Emes Minggat Tour, Romantisme Ibu dan Anak

Endro Trilaksono. musisi asal Nganjuk, yang kini berkarya di Malang menghelat tur bertajuk Emes Minggat Tour. (Terakota/Aris Syaiful Anwar).
Iklan terakota

Terakota.id–Saksofon mengalun syahdu dari sebuah warung kopi, di sudut perempatan Tertek, Kecamatan Tulungagung, Kabupaten Tulungagung, Minggu malam 24 Maret 2019. Puluhan anak muda duduk santai sembari menikmati musik alunan nada menggema dari saksofon yang dibawakan Endro Trilaksono.

Endro musisi asal Nganjuk, kini berkarya di Malang. Endro menghelat tur bertajuk Emes Minggat Tour. Tulungagung menjadi kota ke empat, setelah Bontang, Balikpapan dan Kediri. Endro membawakan empat lagu, Madre, Umama, Makuahine, Majka. ”Lagu pertama saya berjudul Madre. yang artinya ibu,” kata Endro menyapa penonton.

Madre yang dibawakan Endro secara instrumental, juga ketiga lagu lainnya. Judul keempat memiliki arti ibu dalam empat bahasa. Lagu instrumentalia disajikan dalam mini album Emes yang diluncurkan 12 Januari 2019. “Saya pilih nama Emes, panggilan untuk ibu,” kata Endro usai tampil di Limang Kopi.

Tanggal peluncuran album Emes memiliki makna mendalam bagi pria kelahiran 23 Februari 1993. Yakni hari lahir sang ibu. Mini album dicetak sebanyak 102 keping cakram padat. ”Angka itu, juga menggambarkan hari lahirnya ibu,” kata Endro yang menyiapkan mini album selama setahun.

Album Emes, katanya, mempresentasikan hubungan ibu dan anak. Emes merupakan panggilan anak muda di Jawa Timur kepada ibunya. Budaya lokal yang dipakai Endro dalam berkarya. ”Ada sisi romantisme ibu dengan anak dalam karya saya,” kata Endro.

Empat lagu instrumentalia mengisahkan perjalanan hidup mulai lahir hingga mati.Sebelum membawakan lagu Majka, Endro menyampaikan kepada penonton jika bahwa Majka tentang perpisahan ibu dan anak karena maut. Suara saksofon terdengar mendayu-dayu dan mencekam. Para penonton pun bertepuk tangan dan Endro berucap terima kasih mengakhiri penampilan malam itu.

Endro tak tampil sendirian, namun ditemani mini band terdiri dari bassis dan gitaris. Dalam berkarya, Endro tak melulu menonjolkan suara saksofon, ada harmoni. Mengawinkan saksofon dengan alunan gitar akustik. ”Sebenarnya konsep yang saya usung full band, tapi kali ini mini band,” ujar pria yang juga alumni Universitas Negeri Malang (UM).  

Hanya lagu Majka, satu-satunya lagu yang sudah dilengkapi video klip. Video diunggah di Youtube pada 15 November 2018 lalu. Video klip diproduksi sendiri, bertindak sebagai sutradara, Dibuat dengan waktu singkat dan biaya murah. Biaya produksi video klip dibantu Kementerian Budaya Urban (@kemenbudur). Sebuah inisiatif anak muda menggerakkan lokomotif kreatif.

Kemenbudur membiayai produksi video klip setelah memenangkan kompetisi konsep video klip yang tertajuk “Be The Makers”. Endro memiliki kepedulian terhadap anak panti asuhan. Dibuktikan dengan menyumbangkan hasil penjualan mini album ke sebuah panti asuhan. ”Seiklasnya saja, hasilnya disumbangkan ke panti asuhan di Malang,” jelas  Endro yang menyebut dirinya sebagai saksofonis amatiran ini. Biaya pembuatan video klip tak mahal, sehingga tidak mencari untung.

Belajar Saksofon Otodidak

Endro belajar saksofon usai lulus kuliah, pertengahan 2016. Sebelumnya telah mencoba beragam alat musik mulai piano, dan gita. Pilihannya jatuh ke alat musik tiup, saksofon. Mulanya belajar otodidak dengan menonton Youtube. ”Saya melihat video musisi Indonesia, Bayu Isman. kalau musisi luar negeri, seperti Justin Ward,” kata Endro.

Endro belajar saksofon usai lulus kuliah, pertengahan 2016. Sebelumnya telah mencoba beragam alat musik mulai piano, dan gita. Pilihannya jatuh ke alat musik tiup, saksofon. (Terakota/Aris Syaiful Anwar).

Selanjutnya, Endro bertemu musisi, Deny Mahendra. Pria berusia 26 tahun ini kian bersemangat lantaran bisa menambal ilmu dan teori musik. Karir bermusik Endro dimulai mengikuti band lokal Malang, RGBSKA. Di tengah bermain band, ia mencoba peruntungan mengikuti kompetisi Toyota Berani Coba 2017.

Endro terpilih menjadi juara yang menjadi ajang untuk mengantarkan generasi milenial meraih pekerjaan sesuai passion. Endro ikut dengan bakatnya memainkan saksofon. ”Dari kompetisi Toyota, saya menjadi lebih percaya diri berkarir di bidag musik. Konkretnya bikin mini album” kata Endro.

Orang tua Endro, awalnya tak setuju menjadi musisi. Bapak dan ibu, katanya, menginginkan anaknya bekerja yang jelas, seperti pegawai kantor. Namun Endro berupaya membuktikan dengan membuat mini album  Emes. ”Saya tunjukan ke ibu kalau bisa berkarya sendiri. Ibu hanya diam saja,” kata Endro menerangkan.

Mengenai proses kreatif membuat lagu, Endro membuat notasi lagu di pedesaan. Tepatnya di Sanggar Seni di Campurdarat, Tulungagung. ”Lingkungan pedesaan bisa muncul ide-ide membuat lagu,” ujarnya.

Namun, Endro lebih menyukai berkarya di Malang. Berkumpul dan berdiskusi dengan musisi berbagai genre, seperti rock, hardcore dan lainnya. Salah satu band indie Malang, Monohero, menjadi salah satu inspirasi Endro untuk terus berkarya.

”Mas Wafy, Monohero banyak memberikan masukan. Monohero sendiri mengusung musik yang unik, saya kian percaya diri dengan gaya saya sendiri,” jelasnya.

Berbicara genre bermusik, Endro mengatakan karyanya condong rock, Namun tidak mengerti masuk genre rock mana. Genre rock beragam, seperti rock alternatif, rock progresif, hard rock, heavy metal. ”Saya nggak tahu masuk genre rock yang mana,” jelas Endro.

Endro bakal melanjutkan tur musik. Terus berkarya dengan tema yang sama. Ia tidak memilih tema kritik sosial atau keresahan terhadap kondisi terkini, namun lebih suka membanggakan hubungan anak dan orang tuanya.