Ilustrasi : Seluler.id
Iklan terakota

Terakota.id-“Paman Gagak Seta!” kata Titisari nyaring. “Benarkah orang dapat menguasai lebah?”

“Sungguh berbahaya….! Sungguh berbahaya….!

“Apakah yang membahayakan?” Titisari heran.

“Duduklah!” perintah Gagak Seta. Kemudian berkata menasihati, “Jika kamu bersua dengan jahanam itu, cepat-cepatlah berlalu.  Bukan terhadap ilmu berkelahinya, tetapi semata-mata karena binatang piaraannya itu.  Aku sih…tiada takut. Aku bisa berjaga diri dan mengusir pergi. Tetapi kamu….itu, sih lain.”

“Bukankah binatang piaraannya itu adalah lebah lumrah?” Titisari menungkas.

“Bukan! Bukan! Tabuan itu bernama Kelingking. Lihat! Warnananya hitam bersemu hijau. Dan di sepanjang perutnya tergarit warna merah, “sahut Gagak seta sambil menjumput seekor kerbau tabuan yang mati merentep pada tubuh Sangaji. Setelah diperlihatkan kepada Titisari dia berkata lagi, “Konon kabarnya, tabuan ini hanya hidup di suatu pegunungan di daerah Jawa Barat. Binatang ini sudah berusia tua. Kabarnya, putera sulung  Raja Siliwangi. Tatkala bertempur melawan Ciuang Wanara, Aria Bangah mencoba mengerahkan tentara udaranya. Tetapi tak berhasil, karena Ciung Wanara memiliki khasiat sakti semacam yang dimiliki Sangaji. Dia lari ke Jawa Tengah dan bermukim di Gunung  Dieng. Ia hidup sebagai pendekar dengan gelar Kyai Gede Singgela. Tabuan piarannya tetap dibawanya. Tiba-tiba tabuan itu bisa dikuasai bandot busuk (sebutan Gagak Seta untuk pendekar Kebo Bangah alias Aria  Bangah), “ia berhenti lagi.  Meneruskan, “bandot busuk waktu mudanya bernama Gunawan. Rupanya setelah mendapat tabuan Kelingking, dan mendengar sejarah tabuan itu, lantas merubah namanya dengan Aria Bangah gelar Gede Singgela. Tapi dasarnya dia seorang bandot seperti kerbau, maka kami tetap memanggilnya si Kebo Bangah, ia tertawa gelak.

“Apa sih bahayanya tabuan Kelingking?” tanya Titisari dengan bernafsu.

“Bisanya bagaikan seekor ular. Sekali kamu kena disengat, tak kan dapat disembuhkan dan dipulihkan kembali jika tiada bersedia menjadi hamba si bandor busuk itu. Karena dialah satu-satunya orang di seluruh dunia ini yang memiliki obat pemusnahnya. Kabarnya tabuan Kelingking direndamnya pula dalam getah buah Ingas yang berliur racun jahat. Seseorang yang terkena liurnya, akan mati membusuk. Mungkin kamu bisa menghindarkan diri dari sengatan dua ekor tabuan. Tetapi tidak untuk seratus atau seribu yang menyerangmu sekaligus dari berbagai jurus”.

Tabuhan Pendengung

Diatas adalah dialog antara Gagak Seta, Sangaji dan Titisari dalam buku serial silat Bende Mataram karya Herman Pratikto. Ceritanya, Dewaresi  (murid Kebo Bangah) saat bertempur dengan Sangaji curang karena memanfaatkan kumpulan lebah (disebut tabuan). Untung Sangaji punya anti racun berkat getah sakti Dewa Daru  atas petunjuk Ki Tunjung Biru (pejuang kemerdekaan di Jawa Barat).

Dewaresi murid Kebo Bangah (berjuluk juga Aria Singgela) yang mempunyai pasukan lebah. Ia termasuk tokoh jahat tetapi sakti. Kebo Bangah sejajar dengan kesaktian Pangeran Mangkubimi I, Pangeran Ssamber Nyawa, Kyai Lukman Hakim, Adipati Surengpati, Kyai Kasan Kesambi, dan Gagak Seta.  Singkat cerita, Kebo Bangah dengan kejahatannya justru kalah dengan Sangaji murid Gagak Seta (mendapat ilmu juga dari Kiai Kasan Kesambi dengan ilmu sakti Suro Diro Joyo Ningrat, Lebur Dening Pangastuti) dan warisan ilmu sakti Bende Mataram.

Ada cerita tabuan milik Dewaresi di atas ada yang menarik. Pertama, lebah itu bergerombol. Kedua, lebah sakti bahkan bisa membunuh orang yang disengatnya. Ketiga, lebah dipelihara oleh tuannya. Keempat, lebah dikerahkan sebagai senjata mematikan untuk menyerang lawan, tidak semua orang  kebal dengan sengatan lebah beracun itu.

Buzzer

Ingat lebah saya jadi ingat dengungan. Ingat dengungan saya jadi ingat pendengung (buzzer). Lalu apa kaitan antara lebah mematikan milik Kebo Bangah itu dengan buzzer? Lebah hampir sama dengan buzzer karena sama-sama pendengung. Sama-sama pula mematikan. Tak jauh berbeda pula karena mereka mempunyai pemilik. Labuhan Dewaresi tidak akan bertindak tanpa kendali dari yang memilikinya. Untuk memilikinya itu tentu membutuhkan ilmu tertentu. Tak semua bisa mengendalikan lebah.

Apakah buzzer juga begitu? Buzzer hanya tukang. Yakni tukang berdengung. Ia akan bergantung pada yang memilikinya. Ia hanya menjadi bawahan untuk tugas-tugas tertentu dari kepentingan tuannya. Tentu saja, buzzer juga membutuhkan “dipelihara” tuannya. Salah satunya dengan dibayar. Ia hanya bertugas berdengung untuk menyerang jika ada pihak lawan yang mencoba mengganggu tuannya. Kalau dia tidak berdengung ia bisa tidak mendapatkan fasilitas dari tuannya. Jika tabuhan tidak mau menuruti  pemiliknya, ia juga bisa akan dihancurkan pemiliknya pula.

Bahkan buzzer bisa menjadi profesi. Kenapa banyak orang senang menjadi buzzer? Karena memang mereka mendapat keuntungan, material salah satunya. Mereka bertugas menyerang, mengacaukan, mengalihkan isu atau tujuan pragmatis pemiliknya.

Seorang pemilik  “tabuhan” bisa jadi mengatakan bahwa ia tak memelihara kumpulan lebah. Sama dengan Dewaresi. Ia awalnya tak mengakui bahwa itu tabuhan miliknya. Tetapi orang yang waskita seperti Gagak Seta mana mungkin bisa dibohongi oleh Dewaresi? Titisari dan Sangaji sebagai anak muda bisa jadi tidak mengetahui. Tetapi orang sesama pendekar yang pernah bertempur ilmu kanuragan akan mengetahui   jenis sentara yang dipunyai masing-masing para pendekar. Tabuhan jelas milik Dewaresi yang didapatkan dari Kebo Bangah, meskipun ia mengatakan tidak. Analogi ini juga bisa digeneralisasi apakah pemerintah mempunyai buzzer apa tidak?

Menjadi buzzer itu mudah. Asal tidak punya malu dan tak mementingkan integritas diri  semua beres. Asal dibayar sesuai kebutuhan, bahkan berlebih, semua “lebah” itu akan berdengung. Tugasnya tabuhan itu hanya satu, menuruti keinginan yang punya. Disuruh menyengat mereka   akan melakukan. Diminta masuk ke sarang mereka akan menurut. Jika pemilik sudah tidak membutuhkah ya selesai semua tugas-tugas lebah itu.

Apakah lebah-lebah itu akan aman? Lebah-lebah yang bisa dianalogikan sebagai buzzer itu karena cirinya hampir sama, akan aman sejauh mendekat dengan kekuasaan. Kalau buzzer milik masyarakat akan mudah untuk digilas. Tetapi kalau buzzer milik pemerintah akan susah dihilangkan karena dilindungi dengan “alat-alat negara”.

Memang buzzer itu bertugas mendengungkan. Ini tugas utama. Ini perilaku aktif. Tetapi individu atau masyarakat yang membiarkan sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya dan melanggar hukum maka mereka juga bisa diindikasikan sebagai buzzer. Atau lebih ringannya punya potensi menjadi buzzer.

Para pendukung pemerintah yang awalnya gigih membela habis-habisan  — dengan dengungan yang membabi buta — saat yang didukung itu berkuasa tetapi ketika terjadi pelanggaran kebijakan para pendengung itu diam, ia juga aslinya seorang buzzer. Kenapa? Karena dia membiarkan kejahatan dan hukum dilanggar oleh yang didukungnya itu. Bisa saja dia tidak mendengung keras karena memang  tugas sesuai kontrak sudah selesai atau fasilitas yang diberikan sudah tidak ada lagi.

Meskipun lebah milik Kebo Bangah itu memisahkan dari kelompoknya, tetapi GagakSeta tentu akan tahu bahwa lebah itu dulu pernah menjadi pendengung milik Kebo Bangah yang kejam.