
Oleh : Frans Padak Demon*
Terakota.id–-Saya sedang bermain tenis bersama kakak saya Valentinus Mangun di lapangan tenis dekat rumah di Cinere, Sabtu, 27 Juli 1996. Persis 23 tahun lalu, jam 6.30 pagi. Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke radio panggil starco saya. Pesan dari Prof. Dr. Mochtar Buchori: “Segera datang ke kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro. Ada kelompok yang melakukan serangan. Diperkirakan banyak jatuh korban.”
Beberapa waktu sebelumnya saya pernah bertemu dan berdiskusi panjang dengannya. Seorang tokoh pendidikan terkenal yang memutuskan bergabung dengan PDI Perjuangan. Lantaran merasa prihatin dengan penindasan politik yang dilakukan rezim Orde Baru (Orba) kepada kelompok PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Saya pikir ini pasti serius, karena pesan dikirim Profesor Mochtar.
Saya segera pamit dari para pemain tenis lain. Masih mengenakan pakaian olahraga, ditutup rompi saya segera meluncur ke Jalan Diponegoro. Juru kamera NHK TV saya minta langsung ke lokasi. Sekitar jam 08.00 pagi saya tiba di lokasi, bertemu dengan juru kamera NHK. Banyak polisi dan tentara berjaga-jaga di depan Kantor PDI Perjuangan. Karena tidak bisa masuk ke dalam, saya berjalan ke arah Jalan Pegangsaan Barat untuk mendapat informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Di depan kantor Golkar DKI Jakarta saya bertemu dengan wartawan TVRI dan Letnan Kolonel TNI Panggih yang bertugas di Biro Dokumentasi dan Media Massa, Sekretariat Negara/ Istana Presiden. Ternyata mereka sudah siaga di situ sejak malam hari. “Lho, jadi serangan ini sudah direncanakan?” tanya saya. Wartawan TVRI itu hanya tersenyum, sementara Pak Panggih berusaha menghindar dan masuk ke kantor Golkar.
Belakangan baru ketahuan, seperti disampaikan dalam laporan akhir Komnas HAM. Dua hari sebelumnya, pada 24 Juli 1996, dalam sebuah rapat yang dipimpin oleh Kasdam Kodam Jaya Brigadir Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, memutuskan memgambil alih kantor DPP PDI. Perencanaan dan pelaksanaan pengambilalihan kantor DPP PDI dilakukan oleh TNI, Polri dan kelompok PDI pimpinan Suryadi.
Semakin siang, suasana di sekitar kantor DPP PDI makin ramai dan makin tegang. Berbagai kelompok massa datang dari arah Matraman, Gedung Proklamasi dan Manggarai. Di depan Megaria, samping Kantor DPP PPP kelompok massa berusaha mendekati Kantor DPP PDI sambil bernyanyi: Mega Pasti Menang… Pasti Menang…. Pasti Menang. Namun mereka dihadang pasukan Polisi dan TNI yang dilengkapi dengan tongkat pemukul, tameng dan senjata lengkap. Sesekali terjadi lemparan batu dari massa ke pasukan.

Sementara apa yang terjadi di dalam kantor DPP PDI, tidak ada informasi apapun. Ada kepulan asap dari dalam gedung. Saya dan juru kamera NHK berusaha memasuki pos polisi di bawah jembatan layang kereta api untuk mendapat informasi diusir petugas.
Sementara itu mimbar bebas di depan Megaria makin banyak dihadiri massa. Upaya polisi untuk menenangkan massa sejak tengah hari tampaknya tidak berhasil. Sejumlah pengacara dari LBH Jakarta maupun dari pihak PDI Mega seperti R.O. Tambunan bersama Kapolres Jakarta Pusat masuk ke dalam kantor PDI. Tapi tidak ada informasi apapun yang berhasil menenangkan massa yang mulai mendekati simpang jalan antara Pegangsaan dan Diponegoro. Pagar besi di Megaria dirobohkan massa.
Saya yang semula berada di belakang barikade polisi mengajak kameraman menuju kelompok massa depan Magaria.
Menjelang pukul 3 sore, massa makin beringas dan melempari pasukan polisi anti huru-hara dan mobil polisi yang berada di bawah jembatan layang. Polisi dan tentara kemudian maju membubarkan dan menghalau massa dengan tongkat dan tameng. Sejumlah wartawan seperti wartawan Asiaweek terkena pukulan di kepala. Dua tentara menghampiri saya dan juru kamera dan siap memukul kami dengan tongkat. Tetapi saya langsung berteriak sambil menunjukkan baterai Kamera Sony Betacam yang besar:
“Jangan pak. Saya dari TVRI pak, dari TVRI…”. Untung tentara itu terkecoh dan kami selamat dari pukulan. Tapi kami tetap diusir dan di suruh pergi….
Karena suasana makin kacau dan makin banyak polisi dan TNI berdatangan mengusir massa. Saya dan juru kamera memutuskan untuk lari menuju Salemba melalui Jalan Kimia dan RSCM. Tapi kami yang sudah bergabung dengan massa terus dikejar TNI. Di depan UI kami menaiki jembatan penyeberangan untuk mengambil gambar Gedung Pertanian yang dibakar yang terjadi di Jalan Matraman. Kembali kami diusir dan dikejar TNI.
Dekat Pasar Kenari, juru kamera mengajak saya untuk lari ke gedung tingkat yang baru dibangun. Agar aman dan bisa mengambil gambar dari ketinggian. Ada bus umum yang dibakar massa di depan kampus UI dan dekat RSCM. Kepulan asap di banyak tempat sekitar Salemba dan Matraman.
Tapi saya melarangnya dan mengajak dia untuk lari karena TNI dan polisi tampaknya berusaha merebut hasil rekaman kamera yang sudah kami ambil di jalan Diponegoro. Kemudian baru kami tahu bahwa gedung tingkat itu pun dibakar massa. Lima orang terpanggang hidup-hidup di dalam gedung itu karena tidak dapat menyelamatkan diri.
Bersama ratusan massa kami akhirnya lari ke Salemba Bluntas. Masyarakat sekitar meminta kami masuk ke rumah mereka untuk bersembunyi. Kebetulan ada hajatan pesta pernikahan di salah satu gang waktu itu, dan kami duduk sebentar di situ. Di depan gang, saya menyaksikan para pemuda setempat dengan bambu dan kayu berjaga-jaga. Mereka berteriak ke arah polisi dan TNI untuk tidak mendekat. Mereka melindungi kami dan massa demonstran yang dikejar TNI dan polisi.. Kami disuguhi kue dan teh hangat oleh penduduk setempat.

Setelah Maghrib kami putuskan untuk kembali ke kantor NHK di Wisma Nusantara. Setelah menulis dan mengirim berita ke Tokyo, kami putuskan untuk bermalam di Nikko Hotel (Hotel Presiden yang kini jadi Pullman Hotel). Saya masih kenakan baju olahraga dan rompi. Tak ada baju lain. Karena kecapekan, jam 22.00 saya tertidur.
Esok paginya jam 03.00 dini hari kami mengendarai mobil landcruiser kantor yang warnanya hijau mirip mobil tentara. Kami berkeliling kota Jakarta, melihat situasi Jakarta pasca kerusuhan sambil mengambil gambar. Jam 5.00 pagi kami melakukan live report untuk berita NHK jam 07.00 pagi tanggal 28 Juli 1996 (FYI, beda waktu antara Tokyo dan Jakarta 2 jam).
Setelah sarapan pagi, saya kembali ke rumah di Cinere, berganti pakaian dan ke Gereja St. Matias Cinere untuk merayakan Misa Hari Minggu.
Saya bersyukur karena selamat dan dilindungi Tuhan selama peliputan kerusuhan hari sebelumnya. Tanpa perlndungan-Nya, saya mungkin jadi korban pemukulan atau terbakar dalam gedung tingkat di dekat Pasar Kenari yang tadinya ingin kami jadikan tempat persembunyian dan tempat pemgambilan gambar situasi Jakarta.
*Jurnalis senior, dan konsultan broadcasting media.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi