
Kisah Pelagia Nilvona
Ia meletakkan selebaran doa, lalu menyeka kedua mata yang berkacakaca dengan kedua tangan.
Apa yang dilakukan Misiati Oetomo ini mengingatkan kita pada sosok perempuan pemberani, bernama Pelagia Nilvona, dalam novel Ibunda karya Maxim Gorki. Ketika itu sedang berlangsung gerakan menjelang revolusi Rusia yang hendak menumbangkan kekuasaan Tsar yang kejam. Pavel, anak laki-laki Pelagia merupakan seorang aktivis buruh. Ia kerap pulang membawa buku-buku tebal. Selain itu, bersama teman-temannya ia sering berdiskusi di rumah.
Awalnya Pelagia tidak memahami apa yang sedang mereka diskusikan. Namun, lambat laun Pelagia mampu menerka. Bahwa mereka, anak-anak muda ini, sedang merencanakan sebuah gerakan untuk membebaskan kaum buruh dan rakyat miskin dari ketertindasan serta kesengsaraan. Setelah mengetahui, Pelagia justru semakin khawatir. Ia takut jika anaknya akan ditangkap oleh polisi atau mata-mata pemerintah.
Kekhawatiran Pelagia jadi kenyataan. Polisi mendatangi rumahnya. Meski tidak melakukan penangkapan malam itu, kedatangan Polisi telah lebih dari cukup untuk membuat dirinya gemetar. Baru kemudian, ketika terjadi aksi Hari Buruh, 1 Mei, anaknya ditangkap bersama Andrei temannya. Ia dijebloskan ke penjara. Pelagia menyaksikan anaknya tidak bersalah. Di mata Pelagia, apa yang diperjuangkan oleh Pavel dan kawan-kawannya adalah keluhuran: membebaskan rakyat dari belenggu ketertindasan. Meski begitu, Pelagia tidak dapat berbuat banyak untuk membebaskan anaknya.
Sejak penangkapan anaknya, Pelagia justru semakin berani. Ia menggabungkan diri dalam gerakan politik bersama kawan-kawan Pavel yang tersisa. Seolah Pelagia hendak menggantikan tugas anaknya yang tengah mendekam di penjara. Pelagia aktif membagi-bagikan pamflet kepada para buruh dan tani. Baik di kota, pelosok perkampungan, maupun pabrik.
Pidato pembelaan Pavel di pengadilan ia cetak. Ia berniat menyebarkannya secara rahasia. Sayangnya, polisi militer berhasil memergokinya. Pelagia pun didesak. Tapi ia tidak kalah dan menyerah. Pelagia berhasil menyedot perhatian publik. Selebaran ia kibar-kibarkan ke udara. Ia menghambur-hamburkan dan membagikan selebaran.
“Kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, itulah yang diperoleh rakyat dari jerih payahnya!” teriak Pelagia semakin memancing perhatian rakyat sekaligus kemarahan para polisi.
Apa yang dilakukan Pelagia atau Ibunda tak dapat dicegah. Polisi pun makin beringas. Ia dipukul. Terhuyung. Tapi belum jatuh dan menyerah. Mereka mendorong Ibunda keluar. Ibunda masih tetap berteriak.
“Bahkan samudra darah tak dapat tenggelamkan kebenaran!”
Mereka semakin kalap. Mereka pukuli Ibunda.
Dalam keadaan yang kritis Ibunda masih tetap berteriak melawan, “Perlakuan ini hanya membuat kami benci kalian. Makhluk-makhluk sinting! Benci yang menumpuk-numpuk, yang akhirnya roboh menimpa kepala kalian.”

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict