Foto Film Istirahatlah kata-kata (Foto : Parkir Film)
Iklan terakota

Terakota.id-Seorang ibu rumah tangga terlihat antre memesan tiket film ‘istirahatlah kata-kata.’ Dia datang ke sebuah cafe memesan empat tiket sekaligus. Ibu paruh baya bernama Titik ini tengah memesan tiket untuk keluarganya. Termasuk membelikan tiket menonton untuk anaknya yang tengah duduk di bangku SMA.

“Anak saya perlu tahu dan mengerti siapa Wiji Thukul,” kata Titik seperti yang disampaikan Melati Noer Fadjri. Titik datang mengendarai sepeda motor, dia tertarik karena terpengaruh puisi karya Wiji Thukul. Termasuk memperngaruhi sikap dan gerakan para mahasiswa saat itu.

Film karya Yosef Anggi Noen menarik memori kolektif masyarakat atas kekuasaan yang otoriter. Memotret pelarian Wiji Tukul ke Pontianak selama delapan bulan usai peristiwa berdarah 27 Juli 1997. Wiji Thukul bersama pengurus Partai Rakyat Demokratik (PRD) dikejar-kejar aparat dan penguasa orde baru.

Kritikus film, Eric Sasono dalam artikel “Film ‘WijiTukul’: Keseharian membosankan seorang penyair” di lama BBC Indonesia 9 Desember 2016 menilai sosok Wiji Thukul sejak dihilangkan paksa telah menembus kelas. Kelas menengah yang mempahlawankan seorang buruh, pimpinan demonstran atau aktivis kiri ini, sekedar ikut-ikutan atau terinspirasi sajak-sajaknya.

Anggi, mengajukan sesuatu yang beda. Kesunyian diutamakan ketimbang peristiwa dramatik yang tujuannya menghibur. Keseharian inilah kekuatan Istirahatlah Kata-kata. Ketengangan muncul dari kebutuhan memperoleh KTP dan cara memperolehnya.

Wiji Thukul, selain seorang yang berkobar dengan kata-kata, adalah seorang yang bertahan, endured, di tengah tekanan yang demikian berat dan tak tertanggungkan. Saat itu ia tak tahu apa perannya dalam sejarah, tapi kita sekarang tahu bahwa di balik tubuh kurus, kesepian, dan tampak rapuh itu sebuah bangsa sedang dilihat apakah lolos dari ujian sejarah atau tidak.

Penonton Malang Antusias

Wiji Thukul membaca puisi di sekretariat PRD. (Foto : Tempo)

Anak muda di Malang antusias terhadap film istirahatlah kata-kata. Dalam waktu sehari terjual sebanyak 600 an. Penjualan tiket dilakukan secara online oleh komunitas pecinta film di Malang. “Penjualan dibuka pada Minggu sejak pukul 17.00 WIB,” kata Melati Noer Fadjri.

Awalnya, kata Melati, hanya ditargetkan 166 kursi untuk menyewa satu studio. Tak disangka, antusias penonton melonjak, hingga dibuka tiga studio dengan jumlah kursi sekitar 500-an. Dalam enam jam, 500 tiket ludes terjual.

Melihat animo penonton luar biasa banyak, kembali dibuka penjualan tiket pada Senin 30 Februari 2017. Disediakan sebanyak 787 tiket untuk lima studio. Penjualan tiket, dipromosikan melalui media sosial. Para calon penonton membayar secara tunai maupun transfer ke rekening.

Melati yang juga pegiat Anak Singa Film ini mengaku bekerja secara sukarela. Dia dibantu sejumlah teman pecinta dan aktivis pembuatan film indie di Malang. Melati mengaku kaget dengan antusias para penonton. Para penonton beragam mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, akademisi, pelajar dan aktivis mahasiswa.

Film kultural, kata Melati, jarang peminat. Namun, berbeda dengan film istirahatlah kata-kata yang diminati para penonton di Malang. Mereka memesan tiket dan tertarik menonton film karena mengenal rekam jejak Wiji Thukul sebagai penyair dan terlibat pergerakan.

Berawal dari Kekecewaan

Gerakan Melati ini awali dengan kekecewaan lantaran Malang tak ada pemutaran film yang mengangkat kehidupan penyair Wiji Thukul sejak diluncurkan 19 Januari 2017. Lantas mereka menggalang jajak pendapat melalui media sosial, hasilnya sebanyak 300 orang secara online dan 200 secara offline meminta film diputar di Malang.

Hasil jajak pendapat ini diteruskan kepada produser Yulia Evina Bhara. Melihat antusias para penonton produser memesan satu studio hingga bertambah menjadi lima studio. Para relawan ini, kata Melati, bekerja secara sukarela.

Dewi Ratna yang bekerja penulis mengaku terlibat membantu Melati dalam menyiapkan nonton bersama di gedung bioskop Mandala Malang Plaza. Dia membantu Melati sejak awal jajak pendapat. “Di Malang banyak sineas dan pecinta film, sejak awal kami yakin banyak peminat,” ujarnya.

Selain nonton bareng, juga bakal digelar diskusi dengan Gunawan Maryanto yang memerankan Wiji Thukul. Diselas diskusi akan diwarnai pembacaan puisi karya Wiji Thukul.