Dua Garis Biru dan Hidup Itu Berarti

Ilustrasi. (Paho.org)
Iklan terakota

Terakota.ID–Hari benar-benar masih remang waktu itu. Dari satu-satunya jendela di kamar, kulihat jejak subuh belum bergeser. Aku bukan orang yang rajin. Jadi, tak mungkin rasanya memulai kerja atau aktifitas sepagi itu. Kembali tenggelam dalam selimut adalah yang terbaik, pikirku— dan mungkin juga bagi kebanyakan orang.

Namun, apa yang dikakabarkan istriku membuat ide tidur lagi itu buyar. Ia duduk di meja cermin, memegang sesuatu, dan menimbang-nimbangnya. Ia lalu bangkit dari duduk dan mendekatkan benda itu di bawah lampu yang menempel di dinding kamar.

“Positif,” katanya.

“Ada apa?” tanyaku, pandemi Covid 19 masih santer-santernya saat itu.

Dengan bersemangat, ia menyuruhku mendekat dan menyodorkan benda kecil itu ke depanku. Aku meraihnya, memperhatikannya sebentar, dan segera menyadari kebahagiaan yang lama ditunggu: Hampir satu tahun kami berharap dan menunggu. Jika ingatanku tak payah, sudah dua kali ia menggunakan benda kecil itu dan mengabariku dengan nada sedih dan kecewa.

Dan pagi itu, akhirnya tanda itu muncul juga: Dua garis biru. Ya, dua garis biru.

Dan sejak itu, kami bahu membahu merawat makhluk kecil yang bersemayam di buncit perutnya. Tiga bulan awal adalah masa-masa genting, rawan keguguran. Lepas tiga bulan, dada sedikit longgar. Tapi belum benar-benar lega.

Baru di akhir Maret kemarin, makhluk mungil menggemaskan itupun keluar. Plong. Seorang perawat menggendongnya dengan santai, seolah pekerjaan penuh resiko itu telah dijalaninya ribuan kali dan, dengan bahasa singkat yang telah dihafalnya luar kepala, ia memintaku mengikutinya menuju sebuah ruangan.

Di sana bayiku bertemu dengan teman-teman sebayanya, puluhan jumlahnya. Mereka semua berkomunikasi dengan cara yang sama, menangis. Mungkin, suatu saat perlu dibikin lomba tangisan bayi, yang paling kencang dan lama adalah pemenangnya. Itu acara yang horor tapi sedikit masuk akal, jika dibandingkan acara demo memasak tanpa minyak goreng untuk menutupi kegagalan negara mengendalikan pasar minyak goreng.

Aku meraih bayiku dengan kikuk dan, tangan gemetar dan, berusaha keras menenangkannya. Sebagaimana seorang bapak yang berusaha baik, aku mengumandangkan adzan dan iqomat di telinganya. Ia tetap menangis, tapi dari sorot matanya terpancar kelegaan.

Aku bersyukur dikarunia bapak yang terlampau baik. Tidak semua anak– seberuntung diriku– mendapatkannya. Banyak anak yang menyedihkan, punya bapak seperti …, ah, sayang sekali aku tidak mendapatkan satu pun padanan binatang yang pas. Kalian cari sendiri.

Sebenarnya, selain mengharap doa dan berbagi kebahagian, aku ingin bertanya pada kalian semua: Seberapa berartikah hidup bagi kalian, teman?

Saya pikir, merawat kehidupan berarti menginsyafi bahwa, hidup bagi manusia— bagaimanapun kondisi dan kurang lebihnya— adalah tetap jauh lebih baik dan berarti dibanding maut. Dan pelajaran berharga untuk merawat hidup baru saja kita dapat dari Covid-19. Semua negara tampak berupaya keras memastikan pandemi ini tidak merenggut lebih banyak korban. Anggaran negara terkuras untuk melindungi keselamatan rakyat dari ancaman pandemi.

Target utamanya jelas, rakyat selamat dan tetap hidup. Itu salah satu ujian bagi suatu negara: Berhasil atau gagal mewujudkan keselamatan jiwa raga bagi rakyatnya. Semakin banyak korban berjatuhan, semakin pantas negara tersebut divonis lalai, ceroboh, dan tak becus bekerja.

Pandemi juga membuka mata kita, bahwa setiap orang berupaya keras menjauhkan keluarganya, tetangganya, kerabatnya, temannya, dan siapapun yang bernyawa, untuk tidak menjadi korban. Ada yang rela antri dan berdesakan demi memperoleh pasokan oksigen, vitamin, masker, juga vaksin. Masyarakat juga menciptakan jaring pengamanannya sendiri: Dapur umum, jimpitan, teman bantu teman, kampung tangguh, dan lain sebagainya. Semua tiba-tiba berbahasa yang sama: Bahasa kehidupan.

Saya juga teringat dengan salah satu kemarahan Nabi Muhammad yang terkenal. Nabi hampir tak pernah marah, dan bahkan bisa dikatakan– manusia tersabar yang pernah hidup di muka bumi ini adalah Nabi Muhammad.

Namun waktu itu beliau benar-benar marah, wajahnya mengeras dan urat-urat di dahinya tampak keluar.

Ketika itu seorang musuh menyelinap, berhasil mendekati wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Panglima Angkatan Perang Prajurit Muslim, Usamah bin Zaid bin Haritsah, memergoki dan mengejarnya. Dalam kondisi terjepit, terjebak di sebuah tebing dan jurang, Si Penyelinap tiba-tiba bersyahadat. Usamah bergeming, ia tetap mencabut pedangnya dan kematian bagi Si Penyelinap.

Laporan kejadian itu membuat Nabi marah kepada Usamah. Usamah berkilah kalau syahadat Si Penyelinap hanyalah taktik dan sewaktu-waktu ia bisa menyerang prajurit Muslim. Nabi tak terpengaruh. Bagi Nabi, persepsi Usamah tak dapat dijadikan dalil untuk menghabisi nyawa seseorang, apalagi ia telah mengucap syahadat. Perkara batin Si Penyelinap— bersyahadat palsu atau murni— hanya Tuhan yang berhak menghakimi.

Kematian Si Penyelinap mengandaikan terputusnya ragam kemungkinan. Ia tak lagi berkesempatan memperbaiki dan menebus masa lalu, atau untuk melahirkan keturunan yang sangat mungkin berbeda dengan orang tuanya. Bukankah kita tahu, bahwa Ikrimah bin `Amr al-Makhzoumi yang menjadi sahabat Nabi adalah putra Abu Jahal, orang yang tak kenal lelah memusuhi Nabi? Jadi, Islam sangat menjunjung hak seseorang untuk tetap hidup, hifdzun nafs.

Di Indonesia kita tahu ada Aksi Kamisan, 15 tahun usia mereka di 2022 ini, terhitung sejak 18 Januari 2007. Mereka menantang ingatan kekuasaan yang rapuh, yang mudah sekali melupakan kesalahan tanpa meminta maaf ataupun diproses secara hukum. Suciwati istri almarhum Munir yang meninggal diracun, berdiri bersama keluarga korban.

Perempuan sepuh yang rambutnya telah memutih, Maria Katarina Sumarsih, seperti monumen hidup bagi Bernardus Realino Norma Irmawan, putranya yang meninggal dalam peristiwa semanggi I. Di depan istana Negara, dia bersama Suciwati dan puluhan keluarga korban lainnya menuntut negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat: Tragedi Semanggi, Trisakti, dan tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, dan lain sebagainya.

Selain kudis, flue, atau covid 19, penyakit lupa ternyata juga mudah menular. Ia diidap satu tempurung kepala, lalu keluar dan masuk ke tempurung kepala lainnya, sampai seluruh penduduk tiba-tiba merasakan kekaburan lantas hilang ingatan. Dalam kasus pembunuhan Munir, misalnya.

Cerita dikarang seperti sebuah sinetron, bahwa Munir sedang menyiapkan skenario buruk yang dapat merusak citra Indonesia di mata dunia dengan membawa kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia ke Belanda. Normalisasi pembunuhan pun terjadi. Dan orang-orang mencibir segala upaya pengungkapan melalui proses hukum yang imparsial.

Saya heran, banyak orang lebih lega dan puas menerima kasak-kusuk atau cerita rekaan kekuasaan dibanding menunggu kepastian hasil dari proses hukum yang adil. Payah!

Kita tak dapat mentoleransi penghilangan nyawa seseorang atau sekelompok orang berdasarkan argumentasi yang kabur, apalagi direka-reka. Hal ini seperti banyaknya penghilangan nyawa yang belakangan ini masuk kategori extra judicial killing, pembunuhan di luar proses hukum dan memutus seseorang memperoleh keadilan hukum. Dugaan tak lantas membenarkan penghilangan nyawa.

Bagaimanapun, hidup itu berharga.  Setiap nyawa punya rasa, punya keluarga, punya anak, punya istri atau suami, punya kekasih, dan mungkin juga punya hutang. Setiap nyawa, saya pikir lahir seperti bayiku, melalui perjuangan dan bertaruh nyawa.

Sekarang, aku membaca ulang pidato Gabriel Garcia Marquez saat dianugrahi Nobel Sastra, 1982. Pidatonya nikmat sekali dibaca. Gabo dengan cerdas merangkum ratusan tahun “kesunyian” Amerika Latin yang basah darah. Kediktatoran, imperialisme, dan kudeta– seolah tak putus-putus dan serupa kutukan abadi tak berkesudahan.

Dan pria flamboyan yang begitu percaya mitos itu, dengan tetap optimis, sesumbar bahwa ia ngin menciptakan:

“Sebuah utopia kehidupan yang baru dan menyeluruh, tempat tak seorang pun dapat menentukan bagaimana orang lain harus mati, tempat cinta akan terbukti benar dan kebahagiaan memang mungkin terjadi, dan tempat semua bangsa yang dikutuk dalam seratus tahun kesunyian akan, pada akhirnya dan selama-lamanya, memiliki kesempatan kedua di muka bumi.”

Gabo telah mati, tapi optimismenya itu tetap berdetak di kepala banyak orang. Termasuk kalian, kan?