Genoneva Misiatini Oetomo dan Dionysius Oetomo Rahardjo menunjukkan foto Petrus Bima Anugrah. (Terakota/Aris Hidayat).
Iklan terakota

Terakota.id–Bimo Petrus menggubah doa Bapa Kami. Ia menambahkan beberapa kalimat di belakang setiap kalimat utama di dalam do’a. Selebaran itu gandakan. Lantas, dia meminta ibunya yang pegiat Wanita Katolik, Genoneva Misiatini Oetomo, untuk membagikan kepada jemaat di gereja.

“Bu, nanti kalau pertemuan Wanita Katolik, tolong dibagikan ya,” kenang Misiati, menirukan anaknya.

Doa yang digubah Bimo menjadilah doa yang subversif. Pengharapan atas anugrah dan ampunan di dalam doa dimodifikasi untuk mengkritik rezim penindas kala itu. Selain juga menjadi medium penyadaran kepada rakyat.

Misiati tidak keberatan. Ia membaca selebaran doa yang diulurkan Bimo. Tidak ada sebersitpun curiga akan isinya yang dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari. Ia memasukkan selebaran  doa yang diberikan Bimo ke dalam tas. Dan benar saja, ketika di gereja, ia membagikan selebaran itu kepada yang lain. Mereka menerima, membaca sekilas, menatap Misiati dengan pandangan yang janggal, lalu melipat begitu saja selebaran doa dan menyimpannya ke dalam tas. Misiati tetap belum dapat mencerna bahasa tubuh orang-orang itu.

Ia baru menyadarinya belakangan hari. Kalau doa yang digubah Bimo ternyata berkaitan dengan konstalasi politik nasional waktu itu. Meski begitu, Misiati tidak menyalahkan Bimo. Ia menginsyafi kebenaran kalimat demi kalimat yang ditambahkan Bimo di dalam doa Bapa Kami.

Jurnalis, fotografer dan videografer Terakota.id, berkunjung ke rumah Petrus Bima Anugrah atau karib disapa Bimpet (Bimo Petrus) di Jalan Tumenggung Suryo Gang II Kota Malang, 8 Mei 2018. Seperti melewati labirin saat masuk perkampungan menuju rumahnya. Hanya muat dilewati satu sepeda motor. Stiker tokoh gerakan Amerika Latin, Che Guevara, bersanding dengan stiker Partai Rakyat Demokratik (PRD) menempel di kaca jendela, lurus dengan pintu pagar setengah badan yang memisahkan teras dengan jalan di gang.

Mudah terbaca oleh siapapun yang bertandang ke rumah itu. Sekaligus juga mengingatkan bahwa di rumah itu dulunya pernah ada seorang anak muda pemberani, anggota PRD dan pengagum Che Guevara. Hanya saja, anak muda itu telah hilang sejak Maret 1998. Ia diculik.

Aktivitasnya pada masa pergerakan menjelang reformasi dianggap membahayakan. Bimpet dinilai sebagai pemberontak. Ia pun menjadi salah satu dari 13 aktivis reformasi yang telah 20 tahun menghilang ditelan rimba raya kediktatoran Orde Baru. Tanpa kejelasan. Apalagi keadilan. Selain Bimo, 13 aktivis itu antara lain; Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, dan Wiji Thukul.

Kedatangan kami ke rumah yang pintu dapurnya juga bergambar Che Guevara itu, disambut ramah ayahanda Bimpet, Dionysius Oetomo Rahardjo, 73 tahun. Rambut dan kumis memutih. Dua kantung mata menggelanyut di kedua mata tuanya. Selama 20 tahun, pria ini bersama istrinya telah menempuh berbagai cara agar menemukan anaknya. Ia masih meyakini kalau Bimo Petrus masih ada. Ia masih hidup. Tapi entah di mana.

Munir bersama Kontras dan keluarga korban penculikan aktivis 1997/1998 membentuk Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia (IKOHI) pada 17 September 1998. Oetomo Rahardjo ditunjuk menjadi ketua untuk pertama kalinya. Melalui Ikohi, beragam cara ia tempuh. Mulai menyambangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), DPR, Kementerian Hukum dan HAM, Markas Besar TNI, mengadu ke markas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Jenewa Swiss, sampai menggalang aksi atau demonstrasi. Namun, anaknya tetap tak pernah kembali.

Oetomo Rahardjo tak patah semangat. Rentang 20 tahun tanpa kepastian dari negara, tak membuat dirinya berpaling sedikitpun dari perjuangan menuntut keadilan. Ia masih kerap mendatangi  forum-forum diskusi sebagai pembicara. Di sana ia akan menceritakan ihwal perjuangan anaknya yang berbuntut pada penculikan. Ketika Terakota.id membedah film tentang Wiji Thukul, “Istirahatlah Kata-kata,” Oetomo juga hadir. Ia salah satu pembicaranya.