
Terakota.id-Djoko Rendy, tampak telaten menjelaskan kepada pengunjung tentang beberapa karya replikasi topeng malangan ciptaannya. Di sudut ruangan pameran, satu per satu karyanya ditunjukkan. Penjelasan singkat juga diberikannya mulai yang terbuat dari bahan limbah kertas, fiber, kayu, besi, cor beton, batu, hingga berupa manik-manik batu alam dan coklat.
Beberapa pengunjung pun antusias dan tampak puas dengan penjelasan sang kreator. Bahkan, ada salah satu dosen yang memiliki ide agar patung topeng malangan yang terbuat dari batu bisa ditempatkan di setiap kantor kelurahan sebagai salah satu identitas khas budaya malangan.
Selama sepekan ini, seniman satu ini sedang memamerkan karya-karyanya di lantai satu gedung DPRD Kota Malang bersama karya-karya seniman lainnya. Ada karya berupa wayang kulit maupun lukisan. “Baru tahun ini ikut pameran tahunan ini. Dua tahun lalu hanya pameran lukisan, sekarang sudah ada karya seniman lainnya termasuk topeng dan wayang,” kata Djoko Rendy di sela-sela pameran berlangsung, Jumat (7/4/2017) siang.
Pengagum Bung Karno ini memang selama enam tahun terakhir spesifik berkarya untuk menghidup-hidupi budaya leluhur, khususnya topeng. Beragam cara dia lakukan untuk mengenalkan topeng malangan kepada masyarakat umum. Cara dan metodenya juga beragam, tergantung kepada siapa dia mengenalkannya. Di tengah wawancara dengan terakota.id, ia lalu mengutip pesan Bung Karno yang berbunyi, “Taktik dan strategi boleh berubah, tapi tujuan jangan”.
Pesan itulah yang kemudian diimplementasikan Djoko Rendy dalam mengenalkan karya-karyanya. Sehingga tak heran, banyak produk replikasi topeng malangan yang memiliki 76-an karakter ini diciptakan dari berbagai bahan. Baginya, topeng malangan diharapkan bisa dikenal oleh masyarakat luas, khususnya bisa dikenal dari anak-anak kita sedini mungkin.
Ia juga tak sekadar mengenalkan topeng malangan dengan memproduksi dan menjualnya, namun kisah dan tari topeng juga dikenalkan kepada pembelinya. “Yang datang ke tempat saya selalu saya ceritakan kisahnya dan juga tarian topengnya,” ujarnya.

Strategi dan taktik yang dia lakukan untuk uri-uri tradisi dan budaya khas malangan ini adalah dengan menyesuaikan siapa yang disasarnya. Misalnya, ketika mengedukasi anak-anak sekolah, Djoko Rendy selalu menyelipi kisah topeng malangan sebelum mengajari cara membuat maupun mewarnai.
“Biasanya untuk anak-anak sekolah membuatnya dengan kertas-kertas bekas, mewarnanya juga dari bahan-bahan alternatif. Sebelum membuatnya juga ada pelajaran tari dan kisah yang diceritakan sebelum mengajari membuat,” ujarnya.
Selain menyasar anak-anak sekolah, ia juga membuat karya topeng malangan yang banyak ragamnya, di antaranya topeng penolak balak yang terbuat dari bahan khusus, topeng pengharum mobil, topeng coklat yang bisa dimakan, dan banyak lainnya. “Untuk ibu-ibu juga bagaimana bisa membuat bakso topeng, getuk topeng, dan lain-lain,” kata seniman yang juga pernah berpindah-pindah tempat dalam mengenalkan karya-karyanya.
Tontonan Sekaligus Tuntunan

Keuletan Djoko Rendy kini membuahkan sedikit hasil. Kalau dulu berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya, kini untuk mengenalkan topeng malangan dirinya sudah memiliki lokasi yang menetap di Pusat Study Kendedes, Singosari, Malang.
Ia mengaku hampir 24 jam berada di sana. Masyarakat bisa belajar membuat replikasi topeng maupun mendengar beragam karakter tokoh topeng yang akan diajarkan kepada pengunjung. Ia menyontohkan misalnya, tokoh Bapang, yang menggambarkan sosok pemuda yang memiliki jiwa pemberani dan jujur.
“Meski ugal-ugalan sebagai salah satu ciri khas pemuda, namun ada kejujuran dan keberanian serta mampu mengemban amanah dalam sosok Bapang. Ada tuntunan, bukan sekadar tontonan,” kata Djoko Rendy.
Banyak kisah-kisah topeng malangan yang mengandung falsafah kehidupan di masing-masing karakter topeng malangan warisan leluhur ini sehingga harus terus dilestarikan dengan berbagai cara mengikuti arus zaman.
Selain falsafah hidup dari masing-masing karakter yang sudah ada di pakemnya. Djoko Rendy juga mempunyai penilaian tersendiri terhadap ke-khas-an topeng malangan. Yakni, di topeng malangan menurutnya sellau ada bunga mawar, daun lo, dan matahari.
“Ini pemikiran saya saja yang mengamati beberapa topeng yang berasal dari beberapa daerah. Ternyata topeng malangan mengandung filosofi sendiri yang menonjol,” ujarnya.
Di topeng malangan, kata dia, harus ada bunga mawar yang makna filosofinya menunjukkan bahwa manusia atau orang malang itu mawarno atau beragam keinginannya. Kemudian ada daun lo, yang makna filosofinya banyak yang bisanya mengeluh saja, dan bunga matahari yang dimaknai Djoko Rendy sebagai jalan keluarnya.
Sebagai seniman, di sisa umurnya ini Djoko Rendy ingin mengenalkan dengan berbagai cara budaya leluhur topeng malangan. “Saat ini bagaimana kesenian tradisi dan budaya ini dikenal dulu oleh generasi muda. Saya yakin, semakin mengenalnya maka mereka bisa lebih peduli dan menyayangi budaya sendiri,” katanya mengakhiri wawancara.