Duo Etnicholic Membaca Nusantara Oleh: Yono Ndoyit*

Duo Etnicholic. (Foto: Yono Ndoyit).
Iklan terakota

Terakota.ID“Seorang seniman itu dikenali dari karyanya, bukan aktivismenya. Juga bukan karena sering nge-jamm kesana kemari dengan komposisi yang asal bunyi,” komentar seorang kawan jurnalis di ibukota dalam pembicaraan via WhatsApp yang mempersoalkan tentang reputasi kesenimanan seorang Redy Eko Prastyo beberapa tahun yang lalu. Komentar bernada kritik ini sempat penulis sampaikan padanya saat itu juga.

“Dia punya energi luar biasa dalam pergerakannya, namun sebagai seorang yang mengklaim dirinya sebagai musisi, dia masih belum dianggap. Selama ini tak ada karya komposisi serius darinya,” sambungnya.

Redy Eko Prasetyo, mahasiswa Pascasarjana Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya tahap akhir, saat ini menjadi salah satu pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur ini memang lebih dikenal sebagai pegiat budaya yang aktif. Kiprahnya cukup memberi warna dalam perkembangan seni budaya terutama di Kota Malang.

Penggagas Festival Kampung Cempluk dan inisiator Festival Dawai Nusantara, sebuah festival yang sejak tahun ketiga menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata Pemkot Malang. Dia juga salah satu yang menginisiasi Jaringan Kampung Nusantara, sebuah jaringan budaya berbasis kampung yang dideklarasikan di Banyuwangi sekitar lima tahun yang lalu. Kini telah meluas di puluhan kota, di dalam dan luar Jawa.

Salah satunya Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan yang merupakan calon ibu kota negara yang baru. Sebelumnya, dia lebih dulu aktif dalam wadah yang saat ini dikenal sebagai Museum Musik Indonesia (MMI). Dan masih banyak lagi jejak yang telah dia kerjakan.

Sepertinya, segala inspirasi dari geliatnya ini dipengaruhi oleh “mentornya” yang mempunyai relasi dan referensi amat luas, Tanto Mendut, Presiden Lima Gunung yang juga pengajar di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Seorang budayawan nasional yang juga terkenal sebagai pelopor dan penyelenggara Festival Lima Gunung di Magelang, festival seni budaya tahunan yang diselenggarakan secara mandiri bersama masyarakat di lima gunung yang ada di sekitar Magelang dan telah berjalan hampir dua dasawarsa hingga sekarang. Tempat tinggal yang sekaligus menjadi galeri atau museumnya di sekitar Candi Mendut menjadi salah satu simpul jujugan bagi para tokoh lintas seni budaya nasional.

***

Endapan gagasan dan karya yang di era pembatasan kuat terbendung akan mencari celahnya untuk keluar sporadis saat pandemi berakhir, sesuai prediksi dari para analis sosial. Dan Redy memanfaatkan momentum itu seiring pandemi yang melandai. Dia dan kelompoknya seolah mendahului start.

Awal pandemi, Redy membentuk Duo Etnicholic bersama Anggar Syaf’iah Gusti, vokalis perempuan yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai guru kesenian di SMA BSS Universitas Brawijaya Malang. Pembatasan pergerakan sosial tak menghalangi energi kreatifnya bahkan menginspirasinya untuk menghasilkan suatu karya.

Mungkin juga, Redy termotivasi untuk saatnya membayar lunas dendam dari kritik kawan jurnalis. Menciptakan komposisi lagu di “masa lerem” adalah hal yang sangat mungkin bisa dilakukan bagi seorang musisi. Energi baik akan membawa hasil yang baik pula.

Akhir 2020, membawakan lagu Hijau Lestari dan instrumen Dawai Cempluk, Duo Etnicholic berhasil memperoleh penghargaan Sopravista International Festival di Italia sebagai 1 Defree Lateate Nominasi Mixed Vocal dan Instrumen. Penghargaan yang berawal setelah dia mengunggah video klip lagu itu dalam program Youtube iRL Gigs, sebuah kanal yang berisi karya musik ‘non-mainstream’ dari Malang.

Dalam perkembangannya, kelompok musik ini bertambah personelnya, menjadi full band, meski tetap menggunakan kata Duo dalam nama grup. Di sebuah kafe di jalan Ki Ageng Gribig Malang pada Sabtu malam 26 Maret 2022 Redy seolah menjawab tantangan dari komentar itu dengan menggelar pementasan karyanya.

Penulis juga merasa Redy tantang untuk menyaksikan jawabannya. Sebelumnya, Redy sering kali mengirim pesan WhatsApp untuk merespon geliat terbarunya pada penulis, dan baru di hari ini, penulis berkesempatan menyaksikan pertunjukannya secara langsung.

Bersama kelompok musiknya yang dinamai Duo Etnicholic, Redy melakukan tour perdana sebelum merilis album musiknya beberapa hari ke depan di MMI 30 Maret 2022. Nandur Kamulyan menjadi judul albumnya. Judul yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai Menanam Kebaikan. Dari judulnya albumnya, kita segera tahu, lirik dalam lagu-lagu ini mengajak untuk mengingat kembali nilai-nilai kebajikan pada kita sebagai makhluk sosial yang berbudaya.

Empat dari sepuluh lagu yang mereka pilih secara acak mereka pentaskan di malam itu. Yang menarik, beberapa diantaranya berlirik bahasa daerah. Lagu berjudul Mantra Kopi Gayo yang dibawakan duet vokal Anggar dan Amri membuat penonton yang hampir seluruhnya mahasiswa ini beberapa kali memberikan applaus.

Terutama saat Anggar memainkan nada-nada tinggi dan koreografi sederhana darinya dengan gerakan-gerakan pendek namun tegas dari tangannya yang seolah sedang memetik biji kopi. Dalam lagu ini, Amri, additional vocal yang merupakan mahasiswa semester enam di UIN asal Aceh memasukkan kidung-kidung dari daerahnya.

Pergaulan Redy dengan Trie Utami dan Almarhum Leo Cristy nampaknya mempengaruhi komposisi-komposisinya. Duo Etnicholic ingin terlibat aktif untuk menyuarakan nilai-nilai kebaikan dengan menyisipkan petuah-petuah atau mantra-mantra dari daerah dalam lirik lagu yang diciptakan dengan mengadopsi komposisi instrument musik dari berbagai daerah di Indonesia serta berkolaborasi dengan seniman-seniman dari beberapa daerah. Meski demikian, komposisi yang mereka bawakan terasa jauh dari sekedar mengejar pretensi kontemporer.

 

Salam baik dan sehat selalu,

Yono Ndoyit, 28 Maret 2022

*Penikmat seni, Fotografer dan videografer amatir

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.