
Terakota.id–Harum dupa menguar di Alun-Alun Kota Malang. Puluhan jurnalis dan mahasiswa meriung di tengah Alun-Alun Kota Malang. Para jurnalis dan jurnalis mahasiswa mengerumuni sebuah periuk tembikar berisi air dan bunga setaman. Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Abdul Malik membawa gayung. Cekatan ia mengambil air dan bunga dengan gayung. Sementara jurnalis Radar Malang M. Badar Risqullah duduk bersimpuh.
Gayung berisi air dan bunga setaman mengguyur rambut dan wajah Badar. Ini merupakan proses ritual tolak balak. Sembari memanjat doa kepada Tuhan agar tak lagi terjadi kekerasan terhadap jurnalis. Aksi ini dilakukan para jurnalis memperingati Hari Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day 3 Mei 2019.
“Memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar tak ada kejadian buruk yang menimpa jurnalis,” kata Abdul Malik. Ruwatan ini, katanya, merupakan usaha memberishkan diri atau tolak balak. Sedangkan air, kembang setaman dan dupa merupakan sebagai simbol yang digunakan sejak berabad silam dalam sebuah ritus. Doa dipanjatkan di jantung Kota Malang.

Doa ini sekaligus mengiringi perjuangan bekas jurnalis Jawa Pos Radar Madura, Ghinan Salman yang menjadi korban penganiayaan saat menjalankan kerja jurnalistiknya. Ghinan mengalami kekerasan pada 20 September 2016. Saat itu, Ghinan memotret sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangkalan. Mereka bermain tenis meja saat jam kerja. Ghinan dianiaya dan ancaman.
“Putusan Pengadilan Negeri Bangkalan antiklimaks,” kata Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl dalam siaran pers yang diterima Terakota.id. Majelis Hakim PN Bangkalan memutus terdakwa Jumali bebas dari seluruh dakwaan. Majelis hakim menilai, Jumali tidak terbukti menganiaya Ghinan. Dalam amar putusan, hakim menyatakan Jumali tidak terbukti melakukan tindakan kategori menghalangi kerja jurnalis seperti yang didakwakan. Yakni melanggar Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
AJI Surabaya dan LBH Lentera yang mengadvokasi Ghinan menilai penanganan perkara janggal. Lantaran kekerasan dilakukan beberapa orang. Terjadi pengeroyokan. Ada yang mencekik, memukul, menjambak dan mengintimidasi. Nama para pelaku diserahkan ke penyidik.
Belakangan, hanya Jumali yang dijadikan terdakwa dalam kasus ini. AJI dan LBH Lentera mendorong agar kasus ini tidak diamputasi hanya pada Jumali. Ghinan dikeroyok beberapa orang. Ketua majelis hakim, Sri Hananta mengabaikan fakta persidangan dan keterangan ahli Dewan Pers Herlambang Wiratraman.
Padahal, kekerasan terhadap jurnalis, merampas hak publik untuk mengetahui fakta termasuk penyelewengan aparatur negara. Dalam pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dikeluarkan Dewan Pers, ancaman penghinaan dan intimidasi masuk kategori kekerasan.
Dalam Pasal 18 Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut unsur menghambat atau menghalangi kegiatan mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan infomasi menjadi terhambat. “Putusan hakim membebaskan terdakwa menjadi kado pahit Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei,” kata Faridl.
Ketua Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman menyesalkan putusan hakim. Keputusan itu menyakiti korban. “Putusan ini telah menciderai semangat kebebasan pers yang dikembangkan Mahkamah Agung dalam sistem penegakan hukum,” kata Herlambang.
Sekaligus mengusik rasa keadilan publik, dan memperkuat mata rantai impunitas di negeri ini. Terdakwa sebagai salah pelaku kekerasan, dibebaskan dari ancaman pemidanaan. Sehingga putusan itu berpotensi menjadi pijakan impunitas kasus kekerasan berikutnya. Herlambang mendorong Jaksa Penuntut Umum segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Akademikus bidang hukum, katanya, siap mengeksaminasi dan menjadikan contoh putusan yang tidak bisa menegaskan tindakan pelanggaran hukum dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selain itu, dua jurnalis di Bandung mengalami kekerasan saat liputan hari buruh internasional, 1 Mei 2019. Penyintas terdiri dari fotografer Tempo Prima Mulia dan jurnalis freelance Iqbal Kusumadireza (Reza). Kaki kanan Reza mengalami luka dan memar. Polisi juga menghapus gambar yang diabadikan Reza.
Kekerasan Terus Berulang
Indeks Kebebasan Pers yang dikeluarkan Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia berada di peringkat ke 124. Stagnan, tak ada kemajuan dibanding tahun lalu. Sedangkan peringkat pertama Norwegia, kedua Finlandia disusul ketiga Swedia. Di kawasan ASEAN Timor Leste menempati peringkat 84, Malaysia lebih baik dari Indonesia berada di peringkat 123.
RSF menyebut posisi Indonesia stagnan karena pembatasan akses media meliput di Papua. Termasuk aparat yang mengusir jurnalis BBC Rebecca Alice Henschke dan Heyder Affan pada Februari 2018 ketika meliput isu kemanusiaan. Presiden Joko Widodo dianggap tak menepati janji akan membuka akses bagi jurnalis pada 2017 lalu.

Remisi untuk Susrama otak pembunuh jurnalis Radar Bali, Prabangsa dari hukuman seumur hidup menjadi 20 juga menciderai kebebasan pers. Meski kemudian dibatalkan setelah jurnalis dan organisasi pers ramai-ramai memprotes remisi tersebut.
Selain itu, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik turut mengancam kebebasan pers di Indonesia. Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) selama 10 tahun terakhir sejak 2008-2018 sebanyak 245 laporan warga yang dijerat UU ITE. Termasuk pemidanaan 14 jurnalis dan tujuh media
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama kurun waktu setahun Mei 2018-Mei 2019 tercatat 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Terbanyak terjadi kekerasan fisik 17 kasus, pemidanaan 7 kasus dan ancaman kekerasan atau teror 6 kasus. Pelaku terbanyak warga 10 kasus, polisi 7 kasus, ormas 6 kasus dan aparat pemerintah 5 kasus.
Sejauh ini masih ada impunitas atau pembiaran kasus jurnalis yang terbunuh karena berita. Meliputi Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin, jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, Naimullah, jurnalis Sinar Pagi, Agus Mulyawan jurnalis Asia Press, Kameramen TVRI Muhammad Jamaluddin, Ersa Siregar jurnalis RCTI, Herliyanto, jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo, Adriansyah Matra’is Wibisono di Merauke, Papua, jurnalis TV lokal Merauke, dan Alfred Mirulewan dari tabloid Pelangi.
Jurnalis Terbunuh
Catatan International Federation of Journalists (IFJ) menyebutkan sepanjang 2018 sebanyak 95 jurnalis dan pekerja media yang terbunuh dalam melaksanakan kerja jurnalistik. Asia Pasifik menempati urutan teratas sebagai wilayah paling mematikan. Sedangkan Afghanistan merupakan negara paling mematikan di dunia.
“Tragedi pembantaian Ampatuan di Filipina menjadi serangan paling mematikan. Sebanyak 32 jurnalis terbunuh,” kata Koordinator IFJ Asia Tenggara, Ratna Ariyanti. Tahun ini memperingati 10 tahun pembantaian Ampatuan.

Sebanyak 32 jurnalis dan pekerja media terbunuh di kawasan Asia Pasifik atau 34 persen dari total global. Sedangkan 29 jurnalis dan pekerja media terbunuh di Asia Selatan sebanyak 90 persen dari total Asia Pasifik atau 30,5 persen dari total global. Sebanyak 16 jurnalis dan pekerja media terbunuh di Afghanistan atau 17 persen dari total global.
Di wilayah Asia Pasifik sebanyak 15 tewas dalam penembakan target atau baku tembak. Sedangkan 12 tewas akibat korban bom mobil. sembilan jurnalis tewas di ibukota, Kabul, Afghanistan dalam serangan bunuh diri secara berurutan. Penyiar radio ditembak mati di Filipina.

Jalan, baca dan makan
[…] Doa untuk Para Jurnalis […]
[…] Doa untuk Para Jurnalis […]