
Terakota.id—Udara panas mencumbu permukaan kulit. Pelabuhan Pekalongan siang itu riuh dengan hilir mudik manusia. Sri, perempuan penjual ikan di lelangan dekat pelabuhan menjajakan dagangannya. Di sampingnya duduk anak lelaki yang menginjak remaja, namanya Huda. Inilah film Alang-alang.
Keduanya berbincang lirih. Huda, sepeninggal ibunya, tak mendapati ‘rumah’ di bangunan tempat yang ditinggalinya sejak kanak. Lantas ia mencari kenyamanan, berkeliaran di pelabuhan. Demi menghidupi diri, ia nekat menjadi ‘alang-alang’. Istilah setempat untuk menyebut maling ikan di pelelangan.
Sri menyambut perbincangan keduanya. Benaknya berkecambuk. Ia teringat masa yang telah lalu. Jika saja anaknya masih hidup, mungkin kini sebesar Huda. Bayi oleh-oleh dari tanah sebrang, yang tak pernah diharapkan kehadirannya. Beringas majikan selama ia menjadi kuli devisa, membuahkan janin dalam rahimnya.
Kisah pilunya memang hanya jadi angin lalu. Tak ada pihak yang tahu menahu. Ia sesap kepiluan, sendirian, dalam kebungkaman. Pasca diselamatkan agensi, uang hasil jerih payah kerjanya justru diakali.
Sesampainya tanah air, kabar nan potensial merusak reputasi berbagai pihak ini dihilangkan. Total, tak bersisa bukti data, seolah tak terjadi apa. Kini tinggalah Sri, perempuan jelang usia 40 tahun di kampung halaman. Menghidupi hari demi hari menjual ikan.
Itulah sepenggal kisah dari ide cerita yang disulap sutradara debutan film panjang, Khusnul Khitam dalam karya sinema berdurasi 105 menit. Berjudul Alang-alang. Melalui film ini, ia mencoba memotret kondisi anak-anak yang kerap diabaikan.
“Hari ini banyak anak tinggal di jalanan, belum mendapat hak atas rasa aman dan pola asuh,” papar Khusnul Khitam. Menurutnya anak-anak sebagai generasi mendatang perlu mendapatkan kasih sayang. Anak butuh didengar keluh kesahnya. Ditemani tumbuh dan berkembang.
Cerita film Alang-alang mulai ditulis Khusnul 2010. Pengalamannya sebagai pembuat film dokumenter sejak 2005 menimbun berbagai keresahan. Perjalanan menghayati realita yang tak bisa disampaikan lewat film dokumenter, ia tuangkan dalam naskah fiksi.
“Pada 2011 mengikuti pitching, presentasi gagasan. Ide sempat diendapkan bertahun-tahun, 2018 ketemu calon investor,” kata Khusnul Khitam.
November 2020, rumah produksi Aksa Bumi Langit yang berdomisili di Bandung bersedia menaungi produksi film. Naskah film lantas di-develop (di-godhok), Maret 2021 mulai produksi.
Potret Pekalongan dalam Sinema
Syuting film Alang-Alang dilaksanakan 14 hari. Lokasi utama difokuskan pada sebuah pelabuhan pinggir Kota Pekalongan. Lokasi pendukung mengambil sudut sekitar pelabuhan mulai tempat lelang ikan, pantai, jalanan, tempat pembuangan sampah.
Khusnul Khitam terkesan dengan lokasi pemakaman di sekitar pelabuhan. Terendam air pantai, makam terlihat ke permukaan ketika air surut. Makam yang kini hampir tak dikenali siapa empunya.
Lokalitas kian terasa dengan penggunaan bahasa Jawa, sepanjang film. Pemain yang berbahasa ibu selain bahasa Jawa diajarkan melafal logat khas Jawa. Beberapa kata merujuk dialek setempat.
Uniknya, bisa disebut nekat, salah satu pemain utama diambil dari penduduk setempat. “Pemain utama diambil dari Pekalongan, non-aktor. Menjalani clinic acting bersama Rukman Rosadi, asistennya dan saya,” tutur Khusnul Khitam.
Dialah Rafli Anwar Mursadad atau akrab dipanggil Awang. Pertama kali bergiat akting, nasib baik memberinya peran utama. Remaja asal Pekalongan ini awalnya didorong ayahanda mengikuti casting (pemilihan peran). Ia tak menyangka akan memerankan tokoh utama.
Khusnul Khitam mengatakan tim memang sengaja mencari pemeran tokoh Huda dari penduduk setempat. Orisinilitas alasannya. Anak-anak hingga remaja laki-laki di sekitar pelelangan diundang ke hotel tempat tim menginap. Mereka diberi naskah, diminta mencoba dialog. Hari pertama, kedua bergulir. Tak kunjung juga ditemukan pemeran Huda.
Hampir pantang arang mengambil aktor dari luar daerah, beruntungnya proses casting direkam. Saat rekaman ditinjau ulang, sutradara dan Rukman Rosadi, mentor akting menilai sosok Awang patut diperhitungkan. Namun perlu dieksplorasi mendalam untuk meyakinkan mereka.
“Beberapa kali Awang diundang ke hotel untuk uji lanjutan. Pernah diminta bawa kentrung, mengetes keberanian Awang tampil di depan sutradara dan mentor akting,” papar Khusnul Khitam.
Potret air laut utara Jawa nan kian mengalami kenaikan, turut dipotret Khusnul Khitam dalam film ini. Menurutnya, film ini menanggapi respon fenomena alam. Membiarkan air bercerita tanpa banyak berkata. “Scene agak panjang memunculkan genangan air. Ketinggian konsisten, tanpa di-setting, berkah dari alam,” papar Khusnul Khitam.
Kisah Dibalik Layar Film Alang-Alang
Awang mengaku menikmarti proses pembuatan film Alang-alang. Banyak nilai yang dipelajari dari sosok Huda yang diperankannya. Bagaimana Huda, anak yang pergi dari rumah akhirnya memaknai arti hidup dan kebijaksanaan orang tua.
Sebagai penduduk lokal, ia tak perlu banyak beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari tokoh Huda. “Saya sejak dulu pengen jadi pelaut, hobi berenang. Di film ini memerankan adegan itu, tak ada kesulitan,” tutur Awang.
Ia hanya perlu menyesuikan kharakter Huda yang pendiam dan jarang berbaur. Berkebalikan dengan dirinya yang cenderung ceria dan ramah. Berbeda dengan Awang yang paham betul seluk beluk kehidupan di pelabuhan, Putri Ayudya (pemeran Sri) justru baru belajar di film ini. Demi mendalami peran, ia datang ke pelabuhan Purwokerto 3 hari sebelum pengambilan gambar.
“Temuan di lokasi berbeda jauh dengan hasil pra-produksi persiapan tokoh Sri selama lima hari dan dua minggu pengendapan,” tutur Putri. Ia memaparkan selama tiga hari di pelabuhan, warga awalnya memandang aneh dirinya. Meski riuh kedatangan manusia, penduduk setempat menurutnya hapal betul gelagat orang asing.

Bermodalkan senyum, ia edarkan pada para penduduk. Hari kedua Putri mulai dikenal penduduk, mereka lekas berubah ramah. Beberapa membantu bahkan mengawasi diam-diam dari kejauhan. “Hari ketiga makin akrab. Sampai ditawari rokok,” ujar Putri.
Putri mengaku telah salah menggambarkan sosok perempuan yang berdagang di pelabuhan. Perempuan pelabuhan di Pekalongan menurutnya berkulit lebih gelap, hasil terpapar sinar matahari. “Memiliki fisik kuat, memakai tas di pinggang, fasih berbahasa Jawa,” katanya menjelaskan.
Ia menyerap hasil pengamatannya, mengaplikasikan dalam kharakter Sri. Totalitas Putri lainnya ditunjukkan dengan keputusannya merokok sebulan penuh. “Seluruh adegan Sri merokok, jadinya belajar merokok ke tim. Sekarang paham bagaimana susahnya teman-teman melepas adiksi rokok,” tutur Putri sambil terkekeh.
Guyub Rukun, Solidaritas Kru dan Pemain
Putri merasakan solidaritas kru dan pemain selama syuting. Tim berjumlah 40-an orang yang juga debutan di produksi film panjang itu bahu membahu saling membantu. Ia mengatakan tersentuh hatinya kala DOP menawarkan teknik seperti apa yang dubutuhkan aktor untuk memaksimalkan perannya.
“Sutradara juga membiarkan aktor menyelesaikan adegan hingga tuntas, artinya diberi ruang dan waktu,” ungkap Putri.
Tim kostum dalam kenangnya juga menanyakan kenyamanan pakaian, hal yang begitu manusiawi, menurutnya. Keselamatan aktor saat beradu peran juga diprioritaskan. Khusunya pada adegan terjun bebas ke air di pelabuhan. “Sempat sakit, produser menawakan minuman herbal. Aktor juga disediakan air bersih di ember,” kata Putri.
Ia menilai aktor bukan apa-apa tanpa kerja keras tim kru film. Film yang bagus berawal dari tim nan solid. “Aktor sebagai penyampai pesan. (Dibalik layar) masih ada tim editing, DOP, penata cahaya, dll,” tutur Putri. .
Mengamini kisah Putri, Khusnul Khitam menyatakan kesan serupa. “Film panjang pertama, saya merasakan guyub pemain dan kru. Banyak menyerap ilmu dari proses ini,” pungkasnya.
Lika-Liku Manusia Memaknai Hidup
Sri dengan masa lalu nan babak bundhas, dibungkam keadaan sekilas memancarkan nuansa pahit. Film Alang-alang mencoba mengurai kepahitan hidup manusia, lalu menyiratkannya pada kisah perjalanan tokohnya. Putri mengaku belajar dari kharakter Sri. “Aku nggak terbayang bagaimana Sri menjalani hidupnya, berjuang day by day,” tutur Putri.
Film ini muaranya akan mempertanyakam apakah Sri trauma mencintai laki-laki. Apakah Sri trauma memiliki anak? Bagaimana Sri memaknai hidupnya ? “Apakah Sri hidup bahagia, apakah senyum di bibirnya nyata?” kata Putri merefleksikan sosok Sri.
Awang pun mengaku belajar dari tokoh Huda. Remaja yang merasa disia-sia keluarga ini di akhir cerita menemui makna kebijaksanaan orang tua. “Huda belajar memahami hidupnya, tindakan orang tuanya dari proses perjalanan tokoh,” kata Awang.
Dialektika kehidupan disajikan lewat interaksi antar tokoh utama, Sri dan Huda. Potongan-potongan kisah lain yang melingkupi keduanya mengajak penonton memperluas persepsi dalam memaknai arti hidup.
Alang-alang bertandang ke lima kota. Bandung (7 November), Malang (9 November), Yogyakarta (11 November), Semarang (15 November), dan Pekalongan (17 November). Digelar pula workshop bertajuk sinematografi dan perjalanan penyutradaraan Khusnul Khitam.
Roadshow film Alang-alang di Malang digelar Selasa, 9 November 2021. Berlokasi di Littletown by Tenthirty, Jalan Terusan Dieng, Pisang Candi, Sukun, Kota Malang. Dimulai pukul 08.00 WIB, rangkaian acara berlangsung hingga pukul 21.00 WIB. Kumpul, Makan, Bincang Film Alang-alang bersama pemain dan kru film menutup rangkaian roadshow di Malang.
“Film saat ini dalam proses pasca produksi, rilis Maret 2022. Jangan lupa nonton di bioskop,” kata Khusnul Khitam sembari berpromosi.
