Ilustrasi: Riri Cerita Anak Interaktif.
Iklan terakota

Terakota.id–Saya menyukai dongeng. Saya suka mendengarkan dongeng. Saya suka membaca dongeng. Dan, saya juga suka membacakan dongeng untuk anak-anak saya. Ketika saya masih kecil, waktu favorit saya adalah sekira sejam sebelum tidur malam ketika mendiang paman saya menginap di rumah. Paman saya tersebut, dalam ingatan saya, adalah seorang pencerita yang ulung. Dongeng “Kancil Melawan Harimau” mampu diwayangkannya dengan sangat nyata dan membawa saya serta adik saya ke dunia imajinatif yang menakjubkan.

Beranjak lebih besar, saya mulai suka membaca dongeng-dongeng, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pengarang kesayangan saya adalah H.C. Andersen. Komiknya tentang seorang kakak rupawan yang meninggalkan adiknya yang buruk rupa namun sangat disayanginya untuk mengadu nasib, hanya untuk kemudian membunuh sang adik karena kecerobohannya sendiri, masih mengiang di gendang imajinasi saya sampai sekarang. Sangat hidup dan fantastis.

Sekarang, sebagai ayah, saya merasa perlu untuk meneruskan tradisi dongeng-mendongeng ini. Karena merasa kadang tidak sabar dalam bernarasi, saya lebih sering memilih untuk membacakan dongeng kepada anak-anak saya dari buku yang saya punya. Tentu saja, saya menambahkan unsur dramatisasi vokal dan mimik wajah di sana-sini agar anak-anak saya dapat membangun imajinasi sehidup pernah saya lakukan.

Namun, membacakan dongeng-dongeng untuk para anak saya membuat saya memiliki sedikit lebih banyak waktu untuk memikirkan dan merenungkan isi dan ceritanya. Saya menemukan, dengan perspektif yang sekarang saya miliki, bahwa beberapa, jika tidak banyak, dari dongeng-dongeng tersebut ternyata problematis. Ada dongeng-dongeng yang berkisah tentang bagaimana anak yang durhaka atau tidak hormat kepada orang tuanya dihukum oleh dewa atau alam atau karma, entah menjadi patung, ular, dan seterusnya.

Tetapi, tidak ada atau jarang sekali ada dongeng tentang apa yang bisa terjadi atau menimpa orang tua atau penguasa atau guru jika mereka menjadi semena-mena dan melakukan kekerasan atau pelecehan kepada anak atau bawahan atau murid. Saya bertanya: kenapa hukuman hanya menimpa pihak yang lemah dan kebetulan salah dan tidak jatuh ketika pihak yang lebih berkuasa melakukan kesalahan serupa?

Dongeng-Dongeng Pelanggeng Patriarki

Beberapa tahun lalu, saya diminta oleh sebuah penerbit untuk menerjemahkan buku-buku dongeng dari 34 provinsi di Indonesia. Karena dongeng-dongeng tersebut ditargetkan pada pembaca anak-anak dan dewasa muda, bahasanya sederhana dan kisahnya pun dibuat ringkas dan mudah, mungkin agak simplisistik. Dan, seperti ketika membacakan dongeng untuk anak-anak saya, saya memiliki cukup waktu untuk berpikir dan merenung tentang dongeng-dongeng yang saya terjemahkan tersebut.

Ternyata, sepengamatan saya, ada cukup banyak dongeng dari provinsi-provinsi di Indonesia yang ceritanya berkisar di masalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan. Dengan sedikit atau beberapa perkecualian saja, hubungan tersebut umumnya ditandai oleh cara pandang atau perspektif yang patriarkis.

Perspektif patriarkis, secara ringkas, merujuk pada suatu sistem relasi, keyakinan, dan nilai yang terpatri dalam sistem-sistem politis, sosial, dan ekonomis serta menubuh dalam ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan (Nash, 2020). Privilese, seperti dapat diduga, tentu saja dimiliki oleh kaum laki-laki, yang secara dominan dan struktural menguasai aspek-aspek politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Menarik bahwa, di dalam dongeng-dongeng yang saya terjemahkan dan saya bacakan untuk anak-anak saya, sosok penguasa politik, ekonomi, dan sosial paling tinggi nyaris selalu berjenis kelamin laki-laki. Dia dapat mengambil wujud sebagai raja, pangeran, pendeta, bahkan ayah atau anak laki-laki. Sementara itu, sosok-sosok yang lebih inferior atau lebih tidak memiliki privilese berjenis kelamin perempuan. Mereka adalah permaisuri, selir, putri, ibu, atau anak gadis.

Bila diamati lebih mendalam dan lebih tebal, tentu saja, di antara garis batas jenis kelamin yang tegas itu sendiri terdapat level-level internalnya. Sosok permaisuri, sebagai misal, walaupun berjenis kelamin sama dengan selir karena mereka sama-sama perempuan, memegang privilese lebih dan bisa jadi menjadi sumber rasa iri bagi para selir.

Begitu pun hubungan antara putri satu dengan putri yang lain. Yang berwajah lebih cantik, yang diceritakan berwatak lebih baik, seringkali menjadi target atau sasaran kebencian dan ilmu sihir yang jahat dari putri yang berwajah lebih tidak cantik dan semacamnya. Demikian pula, raja punya kekuasaan yang lebih besar dan menentukan daripada pangeran. Dan seterusnya.

Karena dongeng-dongeng tersebut sifatnya ringkas dan sederhana, sangat sering spektrum yang mungkin dapat kita amati dan temukan dalam cerita-cerita yang lebih mendetail tentang karakter atau watak tokoh digambarkan begitu hitam-putih. Tokoh-tokoh dalam dongeng bersifat entah baik, cantik atau tampan, pemurah, suka menolong atau jahat, buruk rupa, dengki, pemarah. Ini, tentu saja, tidak dapat dilepaskan dari pemahaman bahwa pembaca yang disasar oleh dongeng-dongeng tersebut adalah anak-anak atau orang dewasa muda yang juga lebih simpel dan sederhana dalam melihat dan memahami sifat-sifat manusia.

Yang juga sangat tipikal dalam dongeng-dongeng nusantara yang saya terjemahkan tersebut adalah bagaimana tokoh-tokoh utama perempuan di dalamnya digambarkan sebagai tokoh yang (1) lemah dan menjadi korban dan (2) butuh diselamatkan oleh seseorang yang kuat, yaitu tokoh utama laki-laki sehingga (3) mereka dapat memulihkan keadaan dan hidup bahagia selamanya, biasanya sebagai pasangan suami-istri. Dari tahap (1) ke tahap (3), tokoh perempuan tetap lemah atau setidaknya tetap bergantung pada laki-laki.

Inilah yang bisa kita baca dan dengarkan, misalnya, dalam dongeng dari Jawa Timur yang berjudul “Keong Mas”. Di dalam dongeng ini, dikisahkan bagaimana Putri Purbasari yang ditunjuk oleh ayahandanya, Raja Dhaha, untuk menggantikannya sebagai penguasa menerbitkan iri di hati kakaknya Purbararang. Rasa iri ini semakin kuat karena Purbasari dikisahkan sebagai putri yang lebih cantik, lebih lembut, dan lebih dicintai rakyat daripada Purbararang. Dan, penyebab utama lain dari rasa iri Purbararang pada Purbasari adalah karena yang disebut terakhir ini telah bertunangan dengan seorang pangeran rupawan bernama Raden Inu Kertapati. Tidak dikisahkan seperti apa relasi antara Purbararang dan Inu Kertapati.

Tetapi, karena dorongan rasa iri yang hebat tersebut, Purbararang, seperti biasa dijumpai dalam dongeng-dongeng, meminta bantuan seorang nenek sihir jahat untuk mengubah Purbasari menjadi seekor keong. Demikianlah, Purbasari (1) menjadi korban dan harus meninggalkan istana. Dia hidup di sungai hingga ditemukan dan lantas dipelihara oleh seorang nenek janda di dusun Dadapan. Sampai Inu Kertapati, berkat bantuan seorang kakek sakti, datang menjemput serta menyelamatkannya (2), Purbasari tidak dapat berubah kembali secara permanen menjadi putri. Tetapi, begitu Inu Kertapati mampu menemukannya dan menciumnya, lunturlah kutuk si nenek jahat dan jadilah keong mas itu Purbasari yang cantik, lembut, dan baik hati. Dan (3) akhirnya Purbasari dan Inu Kertapati kembali bersama dan menikah serta bahagia selama-lamanya.

Struktur (1), (2), dan (3) serupa dapat ditemukan di dongeng lain, seperti Lutung Kasarung, atau Bawang Merah-Bawang Putih, dan bahkan pada dongeng-dongeng dari mancanegara, seperti Cinderella dan Putri Tidur. Tokoh Putri adalah tokoh yang cantik namun lemah dan kemudian menjadi korban, entah dari sakit hati atau iri pihak lain.

Putri tersebut berubah menjadi hewan menjijikkan, atau terkena penyakit kulit mengerikan, atau harus bekerja keras di dapur yang hitam oleh jelaga, atau tertidur pulas tanpa bisa apa-apa, atau apalah. Baru setelah seorang ksatria, atau pangeran, atau pangeran yang menyaru sebagai monyet, atau sosok laki-laki lain, Putri berhasil sembuh. Dan akhirnya, mereka menikah dan memerintah sebagai raja-ratu atau tinggal di rumah dengan anak-anak yang lucu.

Dongeng-dongeng semacam itu sungguh problematis. Di satu sisi, kisah yang ditawarkannya memberikan semacam kompas moral bagi pembaca atau pendengarnya secara tidak langsung (yang adalah hal positif). Namun, pada waktu yang sama, entah karena sifatnya yang simplisistik atau karena alasan ideologis lain, ia melanggengkan perspektif patriarkis (saya yakin ada juga persoalan-persoalan mendasar lain yang dapat diangkat) di mana tokoh perempuan selalu dipandang lebih lemah dan perlu diselamatkan; di mana tokoh perempuan tidak pernah merasa cukup dengan dirinya sendiri dan harus dilengkapi oleh laki-laki; di mana tokoh laki-laki bisa mencecap rasa superior dan bertindak sebagai pahlawan.

Begitulah dunia dongeng kita, setidaknya beberapa dongeng yang saya sempat terjemahkan dan bacakan untuk anak-anak saya. Setiap kali saya memikirkan tentang hal tersebut, kepala saya berputar dan mencari kata-kata serta gagasan lain yang bisa menyabotase ideologi yang menurut saya perlu dikritisi yang ternyata diusung oleh dongeng.