Festival Rimba untuk Pelestarian Adat dan Hutan Kalimantan

Tarian tradisi penyambutan tamu Dayak Iban Sungai Utik. (Foto: Fetival Rimba).
Iklan terakota

Terakota.ID–Masyarakat Adat Dayak menyelenggarakan Rimba Festival  atau Festival Rimba di Rumah Panjai (Betang) Dayak Iban, Sungai Utik pada 28 – 30 Juli 2023. Festival menyajikan serangkaian pertunjukan, dan mengangkat kepedulian terhadap pelestarian hutan di Kalimantan. Lokasi Festival cukup luas untuk mewadahi konsep festival. Rumah Panjai Iban Sungai Utik secara arsitektural bagus, dengan lingkungan yang bersih dan terpelihara.

Festival dilangsungkan di jantung hutan dan dekat dengan budaya asli masyarakat Kapuas Hulu. Festival Rimba di Rumah Panjai Sungai Utik sebagai rintisan awal festival, selanjutnya festival bisa dilangsungkan secara bergiliran di rumah betang lainnya.  Intinya melalui jalan kebudayaan dan kebersamaan, bisa melestarian hutan Kalimantan sebagai warisan dunia.

Festival menghadirkan seminar bertema urgensi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hutan adat di Indonesia.  Serta pameran produk, pameran foto, pemutaran film, pertunjukan musik,  pertunjukan tari dan sastra, serta permainan tradisional. Selain itu, juga dilakukan menjelajah hutan.

“Program diselenggarakan agar pengunjung mengetahui secara langsung bagaimana kehidupan masyarakat adat dalam memelihara hutannya,” ujar Ketua Panitia Festival Rimba Joni Vercelli Manehat dalam siaran pers yang diterima Terakota.ID. Pengunjung bisa melakukan perjalanan ke pondok hutan melalui susur sungai serta menyusuri hutan dengan berjalan kaki. Festival menempatkan masyarakat adat Dayak untuk menyampaikan pesan khusus yang disampaikan melalui festival.

Melalui festival digunakan untuk meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian hutan di Kalimantan sekaligus ingin mendorong pariwisata di Kapuas Hulu. Masyarakat Adat Iban Sungai Utik memiliki hutan adat yang cukup luas, serta menghasilkan kerajinan tangan yang indah. Seperti gelang resam, tenun, tikar-tikar rotan, dan lain-lain. Masyarakat Rumah Panjai Sungai Utik ramah menyambut tamu sesuai budaya masyarakat adat Dayak di Kalimantan Barat.

Masyarakat Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik merupakan masyarakat adat yang pertama mendapatkan sertifikat Ekolabel, mendapat penghargaan Kalpataru 2019, Equator Prize tahun 2019 dari UNDP. Serta mendapat pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dari Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan telah mendapatkan surat keputusan hutan adat pertama di Kabupaten Kapuas Hulu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Serta penghargaan dari Gulbenkian Prize for Humanity di Lisbon Portugal yang diterima Apai Janggut ”Bandi” pada 19 Juli 2023.

Sekretaris Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Mohd Zaini mengapresiasi festival. Sekaligus mendorong sektor pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu. Hutan di Kapuas Hulu menjadi salah satu wilayah yang memiliki tutupan hutan tropis terbesar di dunia dengan keragaman hayati, seni dan budaya. Sebagai letak geografis kabupaten dengan batas negara memiliki peluang besar pariwisata, khususnya ekowisata.

”Mari wujudkan Kapuas Hulu sebagai tempat wisata aman dan berkualitas. Harapannya festival ini dapat menjadi even tahunan. Apresiasi yang besar juga kami ucapkan kepada semua yang hadir di Sungai Utik,” kata Zaini. Festival Rimba Sungai Utik digelar oleh masyara kat adat dengan dukungan sejumlah lembaga, misalnya Serakop Iban Perbatasan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan.

Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang menuturkan Festival Rimba sangat penting bagi Desa Batu Lintang dan Kapuas Hulu. Kegiatan dilaksanakan atas kolaborasi berbagai pihak untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. “Kami melakukan ini secara mandiri dan dengan dukungan dari teman-teman yang sangat peduli dengan masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik,” ujarnya.

Masyarakat di Rumah Panjai bergotong royong menyukseskan Festival. Menurutnya ekowisata sangat penting bagi Sungai Utik, sedangkan orang luar melihat Sungai Utik bagaikan surga di negeri ini. Berbagai penghargaan penting yang diraih oleh Sungai Utik memiliki makna bahwa kami harus melestarikan adat dan budaya.

Persembahan Lagu “Kami Anak Sungai Utik” oleh Anak-anak Sungai Utik. (Foto: Festival Rimba).

”Dayak Iban memiliki adat dan budaya yang masih utuh dan dilestarikan hingga saat ini. Kami ingin menyuarakan adat dan budaya yang kami miliki,” kata Ketua Serakop Iban Perbatasan (SIPAT) Herkulanus Sutomo Manna.

Masyarakat adat termarjinalkan, katanya, lantaran Indonesia masih belum memiliki payung hukum perlindungan terhadap masyarakat adat. Kondisi ini mengakibatkan situasi yang mengkhawatirkan, dan menyebabkan masyarakat adat terpinggirkan. Untuk menghadirkan harmonisasi kebijakan-kebijakan yang melindungi dan merangkul masyarakat adat harus didorong agar segera disahkan.

”Kami ingin mengetuk hati semua orang bahwa kepedulian terhadap masyarakat adat dan budaya yang dimiliki dari masyarakat adat harus dijaga,” kata Gerkulanus. Sekaligus mengajak setiap orang untuk peduli lingkungan dan masyarakat adat. Sekaligus menyuarakan dan menyerukan negara turut hadir. Juga menjadi salah satu cara kami untuk mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.

Festival Rimba menjadi momen penting untuk kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam menyeimbangkan kembali hubungan dengan alam. Termasuk kemampuan beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan, krisis iklim dan modernisasi. “Perjuangan ini perlu dukungan komunitas lain,” katanya.

Selain ingin negara mendorong keterlibatan dan kebijakan penuh mengenai masyarakat adat. Masyarakat adat dsayak juga ingin mendapat dukungan penuh dari pemerintah, tak hanya slogan saja namun bukti kebijakan yang nyata. “Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari, tapi juga titipan bagi generasi mendatang,” katanya.

Hutan menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya. Sekaligus merefleksikan kembali hak-hak masyarakat adat atas hak ulayat dan wilayahnya. Bernaung dalam NKRI, sudah sewajarnya masyarakat adat mendapatkan keadilan dan perlindungan melalui pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat.

Pulau Kalimantan atau Borneo merupakan wilayah kedua terbesar di dunia yang memiliki hutan hujan tropis setelah Amazon. Dengan kelimpahan yang luar biasa ini, keberadaan Pulau Kalimantan tidak hanya penting untuk Indonesia, tetapi juga dunia. Kabupaten Kapuas Hulu dijuluki sebagai “The Heart of Borneo” karena memiliki area hutan yang cukup luas dengan nilai ekonomi yang tinggi dan diyakini sebagai warisan dari nenek moyang leluhur mereka.

Taman Nasional di Wilayah Adat di Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kebanggaan karena merupakan aset nasional bahkan internasional. Sekaligus memberikan kontribusi manfaat jasa lingkungan yang besar baik secara lokal maupun global, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Bagi masyarakat sekitar hutan, Taman Nasional di Kabupaten Kapuas Hulu memiliki arti yang sangat penting. Lantaran, areal hutan yang luas tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat besar dan diyakini sebagai warisan dari nenek moyang leluhur mereka.

Untuk mengoptimalkan potensi ini, dibutuhkan sebuah promosi yang cukup strategis. Seperti tren wisata yang tidak sekadar menikmati alam dan sajian budaya, tetapi juga ingin datang sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap suatu persoalan. Selain itu pengembangan ekonomi kreatif yang ramah lingkungan juga diperlukan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat setempat. Festival merupakan bentuk kepedulian terhadap pelestarian hutan di Pulau Kalimantan.