Sejumlah warga menonton film penumpasan pengkhianatan G30S/PKI di markas Kodim 1304 Gorontalo, Gorontalo (20/9/2017). Hingga kini, pemutaran film ini tak ada izin dari PFN sebagai pemegang hak cipta film ini. | (Foto : Antara Foto)
Iklan terakota

Terakota.idSelama 14 tahun pada akhir masa kekuasaan Presiden Soeharto, mulai 1984 – 1997 film  Pengkhianatan G30S/PKI wajib diputar pada 30 September. Pemutaran dilakukan melalui layar kaca televisi nasional, maupun nonton bareng layar tancap di lapangan terbuka.

Film tragedi 1965 ini diproduksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) berdasarkan versi pemerintah Orde Baru. Dikerjakan oleh sutradara Arifin C. Noer dan penulis skenario, sejarawan Nugroho Notosusanto. Film menjadi alat propaganda Orde Baru, mengisahkan kebrutalan PKI dan kepahlawanan Soeharto.

Film ini melengkapi tafsir tunggal Orde Baru yang menunjuk PKI sebagai dalang peristiwa 1965. Menjadi legitimasi atas pembunuhan massal terhadap setengah juta, satu juta orang atau lebih , Mereka dibunuh dituduh menjadi anggota maupun simpatisan PKI tanpa proses peradilan.

Menjadi film horor bagi anak keturunan orang-orang yang dituduh terlibat PKI. Mereka mendapat perlakuan diskriminasi. Beruntung, kewajiban memutar film setiap tahun dihapus Menteri Penerangan Letnan Jenderal Yunus Yosfiah pada 1998. Tepat empat bulan setelah Soeharto turun karena gelombang aksi reformasi.

Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir seruan memutar ulang film Pengkhianatan G30S/PKI itu kembali bergema. Pada 2017 lalu bahkan sebuah televisi nasional memutar ulang film tersebut. Sementara, film lain yang mengisahkan tragedi 1965 dengan sudut pandang berbeda dengan versi Orde Baru dilarang diputar.

Direktur Amnesti Internasional Indonesia, Usman Hamid menyebut tak ada masalah jika film G30S versi Orde Baru diputar ulang kembali di televisi maupun layar lebar. Tapi, film-film lain yang memiliki versi berbeda juga harus dibiarkan diputar dengan bebas di Indonesia.

“Lebih baik juga ditambahkan film versi lain tentang peristiwa G30S itu. Jangan melarang orang mendapat alternatif pengetahuan melalui buku dan film,” ujar Usman Hamid.

Selain penuh kontroversi karena dianggap tak sesuai fakta sejarah, oleh para kritikus film ini juga dinilai tak berkualitas. Itu merujuk pada situs penyedia informasi film seperti Internet Movie Database (IMDb) dan Rotten Tomatoes. Film Pengkhianatan G30S/PKI mendapat skor 6,2 di IMDb. Terburuk  dibanding beberapa film lainnya yang mengangkat tema 1965.

Ironisnya, beberapa film yang mendapat rating tinggi dari kritikus film, malah masuk kategori larang tayang di Indonsia. Berikut beberapa film yang bisa menambah pengetahuan dan perspektif kita dalam melihat tragedi 1965 itu.

Puisi Tak Terkuburkan

Puisi Tak Terkuburkan (The Poet) digarap Garin Nugrogo pada 1999. Film ini menjadi pernyataan politik sineas Indonesia terhadap peristiwa 1965. Mempertanyakan persepsi tunggal penguasa yang terus menutupi tragedi kemanusiaan tersebut.

Film ini mengisahkan Ibrahim Kadir, seorang ceh atau seniman tradisi lisan didong di Takengon, Aceh Utara. Seorang korban ‘operasi pembersihan G30S/PKI’ oleh militer. Ia ditangkap saat sedang mengajar lagu Indonesia Raya di sebuah sekolah dasar. Setelah 22 hari dipenjara, ia dibebaskan dengan dalih ada kesalahan.

Selama mendekam di penjara, Ibrahim Kadir menjadi saksi nasib tak menentu para tahanan lainnya menanti keadilan. Selama di tahanan itu pula, ia menyaksikan satu per satu tahanan dieksekusi karena tuduhan terlibat PKI. Film berlatar di dalam penjara ini selain menampilkan tahanan lainnya, juga memunculkan seorang sipir penjara sebagai simbol negara.

Film berdurasi 86 menit ini meraih banyak penghargaan internasional. Mendapat penghargaan Silver Leopard Video di Festival Film Internasional Locarno dan nominasi Silver Screen Award pada Singapore International Film Festival pada tahun 2000.

Poster puisi tak terkuburkan. (Foto :cinemapoetica.com)

Busan International Film Festival dan Busan Cinema Center pada 2015 silam menetapkan film Puisi Tak Terkuburkan dalam daftar 100 Film Asia Terbaik Sepanjang Masa. Film ini mendapat rating 7,8 di IMDb.

The Year of Living Dangerously

Film The Year of Living Dangerously menggambarkan tragedi 1965 dalam perspektif dunia barat terhadap pemerintahan Soekarno. Berkisah tentang situasi politik masa itu, kecurigaan barat terhadap orientasi politik Indonesia di masa perang dingin.

Aktor kawakan Mel Gibson memerankan Guy Hamilton, seorang jurnalis Australia yang ditugaskan di Indonesia di detik – detik kejatuhan Soekarno. Hamilton dianggap representasi dari jurnalis barat yang menaruh perhatian besar terhadap situasi politik Indonesia saat itu.

Tugas utamanya, menggali informasi dari tiga faksi besar saat itu yakni pemerintahan Soekarno, PKI dan militer. Kendati Indonesia menganut paham politik bebas aktif di tengah perang dingin blok Sekutu – Soviet, Amerika Serikat tetap mencurigai Indonesia condong ke Cina.

Film ini berpuncak pada perebutan kekuasaan dengan ditandai tragedi 1965. Versi film The Year of Living Dangerously, aktor utama Gerakan 30 September 1965 adalah pemerintahan Soekarno, PKI dan pemerintahan Cina.

Meski berkisah peristiwa 1965, pembuatan film berdurasi 115 menit ini berlokasi di Australia dan Philipina. Film digarap Peter Weir, dirilis 1982 dan ditaksir menghabiskan ongkos produksi 6 juta dolar Amerika Serikat. Linda Hunt, pemeran pendukung di film ini mendapat Academy Award kategori pemeran pendukung terbaik.

The Year of Living Dangerously tak bisa masuk ke Indonesia selama Orde Baru berkuasa. Baru bisa dinikmati penyuka film pada 1999, paska tumbangnya orde baru. Di situs IMDb, film mendapat rating 7,2. Sedangkan kritikus di situs Rotten Tomatoes memberikan rating rata – rata 7.8.

Shadow Play

Shadow Play : Indonesia’s Year of Living Dangerously, sebuah film dokumenter yang memaparkan peristiwa 1965 dengan cukup komprehensif. Ini adalah salah satu film yang layak ditonton, menawarkan perspektif berbeda dibanding film versi pemerintah.

Chris Hilton, menggarap film Shadow Play dengan bantuan sastrawan Indonesia yang pernah jadi tahanan politik, Pramoedya Ananta Toer. Dibantu pula oleh Linda Hunt, aktris Amerika Serikat yang pernah bermain di film The Year of Living Dangerously bersama Mel Gibson.

Shadow Play menggambarkan perang dingin Blok Soviet dan Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) memengaruhi situasi politik di Indonesia. Meski menerapkan gerakan non blok, AS tetap mencurigai Indonesia condong ke Cina dan Uni Soviet.

Shadow Play (capture youtube)

CIA (dinas intelejen AS) diduga ada di balik sejumlah gerakan pemberontakan di Indonesia. Termasuk operasi rahasia penggulingan Soekarno yang menyebabkan jutaan orang dibunuh karena dituduh PKI tanpa proses peradilan.

Film ini menggunakan metode wawancara dengan para tahanan politik dan korban tewas yang dituduh PKI dan dipenjara tanpa proses peradilan. Sejumlah jurnalis asing peliput peristiwa 1965 juga mengakui hasil reportase mereka dimanipulasi oleh dapur redaksi. Menjadi berita yang menonjolkan kesadisan PKI, sesuatu yang tak pernah mereka temukan selama di lapangan.

Ahli patologi forensic, dr. Arif Budianto, salah seorang dokter yang memeriksa jasad para jenderal di Lubang Buaya turut diwawancari. Ia menyatakan hasil visum forensic yang dilakukannya dengan yang diumumkan oleh Soeharto jauh sangat berbeda.

Hasil deklasifikasi dokumen pemerintah AS turut disajikan. Edward Masters, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada 1964-1968 serta Hugh Tovar, Kepala Kantor CIA di Indonesia pada periode 1964-1966 juga muncul dalam film Shadow Play ini.

Narasi film berdurasi 80 menit ini cukup obyektif, sangat jauh berbeda dibanding film produksi orde baru. Film ini dirilis pada 2003 di Singapura. Di situs IMDb, film Shadow Play : Indonesia’s Year of Living Dangerously mendapat rating 7,7.

40 Years of Silence : An Indonesian Tragedy

Film 40 Years of Silence : An Indonesian Tragedy digarap oleh Robert Lemelson, seorang antropolog lulusan Universitas California. Film dokumenter ini menarasikan dampak dari tragedi 1965, meski peristiwa itu sudah puluhan tahun silam terjadi.

Film dokumenter ini diramu antara rekaman arsip, foto, wawancara dan kesaksian para korban dan pelaku pembunuhan massal 1965. Mengungkap efek jangka panjang para korban dan anak-anak mereka yang masih menjadi sasaran dan diskriminasi oleh negara dan komunitas masyarakat.

Mengangkat tragedi itu dari empat sudut pandang keluarga berbeda yang tinggal di Jawa dan Bali. Bagaimana stigmatisasi dan intimidasi diterima keluarga eks tahanan politik 1965. Meski di antara mereka lahir jauh sesudah peristiwa berdarah itu terjadi. Dipersulit hak sosial dan ekonominya karena stigma PKI dengan pemberian tanda tertentu pada kartu kependudukan mereka.

40 Years of Silence An Indonesian Tragedy (IMDb)

Robert Lemelson dalam film 40 Years of Silence : An Indonesian Tragedy ini mengambil empat tokoh yakni Budi (anak tapol di Jawa), Degung Santikarma (anak tapol di Bali), Nyoman Kereta (saksi pembunuhan massal di Bali) dan Lanny (saksi pembunuhan massal di Jawa). Tiga sejarawan yakni, Romo Baskara Wardaya, Geoffrey Robinson, John Roosa juga hadir dalam film ini.

Robert mengerjakan film dokumenter ini dalam kurun 2002 – 2006. Film berdurasi 86 menit ini dirilis pada 2009, diputar perdana di bioskop West End Cinema di Washington DC. Situs IMDb memberi rating 8,2. Menjadikan film ini salah satu alternatif dalam memahami tragedi 1965, sebagai sebuah sejarah duni yang perlu terus diingat, didiskusikan dan tak boleh dilupakan.

The Act of Killing (Jagal)

The Act of Killing atau Jagal, sebuah film dokumenter tentang pembunuhan massal terhadap orang – orang yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI. Sebuah film yang cukup menggebrak, menghasilkan perdebatan di dunia dokumenter. Namun yang pasti, film ini mengangkat kembali isu kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia ke dunia global.

Film garapan Joshua Oppenheimer ini mereka ulang kisah pembantaian massal pada 1965. Anwar Congo, bekas preman di Medan jadi pemeran utama dalam film ini. Ia menceritakan bagaimana memimpin anak buahnya membunuh tertuduh anggota PKI. Termasuk bagaimana mereka mendapat senjata untuk mengeksekusi, layaknya jagal.

 

Lokasi pembuatan film ini sebagian besar di Medan, Sumatra Utara, selama tahun 2005-2011. Diputar perdana di Toronto International Film Festival pada September 2012. Film ini mendapat apresiasi positif daru dunia internasional. Film berdurasi 117 menit ini di situs IMDb mendapat rating 8,2, sedangkan Rotten Tomatoes memberi nilai 8,7.

Film ini meraih berbagai penghargaan internasional, bahkan masuk nominasi Oscar kategori dokumenter pada 2014. Sayangnya, film ini layaknya sebuah tontonan terlarang lantaran tak bisa diputar dengan bebas di Indonesia. Berkali – kali rencana nonton bareng film ini dibubarkan oleh sekelompok organisasi masyarakat, sampai tak mendapat izin dari aparat.

The Look of Silence

Joshua Oppenheimer kembali menyuguhkan kisah tragedi 1965 dalam bentuk sebuah film dokumenter. The Look of Silence atau ‘Senyap’ mengisahkan para penyintas dan keluarga mereka. Bertemu dengan para pelaku pembantaian. Sebuah upaya rekonsiliasi melalui media film.

Film disajikan dengan sangat berbeda dibanding film sebelumnya, The Act of Killing atau ‘Jagal’. Jika Jagal memunculkan kebanggaan para pelaku pembantaian tertuduh PKI. Senyap dihadirkan dengan cara bertutur tanya dari keluarga korban ke pelaku pembantaian.

Adi, tukang kacamata keliling. Adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965 di sebuah desa kecil di Sumatera Utara. Karena itu, Adi diberi label ‘orang tidak bersih’ oleh pemerintah meski lahir pasca peristiwa berdarah tersebut. Adi bertemu dengan Inong, salah satu tokoh yang terlibat pembantaian keluarganya.

Adi juga menemui pamannya yang saat peristiwa 1965 itu jadi penjaga para tahanan yang dituduh anggota PKI. Ramli, kakak Adi, termasuk salah satu tahanan itu. Beban psikologis sang paman lantaran tak mampu menyelamatkan keponakannya, lantaran takut dituduh bagian dari PKI jika tak mau menjaga para tahanan tersebut.

 

Film The Look of Silence atau `Senyap` ini memenangkan Venice Film Festival pada 2014 untuk kategori Grand Jury Prize. Serta beberapa penghargaan internasional lainnya. Masuk pula dalam nominasi penghargaan Oscar pada 2016 kategori dokumenter. Film berdurasi 103 menit ini mendapat rating 8.3 di situs IMDb dan 8.7 di situs Rotten Tomatoes.

Diapresiasi di luar negeri, tapi dicaci di dalam negeri. Film Senyap juga bernasib sama dengan Jagal, dilarang beredar di Indonesia. Melalui beberapa film ini, kita bisa belajar tentang sejarah 1965 dari berbagai sudut pandang berbeda. Kondisi sosial politik yang membentuknya serta dampak lintas generasi meski peristiwa terjadi puluhan tahun silam.(Dari berbagai sumber)