Estetika Kiri: Hantu yang Tak Lagi Menakutkan

Saya menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme di masa kini, terletak pada kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik yang tajam, untuk membedah ketimpangan sosial selama ini, kecuali lewat tawaran-tawaran Marxian itu. Karenanya, menjadi wajar bila konsep-konsep Lukacs masih laku di “pasaran” sastra dewasa ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi terbentuknya sikap partisipatoris sastrawan dalam relasinya bersama dunia.

Iklan terakota

Antara Kritik dan Radikalisme: Kiri sebagai Refleksi

Ilustrasi (Sumber: tokobukuburuhmembaca.blogspot.co.id)

Menjadi “kiri”, kini, tak lagi seheroik dulu. Dalam dunia yang tergagap dengan sekian kemajuan teknologi yang menakjubkan, manusia seolah disihir untuk berebut secercah kebanggaan dari tangan mesin. Kenyataan bahwa kapitalisme digerakkan tenaga mesin, dengan sendirinya menohok jantung eksistensial umat manusia yang tak rela dirinya kehilangan jati-diri. Karena itu, rasionalitas teknologi yang disokong kapitalisme, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man, hanya menawarkan kebutuhan-kebutuhan palsu (false need), yang ironisnya digemari manusia modern.

Kritik Marcuse itu harus ditempatkan sebagaimana layaknya pemikir estetik kiri lainnya berbicara. Fungsi kritik yang dilontarkan penganut estetika kiri kini menemui signifikansinya, terutama untuk menggarap kritik sosial dan protes kekuasaan. Ambil misal, seseorang belum tentu berhasil bersikap subversif pada penguasa, kalau ia tidak pernah belajar realisme Bertolt Brecht, dan mencobanya di antara sekian kepungan realitas sosial yang sewenang-wenang. Lewat realisme, yang “kiri” ini, kesempatan untuk menyuarakan kepedihan sosial akan lebih terasa, sebab dari sinilah, proses pembelajaran dan penghayatan mendalam atas realitas menjadi bagian inheren dalam seni dan sastra. Dan, saya menjamin, selama kritik sosial itu berlangsung menurut konsep-konsep yang digariskan pemikir estetik kiri tadi—terutama Lukacs—seseorang tak perlu takut estetika kiri mengejawantah menjadi radikalisasi, yang ujung-ujungnya menyebabkan terjadinya fragmentasi kebudayaan, seperti pada kasus kontra-Manikebu di atas.

Berangkat dari kutipan Gorky, seperti diikuti Pram, saya punya kesimpulan bahwa interpretasi dan konteks sosial-politik seorang sastrawanlah yang berperan dalam radikalisasi kesenian. Dan, di Indonesia, Pram mungkin sosok penafsir realisme sosialis—kendati mengaku tak paham benar—yang terperosok dalam kekalutan suasana revolusi, dan ini justru membuatnya antipati terhadap kelompok seni lainnya yang tak sependapat. Dengan kata lain, dalam keadaan tertentu, seorang sastrawan berintegritas pun bukan tak mungkin gampang mengecap salah pihak lain, dan menganggap dirinya benar (truth claim)—dan karenanya menghilangkan arti sebuah kesantunan dan keberagaman. Dan, seandainya Pram mau sedikit bersabar memahami estetika kiri secara utuh dan menyeluruh, tentu ia tak akan terjebak dalam pandangan hitam-putih, yang akhirnya menyudutkan dia dalam stigma dan luka sejarah.

Di antara kritik sosial dan radikalisme praksis, dua fenomena yang identik dengan perjalanan estetika kiri di panggung sejarah, tersimpan kearifan: agar kita mau melihat estetika kiri sebagai wujud dari visi bahwa seni adalah pembebasan (the art of redemption), penyucian eksistensial manusia dari cekaman alienasi dan keterasingan. Dengan begitu, saya kira, kita telah mampu melangkahi tapakan sejarah yang pahit, dan membangun masa depan yang lebih obyektif. Fragmentasi mazhab-mazhab kebudayaan, dalam jangka waktu yang lama, seperti diakui Takdir Alisjahbana, harus tetap mengikutsertakan seni dan sastra dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan, rekonstruksi sosial, dan modernisasi masyarakat. Bandul ambiguitas yang melilit dunia kebudayaan kita dalam lima dasawarsa terakhir, memunculkan pertanyaan serius: benarkah “proyek” nasionalisme kebudayaan yang kita banggakan benar-benar menyentuh aspek kemanusiaan? Padahal, bukankah kemanusiaan (humanity)sebagai asas mendasar dalam kehidupan berbudaya, selama ini dipertaruhkan, diperebutkan, dan dikoyak oleh perpecahan yang terjadi pada masa-masa revolusi itu?

Saya berpendapat, bukan saatnya estetika kiri dikucilkan dari wacana publik luas. Apalagi, demokratisasi tengah menjalari kisi-kisi kehidupan sosial-politik, dan post-modernisme kini berancang-ancang untuk menuai harapan: di masa ini, rekonsiliasi dan pluralisme adalah upaya terakhir menyelamatkan muka estetika kiri dari stigmatisasi, dan sebaliknya, estetika “kanan”—yang mengklaim bahwa seni dan sastra lepas dari konstruk sosial—dari sikap apriori. Konvergensi dan titik-temu adalah solusi terakhir yang masih tersisa, setidaknya bagi kita, yang sehari-hari menikmati sastra tanpa reserve dan pergulatan. Dan sejarah masih tetap di sana, meski sarkasme politik tak lagi riuh.

*****

Keterangan: Pernah dimuat bersama; Linda Christanty, Gabriel Garcia Marquez, Budi P. Hatees, Helvy Tiana Rosa, Ari Setya Ardhi, Puthut EA, Eka Kurniawan, dan beberapa penulis lainnya, dalam “Ini Sirkus Senyum” (Yogyakarta: Komunitas Bumi Manusia, 2002). Dimuat ulang dengan tujuan penyebarluasan gagasan dan atas persetujuan penulis. Tulisan ini ditulis saat Muhammad Al-Fayyadl masih duduk di bangku kelas III Aliyah dan santri di Pondok Pesantren Annuqayah Madura. Pandangan Gus Fayyadl, begitu ia akrab disapa, mengenai Sastra dan Marxisme telah jauh bergeser dan berkembang.

*Penulis, Redaktur Islam Bergerak, Pegiat Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), dan editor “Jurnal Sosialis”

1 KOMENTAR