Suasana Kenduri Literasi yang diselenggarakan untuk solidaritas petani Kendeng. (Terakota.id/Muntaha Masyur)
Iklan terakota

Terakota.id-Gelombang solidaritas terhadap petani Kendeng terus berdatangan dari beragama komunitas. Salah satunya Komunitas Pelangi Sastra, yang juga bergabung dalam Aliansi Malang Peduli Kendeng menggelar panggung literasi ‘Ekopuitika’ di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang Kamis malam 30 Maret 2017. Meliputi orasi budaya, musik, pembacaan puisi menjadi rangkaian acara yang berlangsung sejak sore sampai malam hari.

“Ekopuitika ini berangkat dari dua kata, ekologi dan puitika. Pikiran-pikiran yang terkait lingkungan menjadi warna acara ini. Sekaligus sebagai bentuk solidaritas bagi petani kendeng dan perjuangan rakyat lainnya,” jelas penyelenggara acara, Denny Mizhar.

Menurutnya, relasi alam dan manusia yang harmoni telah dirusak oleh kapital. Mereka terus meneror. Akibatnya manusia memahami alam sebagai liyan, yang terpisah. Krisis lingkungan, konflik agraria menjadi temuan sehari-hari.  “Semangat menguasai, menundukkan, mengeksploitasi menjadi wajah relasi manusia dengan alam hari ini,” kata Denny.

Guru Besar sastra Universitas Negeri Malang Djoko Saryono, dalam orasi budayanya mendedah secara gamblang hubungan manusia dengan alam. Melalui ekolinguistik, ia mengajak hadirin untuk menziarahi penamaan dalam tradisi Jawa-Islam. Kata atau nama “Siti” artinya tanah berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya suci.

“Berarti tanah yang kita pijak itu suci. Dan sesuatu di atas tanah yang paling suci itu benama ibu. Tanah, alam memiliki sifat keibuan, feminitas, kelembutan.,” ujar Djoko Saryono.

Ironis, manusia hari ini merasa sejajar dengan tanah atau alam. Bahkan merasa lebih tinggi. Keinginan menundukkan, mengeksploitasi alam telah merusak kesucian, sifat Rabbani yang ada di alam.

“Dislokasi, disorientasi kehidupan pun terjadi karenanya. Negara beserta sopirnya turut mengalami dislokasi dan disorientasi itu,” ujar Djoko Saryono. Akademisi cum penyair  ini mencontohkan Gunung Tembagapura di Papua yang hancur lebur. Padahal, bagi Suku Amungme gunung itu adalah ibarat ibu. Puncak gunung sebagai kepalanya.

“Dalam kepercayaan mereka, pantang kepala dan kaki ibu dipotong atau dipenggal. Tapi sekarang kita bisa lihat, kepala ibu, kaki ibu telah hancur ditambang. Pertempuran nilai mitis-spiritual melawan simbol-simbol kapital, modern, terjadi di sana,” kata Djoko.

Suasana hening. Semuanya peserta Kenduri Literasi menyimak. Sebagian mengabadikannya dalam foto dan video. Orasi budaya selanjutnya disampaikan oleh sastrawan sekaligus dosen Sastra Inggris Universitas Brawijaya, Yusri Fajar. Dalam orasinya, Yusri yang juga pengurus KAHMI Kota Malang bidang seni-budaya ini, mengatakan bahwa krisis lingkungan berarti juga krisis kebudayaan.

“Kota yang selalu menekankan pembangunan seringkali menegasikan sosio-ekologis. Berarti manusia tidak lagi memperlakukan alam dengan baik. Tidak menjadi bagian dari diri manusia,” katanya. Kini, katanya, terjadi apa yang disebut imperialisme ekologis. Menyitir salah satu novel karya Ratna Indraswari Ibrahim, Lemah Tanjung, Yusri meyakini jika manusia pasti merindukan alam.

Dalam novel itu, dikisahkan adanya bocah perempuan yang merengek untuk melihat kunang-kunang. Keindahan kelap-kelip kunang-kunang dalam gulita malam yang kerap diceritakan ibunya membuat rasa ingin tahu bocah bernama Bonet itu membuncah.

Gita dan Paul, kelabakan dengan permintaan putrinya. Padahal, di Kota Malang kunang-kunang sulit ditemui. Kunang-kunang nyaris hilang di tengah rimba raya pembangunan Kota Malang. Berbekal informasi dari balasan surat yang Gita kirimkan ke sebuah Koran, keberadaan kunang-kunang di Kota Malang akhirnya diketahui.

Kunang-kunang bisa ditemui di sebuah taman atau hutan kota bernama Lemah Tanjung. Sayangnya, hutan kota itu bakal berubah menjadi hunian mewah. Novel berdasarkan kisah nyata itu, hendak menceritakan kembali alih fungsi lahan bekas kampus Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) seluas 28,5 hektare menjadi hunian mewah. Kawasan itu sekarang menjadi perumahan Ijen Nirwana.

Karya Tri Susilaningsih dan Eduardus Marius Bo, dalam Jurnal Cakrawala Hukum vol.19 Juni 2014, berjudul Alih Fungsi (Konversi) Penggunaan Tanah Negara di Kota Malang,  menuliskan sejak 1970 Pemerintah Kota Malang telah melakukan kebijakan alih fungsi lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Pada 1970-1983, gedung KNPI dan waduk resapan yang dibangun Belanda di jalan Pulosari berubah menjadi bangunan. Selanjutnya, pada 1988-1998, RTH Taman Indrokilo menjadi perumahan mewah, taman kota menjadi SPBU Mergan, dan sekolah kehewanan menjadi Plasa Dieng.

Pada 1998-2003 RTH Tongan, Pandanwangi, dan areal sawah menjadi perumahan Araya.  Berlanjut pada tahun 2003-2006 lahan eks APP Tanjung berubah menjadi hunian mewah Ijen Nirwana dan hotel, APP Veteran menjadi Malang Town Square (Matos), RTH di stadion Gajayana menjadi Mall Olympic Garden (MOG), dan Taman Kunir menjadi kantor kelurahan.

Acara Kenduri Literasi dipungkasi dengan musik dan pembacaan puisi. Kain hitam berukuran besar digelar di dinding panggung. Kain bergambar perempuan paruh baya berkerudung hitam dengan aneka tulisan menjadi latar.

Di samping kanan  kanan panggung beragam buku ditata rapi di atas rak buku. Sebuah motor vespa klasik dipajang untuk mempercantik di sebelah kiri panggung. Salah satu sudut depan ruangan itu menjelma menjadi panggung pertunjukan seni.

Siapapun yang hadir boleh naik panggung dan membaca puisi. Diiringi musik, peserta bergantian membaca puisi. Ada puisi hasil karya sendiri ada pula yang membaca karya penyair terkenal. Para pengunjung tetap mengikuti acara sampai selesai. Mereka tak beringsut sedikitpun hingga malam menyapa.