Iklan terakota

Terakota.id—Film dokumenter catatan perjalanan atau travelogue berjudul Film Where the Wind Stops By karya Dimas Iqbal Romadhon diputar di Southeast Asia X Seattle Film Festival, di Seattle, Amerika Serikat 24 sampai 26 Januari 2018. Film pendek berdurasi 4 menit dan 50 detik terpilih bersama 23 film pendek lainnya.

Dimas menyisihkan sekitar 200 lebih film yang mendaftar untuk screening di Southeast Asia X Seattle Film Festival. Dalam film ini Dimas tengah menyampaikan kampanye terhadap penyakit kusta. Dia ingin menghapus stigma Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang sebagai pulau kusta. “Sampai sekarang stigma sebagai pulau kusta masih melekat,” katanya melalui aplikasi perpesanan.

Dimas saat ini masih berada di Seattle, dan tengah merampungkan program doktoral International Studies di University of Washington. Dosen pasca sarjana Peace Education  Universitas Raden Rahmat (Unira) Malang ini merekam perjalanan menuju Pulau Mandingan mengendarai sebuah kapal kayu. Selama ini, katanya, akses transportasi, pendidikan, air bersih, dan kesehatan masih sangat minim.

“Stigma terhadap penyakit kusta menghambat pembangunan suatu daerah.” Menurutnya, selama ini masyarakat memberikan stigma negatif terhadap penyakit kusta hingga dikucilkan. Stigma itu juga dialamatkan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Dimas menjelaskan sejak zaman kolonial, banyak pulau dijadikan tempat pembuangan penderita penyakit misterius. Seperti penyakit kusta. Termasuk Pulau  Mandangin juga menjadi tempat pembuangan penderita penyakit misterius.

“Sampai saat ini masih mendapat stigma sebagai tempat pembuangan penderita kusta, meskipun sekarang sudah berubah,” ujarnya. Stigma inilah yang menghambat pembangunan sebuah daerah. Dengan film ini dia berharap timbul kesadaran masyarakat. Dengan pemahaman masyarakat terhadap ilmu kesehatan berkembang akan menurunkan stigma negatif terhadap kusta.

Film  bertema perjalanan Dimas ini pada Juni 2017 lalu. Ia melakukan perjalanan ke pulau Mandangin untuk sebuah penelitian atas stigma Mandangin sebagai pulau kusta. “Juni lalu saya fieldwork penelitian tentang stigma penyakit kusta di Madura.”

Atas stigma negatif sebagai pulau kusta, katanya, pembangunan di kawasan itu terhambat. Layanan pendidikan dan kesehatan tak memadai. Akses pendidikan sulit, penduduk setempat terhambat untuk mendapat pendidikan murah dan berkualitas.

Gedung Sekolah Dasar di Mandangin. Dua gedung SD di satu halaman sekolah,memiliki satu UKS dan ruang guru. (Foto : Dokumen Dimas Iqbal Romadhon).

“Film ini dipilih mungkin karena tema yang diangkat tentang kusta sedangkan Festival Film diselenggarakan hampir bertepatan dengan Hari Kusta Internasional,” ujarnya.

Proses produksi film tergolong singkat, hanya beberapa pekan bersamaan dengan penelitian yang dilakukan Dimas. Penelitian Dimas terkait sejarah penyebaran kusta di Indonesia, spesifik di Madura. Serta penyakit kusta yang sampai saat ini mendapat stigma negatif, dianggap sebagai penyakit kutukan.

Festival film ini, merupakan kali pertama yang diikuti Dimas secara individu. Kini, dia tengah mempersiapkan film pendek tentang sejarah kusta di Indonesia. Sebuah proyek bareng bersama seorang teman peneliti.  “Saat ini masih terganjal pendanaan, jadi kita tunda dulu eksekusinya.”

Indonesia, menempati peringkat ketiga dunia jumlah penderita kusta terbanyak. Sedangkan pengetahuan masyarakat masih rendah mengenai penyakit kusta. Penyebab dan cara penularan. Sampat saat ini, banyak yang menganggap kusta sebagai penyakit kutukan dan penderitanya dikucilkan.

Sikap masyarakat terhadap penyakit kusta, lantaran promosi kesehatan belum maksimal. Petugas kesehatan harus gencar memberikan pemahaman yang tepat kepada mayarakat tentang penyakit kusta. Promosi kesehatan bisa dilakukan salah satunya melalui film.

Dermaga di Mandangin. Tempat kapal nelayan bongkar muat dan mengangkut penumpang . (Foto :  dokumen Dimas Iqbal Romadhon).