Estetika Kiri: Hantu yang Tak Lagi Menakutkan

Saya menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme di masa kini, terletak pada kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik yang tajam, untuk membedah ketimpangan sosial selama ini, kecuali lewat tawaran-tawaran Marxian itu. Karenanya, menjadi wajar bila konsep-konsep Lukacs masih laku di “pasaran” sastra dewasa ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi terbentuknya sikap partisipatoris sastrawan dalam relasinya bersama dunia.

Iklan terakota

Kiri: Mencari Oase Segar

Ilustrasi (Sumber: http://lsfcogito.org/)

Saya sempat membayangkan: bila tahun 1950-60-an adalah era pergulatan dan resistensi antara dua mazhab sastra, maka di era 1970-an ke belakang, resistensi itu surut, dan justru mengangkat sastrawan Manikebu ke puncak perkembangan sastra. Berbalik dengan itu, sastrawan kiri mengalami masa penantian yang pedih dan pahit—tapi mereka tabah. Bagi mereka, yang penting: larangan penguasa untuk berkarya tidak menghalangi inspirasi dalam melancarkan kritik dan counter-hegemony kekuasaan. Dan, bukankah kita tahu, kekuasaan, di era Orba, begitu kokoh mencengkeram sendi kehidupan, termasuk dengan diluncurkannya sistem ekonomi “pembangunan” (developmentalism) yang ambisius? Estetika kiri, dalam tiga dekade terakhir, memang tak ubahnya hantu yang mengganggu penguasa. Tapi, bukan berarti tanpa pesona. Di tahun 1980, novel Pram, Bumi Manusia, terbit—dan segera publik mengetahui bahwa pengarangnya bukan orang sembarang. Malah, seperti pengakuan Ignas Kleden, di Jerman orang dengan bangga berkata: “Pramoedya ist ein Begriff”—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian:konsepsi (Tempo, 10/5/1999).

Dan, seperti kita sadari, estetika kiri juga berawal dari sebuah spirit kritisisme pada kekuasaan. Jauh hari, sebelum Pram lahir, di tahun 1846, Marx menulis buku German Ideology, dan di sana ia dengan apik mempersoalkan fungsi seni dalam masyarakat yang digerogoti kapitalisme. Kehidupan kapitalistik telah menciptakan sebuah harapan dan pengandaian akan tergapainya modernisme, namun dengan latar belakang industrial yang megah. Tapi, masalahnya: kapitalisme juga berandil besar menjebak masyarakat borjuis dalam kenikmatan material, yang menjauhkan mereka dari aktivitas estetik, yaitu merenung dan menghayati karya seni secara par excellence. Estetika justru dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan produksi dan pabrik: dan di sanalah seni dibeli. Marx lalu menyimpulkan: estetik yang lahir dari rahim kapitalisme, sarat dengan kepalsuan yang ditutup-tutupi, namun tak pernah meyakinkan.

Konsep itu kemudian dipakai Marx untuk mengungkap tendensi-tendensi karya sastra. Marx sempat menganilisis novel Eugene Sue, Les Mysteres de Paris, yang disebutnya merepresentasikan motivasi prasangka ideologis kaum borjuis. Dan dia lalu berharap, seandainya dekonstruksi ini bisa terus dilakukan, bukan tak mustahil masyarakat utopis yang diidamkan terwujud: yang menikmati seni sebagai basis membangun kesadaran kritis dan mengukuhkan estetika yang membawa manusia ke dalam labirin eksistensial dan penemuan hakikat kedirian.

Kritik seni Marxian mungkin bisa diukur dari sejauh mana konsepsi Marx mempengaruhi pemikir sesudahnya. Epistemologi yang dibangun Marx, bahwa seni (dan sastra) mesti
sejalan dengan struktur dan realitas sosial, merupakan benih awal tumbuhnya aliran realisme sastra dalam psikologi Marxisme. Itu yang lalu ditunjukkan dengan kehadiran Lukacs. Dalam bukunya yang bersejarah, History and Class Consciousness (1919-22), Lukacs, dengan lantang, mempromosikan perlunya kesadaran massif dalam membangun sejarah dan seni. Perlu menggalang aksi-aksi kolektif yang mengarah pada pemahaman aktual realitas sosial, dan melihatnya dalam konteks perjuangan melawan kapitalisme.
Bagi Lukacs, hal ini harus disikapi sebagai komitmen membongkar fetisisme estetik yang menumpulkan semangat kritis dalam seni dan sastra. Lewat realisme, sastra diajak
memasuki ruang hingar-bingar pabrik dan, demikian pula, realitas sosial yang pahit. Ia harus merefleksi. Di sini, estetika berfungsi dalam dua area: mental-kognitif dan sosialreaktif. Dari kedua pola fungsi ini, estetika kiri mengalami pencapaiannya justru pada wilayah mental-kognitif. Sebab, inilah yang kelak meretas jalan menuju wacana kritik kapitalisme dan peneguhan humanisasi dari serbuan komoditas yang materialistik.

Saya menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme di masa kini, terletak pada kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik yang tajam, untuk membedah ketimpangan sosial selama ini, kecuali lewat tawaran-tawaran Marxian itu. Karenanya, menjadi wajar bila konsep-konsep Lukacs masih laku di “pasaran” sastra dewasa ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi terbentuknya sikap partisipatoris sastrawan dalam relasinya bersama dunia. Ia ikut merasa bahwa sastra bukanlah “menara gading” yang sepi dari realitas sosial—karena perubahan dan transformasi sosial adalah nuansa yang juga melibatkan sastra.

Kalau ini dipahami betul, kita tak akan pernah khawatir estetika kiri terjatuh dalam radikalisme. Mengapa? Alasan utamanya: bahwa radikalisme estetika kiri sebenarnya dipicu oleh praktik dan interpretasi berlebihan terhadap konsep seni Marxian. Artinya, selama masih konseptual, estetika kiri tak berpretensi pada sikap radikal—alih-alih mendorong kita untuk selalu kritis menghadapi kekuasaan dan dominasi. Lebih-lebih, di zaman sekarang.

Dan, tak ada yang perlu ditakutkan atas estetika kiri. Memang, kita menyadari, mewujudkan “kiri” dalam artian sesungguhnya, adalah barang langka, setelah ambruknya komunisme di Soviet dan kemunculan “Kiri-Baru” (New Left), yang agak persis dengan gagasan “Post Marxism”. Sejumlah pemikir pasca-Lukacs, yang hidup dua puluh tahun kemudian—Theodor W Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin—harus diakui, membawa estetika kiri ke arah yang tak terduga: pembebasan seni dari konformisme dunia industri. Kendati Adorno dan Benjamin tak sepakat untuk mempertahankan seni dari politik, toh keduanya cukup realistis: melihat industrialisme sebagai realitas tak terpungkiri.

Namun, dari sana, kita pun tetap disuguhi kritik bahwa kapitalisme, bahkan dalam bentuk paling demokratis (ingat teori Novak tentang democratic capitalism), tak pernah sejalan dengan substansi seni-sastra sebagai estetika otonom yang menolak komodifikasi. Itu artinya, kapitalisme cuma mereduksi dan membunuh kreativitas seniman untuk menyalurkan hasratnya menurut pertimbangan akal sehat—dan bukannya semata pemenuhan materi. Karena itu, watak kapitalistik bakal terus menguasai dunia, kalau kita membiarkan seni-sastra terjerat dalam sirkulasi pasar, tempat pelbagai libido ekonomi menanamkan investasinya. Kritik “Neo-Kiri”—juga Derrida dan Habermas—berada
dalam kerangka ini.

1 KOMENTAR