Mewarisi Semangat Bimasena

Nyala semangat Oetomo juga tampak siang itu. Ia mengajak kami menyinggahi situs-situs kenangan di dalam rumah. Ia menggiring kami ke ruangan kecil di samping kamar mandi. Menurutnya, ruangan itulah selain ruang tamu yang sering dimanfaatkan Bimo untuk berdiskusi bareng teman-temannya ketika berkunjung. Sebagai orang tua, Oetomo tidak canggung melibatkan diri dalam diskusi bersama mereka. Bahkan hingga dini hari.
Langkah kakinya mengajak kami beralih ke dapur lalu ke sebuah kamar. Kamar itu itu dulunya ditempati Bimo. Sebuah wayang kulit, sosok Bimasena terpacak di dindingnya. Dalam pewayangan Jawa, Bima merupakan salah satu Pandawa. Kesatria ini bersifat berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Nama Bimo Petrus dapat diartikan bertemunya keberanian, kebijaksanaan atau keteguhan dari dua tradisi sekaligus, Jawa dan Kristen.
Karena Petrus sendiri dalam Kristiani merupakan salah seorang dari 12 Rasul Yesus, memiliki arti batu karang, simbol keteguhan. Ia juga dianggap sebagai martir, meninggal dengan cara disalib. Entahlah, kebetulan atau tidak, yang jelas teramat cocok dengan sosok Bimo Petrus yang memilih menjadi martir dalam menumbangkan kediktatoran.
Ayahanda Bimo Petrus, juga seorang pengarsip yang baik. Surat-surat Bimo Petrus masih ia simpan bersama surat-surat dari teman Bimo, kliping koran, poster aksi, lukisan Bimo, dan dokumentasi-dokumentasi lainnya. Dua album foto berisi foto-foto Bimo sejak bayi sampai ia berdemonstrasi dan dipenjara, terawat baik. Tidak berdebu. Menandakan album foto itu sering dijamah oleh tangan.
Kami diperkenankan membacai surat-surat Bimo. Oetomo bangga terhadap anaknya. Berulangkali ia mengingatkan kami akan kalimat-kalimat Bimo yang ada dalam surat bertanda: Jakarta, 29 September 1997 dilanjutkan 5 November 1997. Surat itu teruntuk ibunda Bimo. Dua paragraf di lembar pertama, secara khusus Oetomo tandai dengan spidol warna hijau. Intinya, Bimo sebagai manusia dan anak muda tak mau menjalani hidup layaknya seekor kucing: lahir, bayi menyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin, sesudah itu mati.
“Hanya sekedar refleksi saja kali ini. Enggak enak rasanya kalau hidup hanya datar-datar saja. Enggak ada seninya. Mumpung masih muda, Bima pengin masa muda bima benar-benar bermakna. … ,” tulis Petrus Bima Anugrah alias Bimo Petrus.
Berselang sekitar dua jam, ibunda Bimo Petrus muncul. Ia habis beristirahat. Siang itu ia sedang tidak enak badan. Perempuan itu kelihatan sepuh. Jalannya begitu pelan. Suaranya juga tak begitu nyaring. Kulitnya mengeriput, mengiringi usia yang semakin tua. Tapi hitam rambutnya belum memudar. Persis seperti ingatannya yang kuat terjaga.
Ia mengenang Bimo sebagai anak yang cerdas dan berani. Ia sempat mengajar Bimo ketika masih SD. Ketika kelas 3, Bimo sudah berani dan sering menjadi pemimpin upacara. Setelah Bimo tidak ada, Misiati baru menyadari potensi kepemimpinan yang ada pada anaknya itu. Kematangan rohani maupun psikis Bimo, menurut Misiati, sudah mulai terlihat ketika ia bersekolah di SMA Dempo.

“Mungkin garis hidup Bima seperti itu. Tapi, tidak semua orang bangga dengan kegiatan Bima. Waktu itu yang sinis juga ada. Seng ngelok-ngelokne (Ada juga yang menuduh) juga ada. Opo pak?” Misiati menoleh, meminta penguatan suaminya.
“Ada yang bilang, Salahe gak manut wong tuwo, anakku lo manut karo aku (Salah sendiri tak ikut nasihat orang tua). Ada yang bilang, salahe tentara kok dilawan,” lanjut Misiati.
Misiati meminta diambilkan selebaran doa Bapa Kami gubahan Bimo. Selebaran itu tertumpuk bersama dokumen-dokumen lainnya. Ia melipatnya jadi dua, lalu membacakannya kepada kami. Matanya basah. Suaranya tidak begitu keras, tapi penuh ketegasan.
“Bapa kami yang ada di surga: Engkaulah Allah yang memihak orang melarat, bukan pada orang yang gila harta. Engkaulah Allah yang berdiri di sisi orang yang tertindas, bukan pada orang yang gila kuasa. Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina, bukan pada orang yang gila hormat. ‘Ini uraian dari kalimat pertama tadi. 1, 2, 3, 4, 5, 6 kalimat. Sekarang yang kedua,”ujar Misiati menerangkan.
“Dimuliakanlah Nama-Mu: di antara para petani, yang menggarap sawah-sawah tergadai. di lingkungan para buruh, yang harus berteduh di gubuk kumuh. di kalangan anak asongan, yang harus mandi di sungai tercemar. di antara rakyat kecil, yang tergusur demi suksesnya pembangunan. ‘Ini kalimat yang kedua tadi, jadi nama Tuhan itu dimuliakan di antara kalimat-kalimat tadi’,” lanjut Misiati.
“’Lalu yang ketiga’. Datanglah kerajaan-Mu: yakni dunia baru, yang berlandaskan cinta kasih, yang berhaluan kebebasan, yang bertatanan keadilan,” ucap Misiati.
“Jadilah kehendak-Mu di atas bumi: untuk memberi makan pada yang lapar. untuk memberi minum pada yang haus. untuk memberi tumpangan pada para pendatang. untuk memberi pakaian pada yang telanjang. untuk melawat mereka yang sakit. untuk mengunjungi mereka yang ada dalam penjara. untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang tertimpa ketidakadilan. ‘Dia (Bimo, red) berharap keadilan Tuhan datang untuk mereka,’” ujar Misiati.
“’Selanjutnya,’ Seperti di dalam surga. ‘Bagaimana to keadilan di dalam surga itu?’
yang berpihak pada rakyat kecil. yang mengutuk segala bentuk intimidasi. yang menghilangkan segala upaya pembodohan masyarakat. yang membongkar segala praktik bisnis tanpa moral. yang membongkar segala praktik penyalahgunaan kekuasaan. ‘Ini dulu. Ini semua terjadi pada waktu itu,’” kata Misiati.
“Berilah kami rejeki pada hari ini: agar kuat dan berkobar dalam membongkar budaya bisu. agar kuat dan pantang mundur dalam melawan budaya takut. agar kuat dan berani melawan budaya pakewuh. ‘Yaa pakewuh, tahu kan ya pakewuh’” tanya Misiati kepada kami.
“’Selanjutnya.’ Dan ampunilah kesalahan kami: karena kami diam, ketika hutan-hutan dibabat untuk arena balap mobil. karena kami bungkam, ketika rumah dan ladang digusur untuk lapangan golf. ketika kami bisu, ketika sawah-sawah dirampas untuk rumah mewah. karena kami acuh, ketika rakyatkecil disingkirkan demi gemerlapnya keindahan kota. ‘Jadi tau minta ampun karena apa? Ya karena itu tadi,’” jelas Misiati.
” Akhirnya.’ Seperti kami pun mengampuni: mereka yang bersalah pada rakyat melalui sistem pembodohan nasional sehingga rakyat hanya mampu berkata “ya, ya, dan ya”. Janganlah masukan kami ke dalam percobaan: sehingga kami ikut melakukan kekerasan, seperti mereka yang tidak mengenal Tuhan. sehingga kami hanya mampu melontarkan kritik, tanpa kami sendiri bertindak adil, jujur, dan bertanggung jawab. sehingga kami berpihak dan membantu orang kecil, tetapi kami sendiri tidak terlepas dari permainan manipulasi. Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat: Yakni pikiran untuk memonopoli kekayaan alam. Perkataan untuk memanipulasi pendapat umum. Perbuatan yang melecehkan keinginan rakyat. Amin,” Misiati mengakhiri membaca doa gubahan Bimo petrus.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict