Iklan terakota

Terakota.id–Pandemi Covid-19 menggeser seminar di perguruan tinggi menuju dunia virtual. Sebelum pandemi, seminar daring bukanlah suatu kegiatan akademik yang populer. Mendatangkan pembicara untuk menyampaikan gagasannya langsung ke depan peserta secara langsung atau luring menjadi kebiasaaan yang berlaku sebelum pandemi datang menerjang.

Mendatangkan pembicara ke sebuah seminar secara langsung tentu butuh usaha yang lebih menguras energi dibandingkan dengan menghadirkannya di ruang virtual. Pertama yang harus dilakukan oleh panitia tentu saja adalah menentukan tema dan  menurunkan tema ke dalam term of reference. Setelahnya adalah menghubungi pembicara untuk memastikannya bisa datang mengisi seminar. Setalah dicapai kesepakatan dengan pembicara, panitia membuat publikasi.

Di saat yang bersamaan, ruang seminar dengan beragam peralatan, terutama alat untuk presentasi pembicara dan sistem tata suara, harus dipastikan kesiapannya. Pada hari H pelaksanaan seminar, panitia masih harus berjibaku menjemput pembicara jika pembicara dari luar kota, mengurusi konsumsi dan beragam hal teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan seminar.

Beda dengan seminar yang dijalankan secara daring. Panitia cukup menghubungi pembicara dan memastikan hari pelaksanaan seminar. Selanjutnya membuat publikasi dan menyiapkan ruang virtual dengan berbagai pilihan aplikasi konferensi video yang tersedia, mulai dari Zoom, Microsoft MT, Google Meet, Webex dan sejenisnya. Tidak perlu lagi berjibaku mengurusi konsumsi dan menjemput pembicara sebagaimana seminar luring.

Seminar daring pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Berbagai perguruan tinggi dan asosiasi keilmuan menggelar seminar daring dengan berbagai tema. Publikasi seminar daring dengan mudah dijumpai di media sosial, terutama karena muncul di linimasa. Banyaknya seminar daring berbanding lurus dengan banyaknya pembicara di berbagai forum seminar.

Yang menggelitik dari tampilnya banyak pembicara dalam seminar daring di masa pandemi ini adalah fenomena penggunaan gelar “Doktor Kandidat/Kandidat Doktor” oleh para pembicara. Umumnya ditulis dengan pola yang tidak seragam. Ada yang menulis dengan Dr. (Cand), ada pula dengan menuliskannya dengan Dr (Cand), ada juga dengan Dr. (Can) dan sebagainya. Ketidakseragaman ini berpangkal dari kenyataan formal, bahwa perguruan tinggi tidak pernah memberikan gelar akademik ini kepada mahasiswanya.

Aneh memang penggunaan gelar-gelaran ini. Mirisnya keanehan itu terjadi institusi pendidikan tinggi yang seharusnya bisa menjaga marwahnya. Maraknya penggunaan gelar-gelaran seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di dalam institusi pendidikan tinggi. Di masa kampanye pemilu, dengan mudah dijumpai para politisi yang menggunakan gelar-gelar akademik, yang tidak jelas institusi perguruan tinggi yang memberikannya. Demikian pula, di iklan pengobatan tradisional yang menampilkan gelar akademik yang meragukan dari para orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan segala macam penyakit.

Salah satu kasus menonjol adalah Hadi Pranoto yang disebut sebagai profesor yang telah menemukan cairan antibodi Covid-19 pada bulan April 2020 dalam sebuah wawancara dengan musisi Anji. Sontak klaim Hadi Pranoto menjadi berita di berbagai media massa. Akhirnya terbukti jika Hadi Pranoto hanya pembual.

Ilustrasi : https://theprint.in

Kembali pada persoalan penggunaan gelar Doktor Kandidat / Kandidat Doktor. Jika merujuk pada Pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001 Tentang Gelar Dan Lulusan Perguruan Tinggi, dinyatakan bahwa yang berhak menggunakan gelar akademik adalah lulusan pendidikan akademik dari Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas. Dari pasal ini jelas bahwa gelar akademik hanya bisa diberikan setelah menempuh pendidikan, bukan ketika masih menempuh pendidikan.

Demikian pula pada Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa gelar diberikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan semua persyaratan yang dibebankan dalam mengikuti suatu program studi dan dinyatakan lulus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penggunaan kata Candidate yang disingkat menjadi Cand/Can juga melanggar peraturan ini. Pada ayat 2 dari pasal yang sama disebutkan bahwa gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia. Jelas kiranya Candidate adalah istilah dalam Bahasa Inggris, bukan Bahasa Indonesia.

Saat masih menempuh studi doktoral, saya pernah diundang mengisi sebuah seminar. Di poster seminar, nama saya ditulis sebagai Dr (Cand). Tentu saja saya kaget bukan kepalang. Dengan segera saya menghubungi panitia untuk segera menurunkan poster tersebut dan merevisinya untuk menghapus gelar-gelaran Dr (Cand). Saya memberikan pemahaman kepada panitia dengan alasan yang persis sebagai yang saya tulis di atas. Akhirnya poster dengan segera diganti panitia sebelum viral di media sosial.

Alasan yang muncul dari penggunaan Dr (Cand) dalam publikasi seminar umumnya adalah dengan menyalahkan panitia yang menuliskannya. Alasan ini seharusnya digugurkan, dengan cara meminta panitia menghapusnya dan mengganti dengan publikasi yang baru dengan benar.

Jika penggunaan gelar Dr (Cand) dibiarkan dan dimaklumi, maka bisa jadi akan muncul M (Cand) di kalangan mahasiswa strata dua dan S (Cand) di kalangan mahasiswa strata S-1. Hancurlah marwah pendidikan tinggi jika ini benar-benar terjadi. Dengan mudah gelar akademik disematkan meski belum menyelesaikan studi. Maka marwah pendidikan tinggi pun akan rapuh.

Pemakluman adalah hal yang tidak bisa diterima dalam penggunaan gelar seperti ini. Jika pemakluman ini terus dibiarkan dalam pendidikan tinggi, marwah perguruan tinggi yang menjunjung tinggi iklam akademis akan tergerus. Perguruan tinggi seharusnya menjadi pusat riset dan pengembangan pemikiran, bukan tempat pamer gelar yang tidak semestinya.

 

 

8 KOMENTAR

  1. belum pernah saya pasang gelar akademisi di setiap catatan transaksi bisnis, profesi hingga invitasi dinas2 pemkab terkait peningkatan kapasitas UMKM.
    Karena masih ada rasa gak ikhlas.
    lha wong kuliah jenjang sarjana di ITS waktu itu dibelani sampe 7 tahunan saya kira dapetnya gelar master, trnyata masih Sarjono. Hehehe…