
Epos: Cerita Berstruktur Rapi
Terakota.id–Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), epos atau wiracarita adalah sejenis karya sastra tradisional yang menceritakan kisah kepahlawanan. Epos biasanya mengambil rupa syair. Contoh epos yang mungkin kita kenal meliputi Ramayana, Mahabharata, Odysseus, La Galigo, dan Hikayat Hang Tuah.
Epos ditemukan di hampir semua budaya dan peradaban. Hal tersebut bisa jadi merupakan indikasi awal bahwa epos adalah satu bagian penting atau malah salah satu sokoguru bagi berdiri serta bertahannya setiap budaya dan peradaban di muka bumi ini. Dapat dikatakan bahwa budaya dan peradaban membutuhkan lebih dari sekadar pencapaian yang tangible dan terukur untuk menopang eksistensinya.
Bahkan pertumbuhan ekonomi dan kekuatan politik belaka tidak memadai. Dibutuhkan pula mitos bersama yang dapat mengikat suatu komunitas dari dalam. Epos, yang berisi kisah kepahlawanan yang mewakili nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh komunitas dengan kebenaran dan kepahlawanan pada akhirnya menang atas kebatilan dan kenajisan, memenuhi fungsi mitos tersebut.
Epos berbeda-beda di setiap budaya dan peradaban, baik dalam hal tokoh atau pahlawan dan penjahatnya maupun dalam cara penarasiannya. Demikianlah, tokoh-tokoh Ramayana berbeda dari Odysseus atau Babat Tanah Jawa, La Galigo berbeda dari Mahabharata, dan seterusnya. Demikian pula, cara penarasiannya.
Secara khusus, terkait perbedaan dalam cara penarasian, di dalam pemaparannya mengenai stilistika dan naratologi, Paul SImpsons (2004) membedakan antara plot naratif dan wacana naratif. Istilah plot secara umum dipahami sebagai garis atau lini cerita yang abstrak dari suatu narasi. Dengan kata lain, plot adalah sekuens dari berbagai elemen cerita, urut-urutan peristiwa secara kronologis yang membangun ‘inti terdalam’ dari suatu narasi.
Wacana naratif, sebaliknya, meliputi cara atau bagaimana plot tersebut dinarasikan. Wacana naratif, sebagai misal, seringkali dicirikan oleh penggunaan berbagai perangkat stilistika seperti flashback, previsi, dan repetisi—yang kesemuanya dimaksudkan untuk mendisrupsi kronologi dasar dari plot naratif. Dengan demikian, wacana naratif merepresentasikan teks dalam kenyataan, tulisan atau produk yang dihasilkan oleh seorang penulis dalam suatu konteks interaktif yang terberi.
Dalam hal wacana naratif atau cara penarasian, seperti sudah disinggung di atas, setiap epos dapat berbeda-beda dan bahkan epos yang sama dapat dikreasi dan dire-kreasi secara berbeda pula oleh pengarang yang berbeda atau wahana yang berbeda. Semuanya itu dimungkinkan demi alasan estetis.
Tetapi, dalam plot naratifnya, epos-epos tersebut memiliki kesamaan struktur-dalam (deep-structure) yang dapat dianalisis. Struktur-dalam inilah yang menarik para pemikir strukturalis. Karena objek kajian utama mereka adalah bahasa dan bagaimana bahasa digunakan, kaum strukturalis percaya bahwa di balik segala keragamannya, terdapat struktur yang mengatur (govern) narasi-narasi.
Salah seorang pemikir strukturalis yang terobsesi dengan usaha menemukan struktur-dalam di berbagai epos, legenda, dongeng (atau pendeknya cerita rakyat, folklore) adalah Vladimir Propp (1895-1970). Strukturalis berkebangsaan Rusia ini memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai fungsi naratif Propp yang terdiri dari 31 fungsi.
Dengan menganalisis banyak cerita rakyat yang tersedia di tanah airnya, Propp menemukan bahwa terlepas dari keberagaman tokoh serta wacana naratifnya, cerita-cerita rakyat tersebut sejatinya dibangun dengan mengikuti struktur (dalam artian yang luas, plot) yang sudah cukup pasti dan sama. Epos, misalnya, dimulai dengan fungsi absentasi, yaitu menghilangnya seseorang atau sesuatu yang penting dari komunitas dan mengguncang kestabilan komunitas.
Dalam perjalanannya, sang pahlawan akan diutus atau mendedikasikan dirinya untuk menyelamatkan yang hilang tersebut. Dia akan menghadapi berbagai gangguan dan halangan, tetapi juga akan bertemu dengan tokoh-tokoh lain yang membantunya. Demikian seterusnya, sampai si pahlawan mampu mengatasi segala kesulitan dan menemukan kembali yang hilang, memulihkan kestabilan komunitas, dan bahkan bertemu dengan belahan jiwanya.
Plot naratif atau struktur-dalam ini menghasilkan, salah satunya, keterprediksian cerita. Sebagai pembaca atau penonton, kita masuk ke dalam cerita dengan keyakinan yang tebal bahwa si pahlawan akan menang, bahwa kebaikan dan kebenaran akan berjaya, bahwa yang jahat akan mendapat hukuman, dan bahwa kebatilan akan ditaklukkan. Dengan begitu, kita yakin, juga ketika tokoh utama mengalami beragam kesulitan, tantangan dan bahkan jalan yang terlihat buntu, dia akan menemukan jalan keluar dan pada akhir cerita menemukan ending yang membahagiakan.
Dengan plot naratif semacam itu, epos menarik bagi manusia dan khususnya kemudian juga bagi para produser film Holywood, misalnya. Film seri Avenger dan pahlawan super lain mengadopsi plot epos ini, dengan akhir yang kurang-lebih bisa ditebak, di mana pahlawan tampil sebagai pemenang jaya.
Novel: Semuanya Serba Mungkin
Jika cerita rakyat, termasuk di dalamnya epos, memiliki struktur-dalam yang lumayan ketat dan rapi, dengan logika dan kausalitas yang tampak nyata atau evident, novel sebagai bentuk atau form karya sastra prosais yang baru atau lahir lebih kemudian, seperti tersirat dalam nama ‘novel’ yang berarti baru, tampaknya membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan lain. Novel adalah karya sastra prosa bentuk bebas, yang lahir dari rahim rasionalisme dan modernitas. Dalam alam pikir dan dunia historis yang sedemikian, novel tidak lagi tunduk pada prinsip dan kepentingan tradisionalisme, feodalisme, atau religiositas tertentu.
Jika di dalam epos atau bentuk cerita rakyat dari masa sebelumnya, plot naratif—terlepas dari wacana naratifnya yang berbeda-beda—selalu sama, terstruktur baik, logis dengan kausalitas yang transparan, dalam novel hal tersebut bisa dipertahankan, tetapi juga bisa tidak. Suatu kejadian atau peristiwa di dalam narasi novel dapat secara logis menyebabkan terjadinya kejadian atau even lain, tetapi bisa juga hal tersebut tidak terjadi. Ada banyak novel yang plotnya tegas dan jelas, dengan struktur yang dapat ditelusuri dengan mudah, tetapi banyak pula novel yang plotnya berlapis-lapis, kadang tidak logis dan mendisrupsi cara pikir konvensional kita.
Ada novel yang setia pada cara penarasian yang lurus, tetapi banyak juga novel yang sangat abstrak dan sulit dipahami dengan cara pikir lateral. Ada novel yang istiqomah pada “hukum karma”, tetapi tidak sedikit novel yang mempersetankan hukum tersebut. Membaca novel-novel Gabriel Garcia Marquez, George Orwel, Adolf Huxley, Franz Kafka, Haruki Murakami, Eka Kurniawan, Ayu Utami, Budi Darma adalah seperti menyusuri kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak akan dapat dibaca dan dinikmati dari epos atau cerita rakyat lawasan.
Tokoh-tokoh dalam novel juga tidak harus dari kalangan atas atau pahlawan heroik lain. Banyak novel yang dalam semangat demokratisnya mengangkat tokoh-tokoh dari kalangan kebanyakan. Mochtar Lubis, Pramoedya A. Toer, Sindhunata adalah beberapa contoh novelis Indonesia yang gemar mengangkat kisah dari kalangan kebanyakan atau bahkan kaum terpinggirkan. Tentu saja, kita bisa mencurigai ada agenda di balik ini, tetapi itu adalah topik yang lain.
Kiranya benarlah bahwa novel, sebagaimana diyakini oleh Georg Lukacs, merupakan bentuk karya sastra baru yang tidak terlalu peduli pada struktur dan bentuk. Dalam hal hubungan sebab-akibat yang menjelaskan kaitan antarperistiwa dalam plot, keterkaitan logisnya longgar pun tidak senantiasa kentara.
Dalam pengertian tertentu, novel lebih akurat dalam merepresentasikan realitas kehidupan manusia modern. Mayoritas terbesar manusia bukanlah anggota kelas atas, atau memiliki kuasa yang mampu membalikkan nasib dan peruntungan dengan sekali tepuk. Ada banyak hal dalam kehidupan ini yang rangkaian peristiwanya terjadi secara tidak logis atau mengikuti hukum sebab-akibat secara murni dan konsekuen. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksi dengan tepat, juga hal-hal yang sebelumnya diyakini sebagai kebenaran.
Di sisi lain, novel bisa dikatakan buruk sebagai karya yang memberi inspirasi dan pengajaran. Novel terlalu asyik memotret dan mengisahkan realitas alih-alih mencoba memberi tahu kita bahwa ada suatu struktur dalam yang entah disukai atau tidak ada dan bermain.

Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.
Terima kasih penjelasnnya sangat membantu, antara epos dan novel
Terima kasih pak penjelasnnya sangat membantu, antara epos dan novel.