
Terakota.id-Dung……dung……krek……krek………, dung……dung……krek……krek. Sejumlah makhluk berwajah angker dan seram tiba-tiba muncul, tangan dengan kuku-kuku tajam dan panjang digerakkan-gerakkan. Berwajah seram mata melolot, rambut gimbal, hidung besar, bergigi runcing dan bertaring, namun wajahnya beraneka warna ada yang berwarna merah, hijau, hitam dan kuning. Sehingga menimbulkan kesan garang dan angker.
Makhluk berwajah angker ini gerakannya liar tak terkendali, gerakannya semakin menjadi saat irama bunyi musik, dong……… dong………. krek…….. krek…… semakin cepat. Kemudian, mereka duduk bersila berbentuk lingkaran sambil tangannya terus bergerak-gerak tak teratur. Kemudian mengepul asap putih, seolah-olah makhluk seram itu tak terlihat mata telanjang.
Kemudian, tiga gadis berparas cantik berjalan beriringan mereka tertawa dan bercanda seolah tak mengetahui ada makhluk berwajah angker di sekitarnya. Mereka menjerit, setelah makhluk berwajah seram ini menampakkan wajahnya. “Banaspati,” teriak salah seorang gadis cantik itu. Banaspati adalah sebutan untuk makhluk gaib berwajah seram.
Ketiga gadis cantik ini berlarian menghindar dari serangan banaspati, yang terus mengejar dengan tangannya yang terus bergerak liar. Hingga akhirnya ketiga gadis itu masuk di dalam lingkaran para Banaspati. Ketiga gadis ini mulai kehabisan tenaga, semakin cepat ia meronta semakin kuat pula Banaspati mendesaknya.
Tiba-tiba muncul lelaki tua berjenggot sambil membawa tongkat, ia mengangkat tongkat sambil menantang para Banaspati. Ketiga gadis cantik itu kemudian menempel di belakang lelaki tua itu. Banaspati langsung maju menyerang lelaki tua itu, mereka kemudian bertarung.
Lelaki tua itu seorang diri, melawan sepuluh Banaspati.
Dengan acungan tingkat itu, Banaspati pun kehabisan tenaga, kelelahan dan seolah kehilangan seluruh kedigdayaannya. Lelaki tua itu hanya memandang tajam pada Banaspati yang tergolek tak berdaya. Kemudian Banaspati duduk bersila sambil menelangkupkan kedua telapak tangannya di atas kepala sambil tertunduk seolah meminta ampun. Kemudian lelaki tua itu, mengajak ketiga gadis pergi.
Itulah, cuplikan seni tradisi dongkrek yang dimainkan Kelompok Condro Budoyo Dusun Karang Malang Desa Sumber Bening Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun. Kesenian ini disebut seni dongkrek berasal dari bunyi yang ditimbulkan oleh paduan dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Yakni bunyi dung berasal dari bedug dan krek dari alat musik yang disebut korek. Alat musik korek ini berupa kayu berbentuk bujur sangkar, di satu sisinya ada tangkai kayu bergerigi yang bila digesek berbunyi krek.
Namun, dalam perkembangannya kesenian dongkrek juga menggunakan sejumlah alat musik lainnya seperti kempul, gong kempul, kenong, gong besi, kentongan dan kendang. “Perpaduan alat musik ini dipengaruhi budaya Islam, China dan kebudayaan jawa umumnya,” Kata Andri Suwito pimpinan kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo Madiun.
Setiap pementasan dongkrek, menggunakan tiga jenis topeng yakni topeng raksasa atau Banaspasti melambangkan kejahatan, topeng perempuan sedang mengunyah sirih melambangkan cibiran serta topeng orang tua melambangkan kebaikan. Dalam pemetasannya, terjadi pertarungan antara Banaspati dan orang tua yang menggambarkan pertarungan antara kejahatan dengan kebaikan. Alhasil pertempuran itu selalu dimenangkan tokoh yang baik.
Dalam perkembangannya dilakukan sejumlah modifikasi, untuk memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat saat ini. Modifikasi itu meliputi, penari perempuan yang semula tiga dikembangkan menjadi delapan, satu penari Banaspati ditambah menjadi empat. Kadang ditambah penari anak-anak dan
pemusik berkembang menjadi sekitar 25 pemain dalam setiap pementasannya.
“Modifikasi diperlukan untuk menarik minat penonton,” katanya.
Bahkan, kadang Dongkrek juga dimodifikasi dengan seni Barongsai atau Reog Ponorogo. Alunan musik pun sesekali dicampur dengan keroncong, dangdut atau campursari.
Dongkrek Pengusir Pagebluk

Seni Dongkrek lahir sekitar Tahun 1867 di Desa Mejoyo atau Mejayan (nama kuno dari Kecamatan Caruban). Kesenian ini lahir pada masa kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro saat menjabat sebagai demang. Dongkrek muncul sebagai tolak balak atas pagebluk atau wabah ganas yang menelan banyak korban. Saat itu, banyak warga Mejayan yang mendadak sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Dalam kesedihannya, Raden Prawirodipuro merenungkan metode untuk penyelesaian wabah pagebluk itu. Melalui meditasi dan pertapaan di wilayah gunung kidul Caruban, ia mendapat wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir balak tersebut. Dalam cerita itu, wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus menyerang penduduk Mejayan dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari desa. Maka dibuatlah tarian yang menggambarkan fragmentasi pengusiran roh halus pembawa pagelebuk itu.
Kesenian dongkrek mengalami masa kejayaan antara tahun 1867 hingga 1902. Pemerintah kolonial sempat melarang kesenian ini, untuk pentas pertujukan di panggung terbuka. Demikian pula saat Pemeritahan Jepang berkuasa, semua tradisi budaya local diberangus. “Kesenian ini dipengaruhi kondisi politik saat itu,” kata Andri Suwito pimpinan kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo Madiun.
Kesenian Dongkrek digali kembali oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur pada tahun 1973. Saat itu, Pemerintah setempat merekonstruksi sejarah dan pakem dongkrek melalui penelusuran dan studi dokumentasi. Namun, saat itu seni tradisi kalah pamor dengan kesenian yang lebih modern. Kini, hanya generasi tua yang menjadi pelaku utama kesenian
asli Madiun ini.
Kesenian Dongkrek justru moncer dalam berbagai festival kesenian tradisional nusantara. Kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo, misalnya, tahun 2005 mengisi acara Gita Nantya Nusantara atau Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara.

Jalan, baca dan makan