11) Basoeki Abdullah, Potret Pangeran Diponegoro, cat minyak di kanvas, dicetak sebagai poster pada 1980an
Diponegoro tidak hanya dilukisan sebagai tokoh yang kuat dan pemberani (lihat lukisan karya Basoeki Abdullah dan karya S.Sudjojono), tetapi juga pernah dilukiskan mengalami kegagalan, kekalahan, luka dan dianggap menyerah (lihat sketsa De Stuers, lukisan Pienneman, Raden Saleh, dan Hendra Gunawan). Kekalahan dan kemenangan perang adalah hal yang biasa baginya.
Dalam kenyataannya Diponegoro pernah mengalami kalah dan menang, dan pada akhirnya dikhianati serta ditangkap. Persoalan ini diungkap sendiri olehnya, seperti yang tertuang dalam Babad Diponegoro. Dari gesture tubuh yang terlukis pada karya drawing De Stuer, terlihat ketidakmungkinan untuk memenangkan perang tergambar dengan jelas.

(12) Basoeki Abdullah, Pangeran Diponegoro memimpin Perang, 150x120cm, cat minyak di kanvas, 1949, koleksi Istana Presiden Republik Indonesia; (13) S. Sudjojono, Prince Diponegoro, cat minyak di kanvas, 133×196, 1979 Koleksi Fauzi Bowo; (14) Hendra Gunawan, Diponegoro Terluka, cat minyak di kanvas, 204×495 cm, 1982, koleksi Ciputra

B Diponegoro juga dilukiskan dalam sejumlah adegan perang, seperti pada karya Basoeki Abdullah, S.Sudjojono, Hendra Gunawan. Hal ini menyiratkan gambaran kehidupan untuk mencapai cita-cita diperlukan pengorbanan dan perjalanan kisah yang berliku-liku. Kisah mengenai lekuk liku hidupnya telah ditulis secara detil dalam sejumlah buku. Adegan perang juga dikerjakan oleh sejumlah pelukis, alasannya bukan saja karena adegan perang memiliki kedekatan dengan peristiwa, tetapi juga secara visual memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sebagai sebuah karya seni.
Jadi adegan perang dan hidup Diponegoro seperti belah keping mata uang: Diponegoro dan perang. Sisi manusiawi Diponegoro juga dilukiskan secara indah. Hal ini tergambar pada lukisan nomor 20, karya Galuh Tajimalela. Kisah antara Diponegoro dan kudanya, Kyai Gentayu, menjadi perhatian khusus. Sisi tersebut juga tergambar pada karya yang melukiskan Diponegoro marah dan menempeleng Patih Danurejo IV. Pada kedua lukisan tersebut menyiratkan sisi manusiawi sang pangeran dalam menjalankan kehidupan seharihari.
Dua adegan ini penuh makna dan pelajaran berharga. Kuda, meskipun ia hanya sebatas tunggangan, namun memiliki tugas yang amat penting dalam perjalanan hidup Diponegoro. Untuk itulah dilukiskan hubungan dekat antar keduanya. Pada lukisan Dipoengoro menempeleng, kemarahan Diponegoro tergambar pada sang patih, meskipun sebagai pejabat tinggi kerajaan, tak segan-segan dilabraknya. Sisi emosi tergambar jelas dalam karya ini.

Pada masa yang lebih akhir muncul sejumlah lukisan yang mendekonstruksi keberadaan Diponegoro. Lukisan yang dikerjakan oleh Srihadi Soedarsono, Heri Dono dan Stefan Buana misalnya, berhasil menjadi bagian dari upaya menghidupkan sosok pejuang tersebut sebagai sosok yang lain.
Lebih tepatnya sosok yang bersifat unreal figur, Diponegoro di tangan para pelukis kontemporer mengalami situasi baru, menjadi sosok yang bahkan tidak terkait dengan persoalan sejarah. Bisa dikatakan sebagai subjek yang mengalami anomali sejarah. Sifat parodi dan alegori dalam karya-karya semacam ini 5 mengemuka.
Ketiadaan foto, persoalan wajah Diponegoro yang misterius, ditambah dengan kurangnya data visual pendukung, menyebabkan para pelukis kontemporer seakan-akan mendapat lahan yang luas dalam mengeksplorasi sosok Diponegoro. Diponegoro di tangan perupa kontemporer mengalami dekonstruksi.
Gambar Babad Diponegoro
Jika sejumlah lukisan tentang Diponegoro yang telah dikisahkan di atas lahir dari berbagai jalur, berbeda dengan gambar-gambar dalam pameran ini. Lukisan atau gambar yang ada dalam pameran ini sengaja dikerjakan dari sebuah naskah penting yang dikerjakan sendiri oleh Diponegoro pada saat diasingkan di Manado, 1832-1834. Naskah ini kemudian disebut sebagai Babad Diponegoro. Pameran ini digagas untuk menyosialisasikan Babad Diponegoro tersebut.
Dipilihnya pameran seni rupa sebagai media sosialisasi babad karena memiliki berbagai fungsi. Pertama lukisan atau gambar dimaknai sebagai sebuah media yang mudah dicerna oleh banyak orang. Kedua, pameran seni rupa memberi jalan untuk “bertemu langsung” secara visual dengan sang tokoh, meskipun melalui imajinasi para pelukis.
Ketiga, dengan bahasa gambar, ketokohan dapat dimanifestasikan lebih detil dan mampu membawa sang tokoh melampaui bahasa tulis. Terpilihnya Babad Dipoengoro sebagai “Memory of the World” pada 2013 oleh UNESCO menyebabkan sejumlah kalangan memiliki keinginan untuk menghidupkannya secara terus-menerus. Gagasan ini diawali oleh sejumlah individu, dan melalui organisasi Patrapadi dan Jogja Gallery, pameran ini diadakan.
Pameran ini menyediakan diri sebagai sarana untuk mengingat, mempelajari, mengidentifikasi serta mengimajinasikan segala hal yang terkait dengan Diponegoro. Jadi dapat dikatakan bahwa pameran ini menyajikan lukisan-lukisan “nyata”, berdasarkan biografi sang pangeran. Dalam pameran ini disajikan sejumlah 50 kisah yang diambil dari Babad Diponegoro yang memiliki lebih dari 100 pupuh dalam 1000 halaman.
Ke-50 kisah tersebut lalu dimanifeskasikan oleh 51 pelukis kontemporer ternama Indonesia. Artinya setiap pelukis mendapat 1 kisah. Dengan demikian tergambar bahwa pameran ini berkeinginan dan bertujuan untuk memberi rangsangan pada semua pihak untuk mengingat mengenai sosok Diponegoro berdasarkan kisah yang telah ditulisnya sendiri, secara berurutan.
Para pelukis yang terlibat, sebagian besar telah melakukan riset lapangan, mengunjungi lokasi dan berdiskusi dengan pihak-pihak terkait.
Manifestasi Visual
Adapun manifestasi visual yang dihasilkan oleh para pelukis setidaknya terbagi dalam dua perspektif atau cara pandang. Setiap pelukis diperbolehkan untuk melakukan manifestasi yang bersifat ilustratif maupun yang bersifat simbolis.
Manifestasi yang bersifat naratif-realistik adalah cara ungkap yang mengikuti narasi dengan mengikuti alur kisah secara ketat. Dalam perspektif ini para pelukis mengilustrasikan adegan secara tekstual. Mereka mengekspos wajah, gerak, objek, maupun asesorinya yang dilukiskan secara dekat.
Contoh yang termasuk dalam jenis ini diantaranya seperti pada karya Andi Black, Bambang Nurdiansah, Edi Maesar, Cipto Purnomo, Galuh Tajimalela, Djoko Timun, Edwin Istopi 6 Raharjo, M. Aidi Yupri, Suyadi Suyamtina, Lailatifah, Sigit Rahardjo, Setyo Prio Nugroho, Mahdi Abdullah, Tumariyanto, Ugo Untoro, Warsono, Dadi Setiadi, Totok Buchori, Joseph Wiyono, dan Wahyu Teres, Roedy Mardiyanto, Manifestasi jenis pertama semacam ini sesungguhnya tidak dilakukan secara secara ketat oleh semua pelukis.
Mereka adalah pelukis, bukan komikus yang mengupayakan persoalan teks menjadi patokan utama. Dalam perspektif lain, ada pula yang masih mengikuti pola pertama, namun ditambah dengan gaya atau identitas individu yang bersangkutan.
Artinya gaya pribadi berupa konsepsi visual maupun konsepsi ideologis masuk ke dalamnya. Karya-karya seperti Agus Triyanto, Bambang Sudarto, Camelia Hasibuan, Choiruddin, Deddy PAW, Dyan Anggraini, Djoko Sulistiyono, Januri, Muji Harjo, Slamet Soneo, Suibertus Sarwoko, Suraji, Y. Indra Wahyu.
Manifestasi kedua, adalah pendekatan yang bersifat simbolik. Sifat ini memberikan peluang pada para pelukis untuk merespon teks narasi dengan gagasan yang tidak bersifat rekonstruktif-naratif. Mereka tetap menggunakan teks narasi sebagai patokan, namun saat mengimplementasikan lebih memilih untuk mengambil sebagian untuk dilukiskan, atau maupun mengambil teks secara umum, namun dilukiskan secara dekonstruktif. Di satu sisi, manifestasi visual ditambah dengan gaya atau ide yang bersifat individual. Pendekatan ini tentu memiliki tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
Audiens memerlukan perangkat lebih agar simbol-simbol yang terdapat pada narasi utama dapat dibaca sebagai sebuah jalinan antara teks dan gambar. Mereka yang memperlihatkan jenis pendekatan ini diantaranya Astuti Kusumo, Eddy Sulityo, Haris Purnomo, Enka, Hadi Susanto, Heru Widodo, Isur Suroso, Stefan Buana, Nana Tedja, Laksmi Sitaresmi, Suharmanto, dan Ronald Manullang. Selain lukisan, dalam pameran ini juga disajikan sejumlah produk budaya kreatif yang telah dihasilkan selama beberapa dasawarsa terakhir.
Produk budaya kreatif ini berupa pustaka (buku dan majalah), plang jalan, poster film, numismatik, wayang, prangko, batik, sulam, patung, lukisan kaca, hingga pendok keris yang terkait dengan sosok Diponegoro. Materi ini merupakan koleksi sejumlah pihak mulai dari koleksi priibadi hingga koleksi lembaga. Materi ini disajikan untuk memberi gambaran tentang ingatan dan memori publik tentang sosok ini yang nyaris tiada henti.
Keberadaan materi berupa produk budaya kreatif ini juga ingin memberi gambaran bahwa kecintaan sebagian masyarakat Indonesia kepada Diponegoro nyaris tidak pernah sirna, baik oleh negara sampai rakyat biasa.
Kesimpulan
Melalui sejumlah lukisan Diponegoro baik dalam pameran ini maupun yang ada di luarnya, pembelajaran sejarah kebangsaan dapat dihadirkan secara lebih menarik. Lukisan sejarah yang dikerjakan para pelukis tersebut memang tidak seluruhnya merupakan gambar dokumentasi sejarah an sich!, tetapi juga merupakan pernyataan opini setiap pelukis. Karenanya tidak semua lukisan berisi adegan yang sesuai realitas, bias karena dekonstruksi maupun simbolis.
Setidaknya lukisan sejarah cukup membantu mengimajinasikan kisah sejarah, agar lebih mudah dicerna. Seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo, manfaat belajar sejarah secara intrinsik antara lain adalah sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, sejarah sebagai potensi 7 (Kuntowijoyo, 1999).
Artinya lukisan sejarah memiliki banyak fungsi dalam tataran pembelajaran sejarah itu sendiri. Pesan lain yang juga perlu diingat adalah bahwa lukisan telah menjadi medium yang penting dalam proses mengenal sejarah. Seperti yang diungkapkan oleh Wayan Santyasa, bahwa dalam proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, yakni guru (komunikator), bahan ajar, media belajar, peserta didik, dan tujuan pembelajaran (Santyasa, 2007).
Secara khusus lukisan sebagai media pembelajaran menjadi salah satu perangkat yang mampu untuk merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan peserta didik dalam kegiatan belajar dan untuk mencapai tujuan belajar. Untuk itulah perlu ditumbuhkembangkan tradisi berkarya lukisan sejarah dalam konteks pendidikan seni di Indonesia, baik di fakultas seni maupun fakultas sejarah.
Agar tradisi lukisan sejarah tidak hilang begitu saja. Lukisan sejarah tentu bukanlah buku sejarah. Perlu kajian lebih lanjut untuk menelisik, sejauh mana lukisan sejarah tersebut dinyatakan sesuai atau tidak dengan kisah sejarah yang terjadi sesungguhnya. Lukisan dengan segala karakteristiknya juga memiliki kekurangan, baik pada aspek tema maupun visualisasinya.
Jika temanya bagus, tetapi visualisasinya kurang menarik, pasti tidak akan ada yang menggunakannya, bahkan untuk melihatnya siapa pun malas. Tidak salah bila sejumlah orang menyatakan lukisan sejarah memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, bukan saja karena tuntutan kisah yang ada di dalamnya mengandung kebenaran, tetapi juga karena tuntutan zaman.
Tak mengherankan bila lukisan sejarah akhirnya makin menjauh, secara perlahan menghilang dari ruang kelas (meskipun beruntung masih ada museum), diterpa oleh medium yang tengah berkibar, bernama film dan gawai.
KEPUSTAKAAN
Carey, Peter, 2011. KUASA RAMALAN: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta: KPG.
______ , 2016. Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Kompas Gramedia, cetakan keempat, p. 427.
Kuntowijoyo, 1999. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Santyasa, I Wayan, 2007. Landasan Konseptual Media Pembelajaran, makalah Workshop Media Pembelajaran Bagi Guru-Guru SMA Negeri Banjar Angkan, Klungkung, Bali.
Yamin, Muhammad, 1945. Sebuah Peperangan Diponegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Jajasan Pembangunan.
Catatan: Pengantar kuratorial ini dikembangkan dari makalah penulis yang disajikan dalam Seminar Sejarah Nasional Peringatan Hari Sejarah 2018, dengan tema “Paradigma dan Arah Baru Pendidikan Kesejarahan di Indonesia” yang diselenggarakan atas kerja sama antara Direktorat Sejarah Kemendikbud RI dengan Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, 3- 4 Desember 2018 di UGM.

*Kurator seni dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi