
Terakota.id–Saat mendengar kata “punk,” yang sering muncul di kepala banyak orang adalah imaji tentang anak-anak di perempatan atau pinggir jalan yang mengamen atau kumpul-kumpul dengan penampilan tidak biasa. Ada juga klise tentang “anti kemapanan” yang menyertai anak punk. Pemahaman tentang punk di khalayak umum sangat satu sisi.
Padahal tidak demikian mestinya. Sedikit saja kita mencoba mencari di internet definisi “punk,” kita akan mendapati adanya hal-hal yang cukup menakjubkan tentang punk. Kalau kita baca “Punk Manifesto” yang ditulis oleh Greg Graffin, vokalis band Bad Religion yang sehari-hari nyambi jadi dosen biologi evolusioner, kita akan mendapati bahwa “punk” adalah keyakinan bahwa hidup haruslah dilandasi oleh semangat kritis dan kreatif dan bahwa tidak semestinya dalam hidup kita ini cuma mengekor.
Atau, dalam bahasa Greg Graffin, punk dilandasi dengan “a desire to walk the line between these two extremes with masterful precision.” Atau, kalau kita ingin pangkas, punk adalah orang yang memegang kuat etos DIY (Do it Yourself) atau kita terjemahkan saja sebagai etos GD (Garap Dewe, Garap Sendiri). Etos Garap Sendiri ini harus tercermin tidak hanya dalam hal-hal yang bersifat fisik, tapi juga mental dan ideologis.
Dengan fokus yang lain, film dokumenter berjudul Punk: Attitude, yang disutradarai oleh Don Letts, menyasar salah kaprah yang lain mengenai punk. Kalau kelompok lain cenderung memahami punk sebagai genre musik, maka Letts menunjukkan lain: punk adalah sikap. Seorang musisi punk lebih merupakan seseorang yang memiliki sikap tertentu dalam hidup dan bermusik, bukan hanya orang yang memainkan gaya musik tertentu. Demikian kira-kira menurut hasil penelusuran yang dilakukan oleh Letts terhadap orang-orang yang diyakini punya hubungan dengan kemunculan dan perjalanan musik punk di masa-masa munculnya istilah ini. Kalau mau lebih jenak dan ada waktu, silakan tonton video berikut.
Setelah berbicara tentang hal-hal yang terjadi dan berasal dari negeri-negeri jauh ini, mari kita bawa diskusi ke ranah lokal lagi. Apa buktinya bahwa punk tidak hanya soal anak-anak di jalanan yang membawa kentrung dan berambut lucu itu? Contoh terkini ternyata tidak jauh-jauh, ada di Malang. Semuanya terangkum dalam True to Myself: Perihal No Man’s Land dan Akhirnya Saya Gantung Boot, memoar Didit Samodra, vokalis dan gitaris No Man’s Land, band underground asal Malang yang cukup diperhitungkan di lingkup nasional dan internasional—beberapa albumnya dirilis oleh label Eropa. Yang menarik, memoar Didit Samodra ini cukup bisa menunjukkan tidak hanya perjalanan si penyanyi tapi juga etos punk yang tercermin di seluruh buku ini.
Sebagai sebuah memoar, buku ini disusun dengan alur yang bisa dibilang sederhana, dimulai dari saat dia lahir, berlanjut ke masa sekolah, berlanjut ke masa mengenal musik. Hingga akhirnya ketika bergiat di No Man’s Land hingga akhirnya sampai dia sudah sangat fokus dengan mata pencaharian dan bersamaan dengan keinginan untuk menutup No Man’s Land. Buku ini adalah pengakuan tentang kenapa Didit Samodra berhenti main band di No Man’s Land, atau dalam istilahnya sendiri “gantung boot.”
Kalau ada yang sangat konsisten dalam buku memoar ini, ia adalah etos Garap Dewe. Ada beberapa wilayah dalam buku ini di mana etos tersebut muncul dengan sangat kuat, meskipun Didit Samodra tidak perlu vulgar mengatakannya demikian. Yang pertama muncul adalah bagaimana No Man’s Land mengawali karir rekaman mereka. Mereka melakukan rekaman sendiri di sebuah studio di Malang. Menilai sendiri hasilnya, mengulanginya karena tidak puas, dan ketika sudah puas mereka pun menggandakan kasetnya sendiri, membuatkan kover sendiri, dan akhirnya mereka rilis album itu. Ada satu paragraf yang menggambarkan keceriaan No Man’s Land dalam mengerjakan ini:
“Rekaman inilah cikal bakal album pertama. Langkah selanjutnya adalah membuat cover. Kami mencetaknya di salah satu rumah sablon milik Nurman, seorang kawan lama. Untuk Penggandaannya, No Man’s Land melakukannya secara manual, di tape double recorder milik seorang kawan Ferry. Harus ada nego dan sedikit muslihat untuk menggandakan kaset ini. Kawan Ferry tentu tak ingin tape-nya rusak hanya karena digunakan untuk menggandakan kaset. Dari hanya mereka tiga kaset, ditambah sedikit nego, akhirnya si pemilik tape mengizinkan mereka lima puluh kaset walau dengan muka masam” (hlm. 35-36).
Cerita mengundang senyum tentang proses pembuatan kaset secara Garap Dewe tersebut mungkin sekarang tidak terdengar terlalu aneh. Kalau dipikir-pikir, bukankah memang begitu yang biasanya terjadi? Tapi, yang menjadikan kisah ini istimewa adalah, No Man’s Land lah yang pertama kali melakukan ini di Malang, di sebuah tempat yang punya banyak pemain musik tapi untuk membuat album harus dilakukan atas dukungan label rekaman besar entah di Surabaya atau di Jakarta. Rilisan Garap Dewe inilah yang akhirnya memantik band-band lain di Malang untuk melakukan hal yang sama, agar bisa hadir di telinga pendengar tanpa harus menghadiri konsernya.

Etos garap dewe dalam membuat album ini pun berlanjut ketika akhirnya zaman berganti. Ketika muncul .mp3 dan pengolahan musik dilakukan dengan komputer, Didit Samodra dan No Man’s Land pun tetap mengikuti perkembangannya. Mereka sampai harus merakit komputer dengan spesifikasi khusus untuk memungkinkan No Man’s Land bisa menggarap album terkininya dengan cukup memuaskan dan siap untuk pasar lokal maupun internasional.
Seperti tadi saya janjikan di atas, etos Garap Dewe ini pun muncul untuk wilayah ideologis. Memainkan musik punk dan skinhead tidak bisa dilepaskan dari pengaruhnya di Eropa. Di Eropa, skinhead tidak bisa dilepaskan dengan fasisme Nazi. Penggunaan swastika bisa ditemukan di mana-mana, entah sebagai simbol dukungan kepada ideologi Nazi yang memandang kulit putih Eropa sebagai yang paling unggul, maupun untuk membikin kejutan yang bikin marah.
Di akhir tahun 1970-an di Inggris, anak-anak punk digerakkan oleh keinginan membuat orang gerah, entah itu dengan musiknya, dengan penampilannya, maupun dengan omongannya. Salah satu hal yang membuat orang gerah itu adalah lagunya Sex Pistols, “God Saves the Queen,” yang mengolok-olok Ratu Inggris dan Kerajaan Inggris, dan memakai kalung swastika sekadar untuk mengejutkan orang karena swastika yang sudah dipakai Nazi itu telah menjadi masa lalu yang kelam Eropa, masa ketika bangsa Jerman di bawah Hitler menganggap diri paling unggul karena warna kulitnya dan melakukan hal-hal mengerikan kepada orang non-kulih putih, khususnya Yahudi yang dianggap lebih rendah—meskipun dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi.
Dalam kasus Didit Samodra dan No Man’s Land, sikap yang tegas dia ambil adalah sikap anti marginalisasi. Ketika muncul kesempatan untuk diterbitkan albumnya oleh label rekaman di Eropa, tentu Didit gembira luar biasa. Mungkin ini apresiasi yang penting buat mereka. Namun, belakangan dia temukan bahwa label tersebut juga merilis album-album dari band-band yang dikenal rasis.
Salah satu estetika dalam punk, yaitu kakofoni, atau kekacauan tampilan, memang bisa diterjemahkan ke dalam sikap yang menerima siapa saja masuk ke dalam kumpulan, terlepas dari apa pun pandangan politisnya. Dan prinsip itu juga sepertinya yang dipegang oleh label tersebut. Mereka menerima band-band yang mereka anggap bagus untuk bisa mereka riliskan, dengan sikap terbuka terhadap ideologi yang dibawa masing-masing band. Akhirnya, karena merasa perlu memegang teguh prinsip anti rasis, Didit menolak tawaran untuk diterbitkan albumnya di bawah bendera label Eropa tersebut.
Memang sulit mendefinisikan punk dengan tegas. Ada prinsip atau etos di dalamnya yang bisa dimaknai menjadi kontradiktif. Di satu sisi, seperti saya sebutkan di atas, keinginan membuat orang gerah dengan hal-hal yang tampak tidak beres adalah salah satu prinsip yang kuat. Kakofoni juga bisa dimaknai dengan menerima siapa saja tak peduli sejelek apa pun penampilan dan ideologi yang mereka bawa.
Di sisi lain, prinsip anti-rasis dalam punk ini juga sebenarnya sesuatu yang sangat mendasar, sebagaimana tampak pada salah satu event penting dalam sejarah awal punk “Punk Against Racism.” Bahkan, dalam buku Subculture: the Meaning of Style, sebuah kitab kecil wajib untuk melihat sejarah punk, Dick Hebdige menyoroti bagaimana anak-anak punk Inggris pada akhir 1970-an menggunakan gaya anak-anak kulit hitam Inggris atau Hindia Barat hingga seolah-olah anak-anak kulit putih itu “melunturkan etnisitas” mereka. Maka, ketika No Man’s Land yang berpenampilan ala skinhead dan memainkan musik oi itu membuat sikap tegas terkait rasisme, mereka telah menggarap dewe ideologi yang ingin mereka bawa.
Yang cukup mengejutkan terkait etos Garap Dewe ini adalah perubahan pandangan yang dialami oleh Didit Samodra. Secara garis besar, Didit Samodra mengalami transformasi spiritual sehingga pada akhir buku ini Didit Samodra yang kita kenal bukanlah lagi Didit Samodra ketika dia pertama kali main band dan nongkrong-nongkrong dengan anak band yang lain.
Kalau memandang ini dari sudut pandang yang simplistik, kita mungkin akan menyebut buku ini sebagai “narasi hijrah.” Namun, alih-alih menjadi “narasi hijrah” yang dipenuhi dengan perubahan drastis pandangan dan gaya hidup, kisah True to Myself ini lebih merupakan kisah transformasi yang disampaikan dengan sadar diri dan, kalau menggunakan istilah Greg Graffin, dilakukan dengan kehatihatian dalam meniti jalur yang membatasi kanan dan kiri.
Dalam buku ini, kita tidak akan menemukan glorifikasi “masa gelap” dan kemudian kepatutan “masa terang.” Yang justru kita temukan adalah kisah yang murung tentang masa-masa yang secara implisit mengandung hal-hal yang tidak disukai saat ini. Saat berbicara tentang nongkrong, yang kita tahu adalah menghabiskan waktu bersama kelompok pemain dan pendengar musik, dengan sedikit singgungan tentang alkohol.
Yang justru dimunculkan adalah pemakluman bahwa di masa itu, lagu-lagu No Man’s Land banyak “menggambarkan jiwa muda yang penuh dengan rasa ingin tahu, ingin hidup bebas tanpa aturan-aturan yang membelenggu, penuh dengan semangat yang menyala-nyala walau sering salah jalan, selalu merasa paling benar tak mau mendengar kata orang” (hlm. 32).
Di sini, tampak bahwa yang justru ingin disoroti adalah bagaimana hal-hal dalam hidup itu lebih mempengaruhi karya-karya No Man’s Land. Di masa-masa selanjutnya, ketika lagu-lagu No Man’s Land tercipta pasca munculnya kesadaran Didit Samodra untuk tidak membiarkan pendengar musik punk tenggelam ke dalam kesiasiaan hidup, yang kita lihat adalah usaha-usaha Didit untuk “bercerita tentang kebaikan dan kebijakan dari peristiwa-peristiwa yang saya alami, yang terjadi di sekitar” (hlm. 92).
Yang bisa disoroti di sini adalah bahwa semua itu diambil dari kebaikan dalam peristiwa keseharian di sekitarnya, yang bisa berupa tentang kisah orang yang hidupnya terjepit, orang yang mengalami penyakit, orang yang meninggalkan masa lalu yang kelam, seorang ASN yang menjadi tulang punggung keluarg. Kalau pun Didit menjelaskan bahwa dalam transformasi dirinya dia mengikuti pengajian-pengajian dan membaca buku-buku spiritual, yang hadir dalam karya-karyanya justru sudah dalam bentuk hasil penerjemahan ke dalam makna kehidupan yang tidak letterlijk.
Hal ini bisa kita lihat sebagai penggarapan sendiri filosofi hidup yang mendasar, yang akhirnya melatarbelakangi karya-karya Didit di masa-masa akhir No Man’s Land. Maka, ketika akhirnya Didit “gantung boot,” ketika dia tidak lagi ingin melanjutkan perjuangan-perjuangannya dengan musik, dia masih tetap bisa membanggakan lagu-lagu No Man’s Land dan memberi kita pembacanya lirik-lirik lengkap banyak lagu No Man’s Land lengkap dengan catatan yang memadai tentang kisah-kisah yang menginspirasi lahirnya lagu-lagu itu.
Untuk membawa kita kembali ke awal tulisan ini, terkait imaji yang kita dapatkan saat mendengar kata “punk,” di sini kita mendapatkan satu gambaran sendiri dengan konteks lokal, bagaimana istilah punk itu tidak sesederhana yang seringkali kita dapatkan. Punk bukan hanya soal anak-anak yang nongkrong di perempatan dengan gaya rambut lucu dan baju lusuh. Punk bukan hanya musik bertempo cepat dan selesai hanya dalam dua menit. Punk bukan hanya soal anti-kemapanan yang diartikan sebagai tidak mau diatur oleh orang tua, masyarakat, dan negara.
Punk juga bisa dimaknai sebagai etos diri yang mandiri dan tidak memandang keterbatasan sebagai halangan. Punk juga adalah kesadaran untuk terus menilai hal-hal yang ada di sekeliling dan tidak hanya ikut-ikutan saja. Punk, seperti Didit Samodra, bisa juga berupa kesadaran akan pentingnya spiritualitas sambil juga bertanggung jawab untuk membenahi keadaan yang tidak beres dengan semampu kita. Semuanya disertai oleh keyakinan yang kuat akan etos GD, Garap Dewe.
Untuk menutup tulisan ini, mari kita dengarkan dan lihat video klip lagu “True to Myself” berikt.

Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang.