
Terakota.id-–Jari-jemari Samsul Subakri terampil menjalin simpul lima batang mendong (Fimbristylis umbellaris) kering. Samsul Subakri lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kardjo. Bibirnya tersenyum sembari menuturkan filosofi hidup dibalik proses membuat wayang Puspa Sarira. Untuk membuat wayang, dibutuhkan sebatang mendong sepanjang 100 jari atau sekitar 130 centimeter.
Setiap jengkal mengandung filosofi hidup. Angka 35 menggambarkan jumlah hari dalam selapan. Angka 20 menggambarkan jumlah aksara Jawa. Angka 9 menggambarkan babahan hawa sanga (sembilan lubang utama dalam tubuh manusia).
Angka-angka berikutnya menggambarkan windu, saptawara (hitungan hari dalam budaya Jawa), sentralitas manusia dari enam 6 penjuru, falsafah Pancasila, unsur alam, Tri Pratama, dualisme alam dan terakhir menggambarkan keunikan pribadi manusia. “Kalau kita jumlah panjang totalnya 100 (jari). That’s one hundred percent original Java. Hahaha,” guyon Mbah Kardjo.
Membuat wayang Puspa Sarira diawali dengan pembuatan hidung. Menurut Mbah Kardjo, hidung melambangkan esensi permulaan kehidupan. Irung (hidung) maknanya iso wurung (bisa gagal). “Manusia akan gagal hidup jika tak bernapas,” ujarnya.
Dalam bahasa yang lebih halus, hidung disebut grana, angger-angger e ono. Maksudnya hidup tak asal urip. Setelah hidung, berlanjut membuat bagian kepala atau sirah. Sirah bermakna isine wewarah atau segala informasi ada di kepala. Tak lupa menyisakan batang mendong sebagai rambut wayang. Dalam bahasa Jawa, rambut adalah rikma artinya katarik ing sukma.
“Orang yang menginjak masa remaja menuju dewasa sukmanya tergetar. Makanya orang akan memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis,” ujar Mbah Kardjo.
Rambut wayang digulung menjadi gelung bermakna manungso ojo tegel, senengo tetulung maknanya menjadi manusia itu jangan egois, sukalah memberi pertolongan. Setelah gelung selesai, dilanjutkan membuat gulu atau leher. “Bahasa halus gulu itu jangga. Jangga kuwi ojo sok nonggo ning ojo lali karo tonggo. Mind your own bussines lah istilahnya,” tutur Mbah Kardjo.
Merajut wayang Puspa Sarira berlanjut pada bagian pundak, pujimu ojo mung pendhak yakni ucapan terima kasih atau puji syukur itu bukan hanya dilakukan ketika ingat. Bentuk wayang masih belum ketahuan, laki-laki atau perempuan. “Penentunya bernama Tri Pratama, laki-laki guna, kaya, wirya. Sedangkan perempuan gandha, rasa, rupa,” tambah Mbah Kardjo.
Guna, kaya, wirya maksudnya laki-laki itu harus pintar, punya penghasilan, dan punya keberanian. Ganda, rasa, rupa bagi perempuan mengandung filosofi yang lebih mendalam.
“Ganda itu bau tapi bukan parfum melainkan perilaku, reputasi. Rasa itu kemampuan perempuan untuk menciptakan suasana. Rupa ini kemampuan perempuan untuk memperindah keadaan, makanya perempuan digambarkan sesuatu yang indah,” ujar Mbah Kardjo.

Membuat wayang Puspa Sarira mengikuti alur berurutan. Simpul yang digunakan untuk merangkai batang mendong juga sederhana. Dari pundak, pembuatan wayang Puspa Sarira berlanjut ke bagian dhadha. Dhadha mengandung makna padha-padha, ya sira ya ingsun umate Gusti kang Maha Suci. Manusia itu setara, sama-sama umat Tuhan.
“Bagian ini mulai ditentukan wayang perempuan atau laki-laki. Nah ini yang kadang-kadang tabu disebut. Kita tidak diajarkan untuk menyebut payudara dengan benar. Salah kaprah antara payudara dan susu. Padahal orang Jawa tidak ditabukan untuk mengucapkan yang sebenarnya,” ujar Mbah Kardjo.
Mbah Kardjo membuat empat simpul di bagian payudara. Bukan tanpa tujuan, angka empat menggambarkan catur bhakti. Catur itu artinya empat, bhakti adalah penghormatan. Keempat penghormatan itu meliputi penghormatan kepada sesama, penghormatan kepada raja, penghormatan kepada orang tua, dan penghormatan kepada guru.
Selanjutnya membuat weteng atau perut. Weteng, ojo ngliwet barang kang petheng, artinya jangan menanak beras kalau sumbernya nggak jelas. Mbah Kardjo menambahkan ornamen kain panjang, jarik atau sinjang pada bagian ini. Kain tersebut digunakan untuk menutup suku atau kaki. Wayang kemudian dilanjutkan ke bagian sikil atau kaki.
“Opo kui sikil? Sikil iku napak lusi lan kerikil. Lusi merupakan bahasa Jawa kuno untuk menyebut rumput,” tutur Mbah Karjo. Kerikil, batu kecil, katanya, memiliki pesan bahwa kita harus waspada dan hati-hati, tidak boleh menyepelekan hal-hal yang kecil.
Setelah itu, bagian kaki terdapat dengkul yang memiliki kerata basa yen durung ngerti, ojo tumungkul. Artinya kalau belum paham jangan pergi dulu, harus sampai tuntas. Terakhir, bagian pundak disambungkan dengan lengan.
Lengen iku kudu ndeleng yen duwe angen-angen. Lengen ada dua yaitu kiwa (kiri) dan tengen (kanan). Kiwa artinya iki kang gawa (inilah yang membawa), setiap manusia mempunyai potensi. Tengen iku antenge angen-angen, kalau sudah tahu apa potensinya, harus fokus agar berhasil.
Tak lupa membuat ornamen wayang seperti kendhit dan samir. Seluruh batang mendong terpakai tanpa sisa. Menariknya, setiap wayang yang dibuat Mbah Kardjo selalu berbeda bentuk maupun ornamennya. Dalam tempo 15 – 20 menit sebuah wayang Puspa Sarira selesai dibuat. Cukup menggunakan air untuk mengusap batang mendong agar tak gampang putus.
Mbah Kardjo memelopri Wayang Puspa Sarira sejak 2013. Membuat sekaligus sebagai dalang pertunjukan. Wayang berbahan dasar sebatang mendong kering. Nama Puspa Sarira mengambil dari kata puspa yang artinya badan dan sarira yang artinya bunga. Wayang Puspa Sarira dimaknai sebagai wayang yang terbuat dari bunga.
Siti Fitrianti Aminah Febryana dalam jurnal berjudul Ethnobotany of Mendong Plants (Fimbristylis globusa) As Handicrafts in Wajak District of Malang Regency menyebut mendong merupakan famili Cyperaceae (tumbuhan berbunga). Mendong mirip dengan padi dan dapat menjadi bahan berbagai kerajinan tangan.
Mbah Karyo sendiri mengaku mengelola sanggar seni kerajinan yang memanfaatkan bahan bekas untuk seperti botol dan kain. Namun saat ini kurang aktif karena pandemi.
