Dinul Hijau: Makan, Islam, Lingkungan

Ilustrasi : madimar.deviantart.com
Iklan terakota

Terakota.id–Jumat dua hari yang lalu, khotib di masjid Al-Amin Tidar menyampaikan pentingnya melestarikan dan mencegah kerusakan alam. Khotib memperdengarkan ayat yang menyatakan banyaknya kerusakan di muka bumi karena ulah manusia. Kita cukup sering menemukan ayat ini di internet dalam diskusi kerusakan alam dari perspektif Islam. Namun, kehadirannya dalam sebuah khotbah Jumat menjadikannya terasa berbeda.

Kehadiran itu berarti kelestarian lingkungan sudah masuk ke jajaran tema-tema utama khotbah yang tidak pernah jauh-jauh dari mengingatkan (diri sendiri dan) jamaah untuk menjaga ketakwaan, reminder paling vital. Mungkinkah tema pelestarian alam dan kesadaran lingkungan mulai maju ke baris depan concern pemuka agama Islam di masyarakat?

Perkenankan saya optimis bahwa sepertinya hal ini akan menjadi tren dalam kehidupan beragama Islam. Atau jangan-jangan tren ini sudah bermula agak lama tapi tidak mendapatkan sorotan yang semestinya? Memang Ada sejumlah indikasi bahwa tren ini mulai bergulir.

Ada sejumlah seminar yang mengusung tema peran agama dalam pelestarian lingkungan, misalnya acara yang digagas Universitas Paramadina ini atau sejumlah munas dan kongres seperti disinggung di sini, atau dalam tulisan tentang Kiai Tantowi ini.

Baru-baru ini, kebetulan ada sebuah diskusi dan buku yang kebetulan mengusung tema ini. Mungkin buku itulah yang menebar benih optimisme itu bahkan sebelum mendengar khotbah Jumat kemarin

M. Faizi dan Itikad Hijau

Buku yang saya maksud berjudul Merusak Bumi dari Meja Makan, karya M. Faizi, seorang esais, penyair, facebooker, dan Kiai di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Buku yang didiskusikan di Kafe Pustaka pada Selasa awal Februari kemarin merupakan karya penting yang menyingkap indikasi penting terbitnya kesadaran akan hubungan antara keberagamaan dan kepedulian terhadap lingkungan.

dinul-hijau-makan-islam-lingkungan
Ilustrasi : FB/tokobukuterpilih

Merusak Bumi dari Meja Makan menyajikan kepada kita esai-esai tentang agama, makan (termasuk makanan dan pola makan), serta pelestarian lingkungan (termasuk penanganan sampah). Ada kalanya satu esai lebih fokus ke satu bagian. Ada kalanya juga kita mendapat paket lengkap ketiganya berjalin kelindan.

Bisa dilihat bahwa kita memang tidak mendapatkan pemaparan yang sistematis–sesuatu yang cukup lazim untuk buku kumpulan esai-esai yang ditulis untuk kebutuhan berbeda-beda. Namun, kita mendapatkan banyak contoh nyata yang membantu kita melihat jalin kelindan antara ketiga hal ini dan tuntutan bahwa ketiga hal ini tidak semestinya dipisahkan.

Ada beberapa contoh yang bisa diambil di sini. Contoh andalannya mungkin adalah Pemulung Sampah Gaul, sebuah gerakan di PP Annuqayah yang dimulai pada 2005, ketika muncul kesadaran bahwa masalah lingkungan yang sangat mendesak adalah sampah.

Contoh lainnya adalah sebuah warung di kawasan Tongas yang mengajak pembelinya menyadari pentingnya kesadaran akan besarnya persoalan sampah yang berkaitan dengan meja makan. Contoh lain yang penting adalah renungan tentang aspek-aspek makan dan meja makan yang berpotensi menyumbang kerusakan bumi. 

Kekuatan buku ini adalah pada upaya penulisnya untuk tidak hanya berbicara tentang lingkungan dari sudut pandang Islam, tapi juga menegaskan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Kecenderungan untuk tidak memandang hal-hal secara isolasionis tampak menonjol di buku ini. Mereka yang mengenal M. Faizi mungkin tidak terlalu heran kecenderungan meleburkan dua wilayah yang tidak biasanya dibahas bersama ini.

M. Faizi dikenal sebagai esais, penyair, kiai, penggemar dan pemain musik, penggemar bus, pengrajin humor, dan sejenisnya. Karya-karya tulisnya menunjukkan pertemuan antara beragam hal yang menjadi minatnya ini. Maka, tidaklah mengherankan bila saat dia berbicara tentang pelestarian lingkungan, Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Dalam Merusak Bumi dari Meja Makan, tiga hal yang berjalin kelindan adalah: makan, Islam, dan lingkungan. Inti penting dari jalinan ketiga hal ini adalah begini kira-kira, 1) cara kita menjalankan agama  tidak boleh mengabaikan alam; 2) cara kita makan perlu mempertimbangkan alam dan agama; dan 3) cara kita melestarikan alam adalah bagian penting dari cara kita beragama. Makan, Islam, dan lingkungan adalah tiga hal yang dalam menjalaninya tidak semestinya saling dipisahkan.

Dalam wacana kritis dan aktivisme, cara M. Faizi menyikapi tiga hal ini menunjukkan kesadaran akan intersectionality atau kebersimpangan. Dalam wacana kebersimpangan, yang menjadi kunci adalah saat kita menjalankan satu hal, kita juga perlu awas dengan hal-hal lain yang mungkin bersilangan jalan.

Kimberly Creenshaw menggunakan istilah “intersectionality” pertama-tama ketika dia membahas bagaimana ketika kita berbicara tentang gender, kita juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain, misalnya kelas sosial dan etnis. Perjuangan keadilan sosial antar ras yang tidak peka terhadap aspek gender ras hanya akan berdampak positif bagi sebagian kalangan tapi malah merugikan kelompok yang lain.

Dalam konteks Indonesia, khususnya dalam kajian gender, salah satu perwujudan kesadaran kebersimpangan tampak dalam buku Katrin Bandel Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial. Dalam buku ini, Katrin menunjukkan dalam sejumlah esai bagaimana kajian gender di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks pascakolonial Indonesia–dan menerapkan teori-teori gender dari Barat yang memiliki konteks berbeda malah hanya membangkitkan lagi wacana kolonial.

Dengan perenungan-perenungan mengenai landasan pemikiran dan beragam contohnya ini, Merusak Bumi dari Meja Makan adalah buku yang cukup bisa menggugah dan menggerakkan. Tapi, sebenarnya bukan hanya kedua hal itu yang menjadikannya istimewa. Tunggu sebentar.

Dinul Hijau

Yang patut disadari adalah tentu saja buku M. Faizi bukan buku yang pertama mengambil tema ini. Buku lainnya yang bisa kita bahas adalah Green Deen karya Ibrahim Abdul Matin yang terbit pada 2010.

Dalam buku tersebut, Abdul-Matin membahas sikap seorang “Muslim Hijau” yang perilakunya dilandasi oleh enam prinsip khusus, 1) tauhid, yang dia tafsirkan sebagai kesatuan Tuhan dan Ciptaannya, 2) ayat, bahwa bumi adalah tanda-tanda (ayat) dari Allah, 3) Khalifah, manusia adalah “khalifah” atau pengemban atau penerus yang ditugaskan bertanggung jawab atas alam, 4) amanah, yang ditafsirkannya sebagai sikap menjaga tanggung jawab atas yang dititipkan kepada kita, yaitu bumi, 5) adil, segala upaya harus dilandasi oleh sikap adil, dan terakhir 6) mizan, yang ditafsirkan sebagai keseimbangan dalam hubungan antara manusia dan alam.

dinul-hijau-makan-islam-lingkungan

Buku Abdul-Matin ini mendapat tempat terhormat di kalangan arus utama Muslim Amerika. Si penulis merupakan lulusan Zaytuna College, memiliki kedekatan dengan imam Sirraj Wahhaj yang disegani arus utama muslim Amerika, dan pada saat menulis buku tersebut merupakan pegawai kantor walikota New York City.

Abdul-Matin memang tidak berpretensi menjadi penafsir Alquran dan Hadits untuk tema lingkungan–dia merasa tidak memiliki otoritas untuk itu. Namun, dia merenungkan tafsiran-tafsiran dan menunjukkan contoh-contoh dari sosok-sosok yang dia pandang sebagai Muslim Hijau. Buku yang berlatar Amerika Serikat itu pun akhirnya menjadi rujukan saat orang berbicara tentang Islam dan lingkungan.

Menyadari Ketokohan

Buku M. Faizi, meskipun tidak disajikan dengan sistematika yang ketat seperti halnya buku Abdul-Matin, memiliki kekuatannya sendiri. Gayanya yang ringan dan keengganannya bersikap vulgar dan didaktis dalam menafsirkan sumber-sumber Islam adalah hal-hal yang menjadikan bukunya lebih ramah pembaca.

Bila Abdul-Matin cenderung menyerupai buku-buku yang mengajukan gagasan dengan tegas, M. Faizi bersikap terbuka dan menahan penghakiman terhadap sejumlah gerakan lingkungan dari kalangan Muslim yang cenderung kontroversial dan kurang berterima di kalangan arus utama Muslim.

Kita tahu, dewasa ini ekonomi yang sadar lingkungan (ekonomi hijau) sudah berevolusi menjadi Ekonomi Biru. Seperti halnya warna hijau yang amat sangat bisa tampak biru, demikian juga ekonomi. Ekonomi hijau yang sadar lingkungan dianggap masih perlu ditingkatkan lagi menjadi ekonomi biru, dengan penekanan lebih besar kepada efektivitas pengolahan sampah dengan orientasi hingga zero waste.

Tapi, agama hijau adalah sesuatu yang masih sangat diharapkan. Para pemuka agama, yang memiliki basis massa dan loyalitas pengikut cukup kuat, mulai saat ini sudah mulai menyadari besarnya potensi mereka dalam gerakan global menyelamatkan bumi di tengah perubahan iklim global ini.

Faizi, penulis kita ini, menjadi lebih khas karena dia memang seorang pemuka agama yang disegani yang juga terlibat mewacanakan kesadaran akan sampah ini di lingkup lokal melalui diskusi dan gerakan nyata. Dan, yang lebih penting, konteks M. Faizi, yaitu konteks pesantren, adalah miniatur konteks keislaman.

Dalam konteks kajian keislaman secara luas, pokok tidak pernah bisa benar-benar dipisahkan dari tokoh. Kita tahu, penentuan kesahihan hadits sangat bergantung kepada siapa saja orang-orang yang ada dalam runtutan penyampaiannya.

Keraguan akan kredibilitas satu mata rantai periwayatan hadits akan membawa keraguan terhadap isi hadits. Demikian halnya dengan konteks pesantren, ketokohan seorang pengasuh tidak bisa lagi dipungkiri. Saat seorang tokoh pengasuh pesantren memberikan dukungan terhadap usaha-usaha pelestarian alam, maka dia juga mengajarkan kepada santri-santrinya kepedulian tersebut.

Kalau satu khotib Jumat sudah menyampaikan khotbah dengan tema utama kepedulian lingkungan, mungkin itu berarti concern ini sudah semakin mengarus utama di kalangan Muslim. Kalau lebih banyak lagi pemuka agama yang ikut aktif dalam gerakan ini, semakin nyaring pula suara-suara hijau yang sangat dibutuhkan alam ini. Kehadiran buku M. Faizi dan kisah-kisah Iktikad Hijau yang ada di dalamnya membuat saya semakin optimis.

Semoga ini dasar yang cukup kuat untuk optimis. Kalau pun masih belum kuat, semoga saja optimisme saya ini menjadi doa. Kalau begitu, tolong like, share, dan komentar amin ya?

 

1 KOMENTAR

  1. Tersanjung sampai-sampai buku saya ini dibikinkan ulasan sedemikian kerennya. Terima kasih banyak, mas Wawan. Yang lebih pantas menulis tema ini semestinya M Mushthafa, dia samping memang dia yang awal mula menggerakkan Pemulung Sampah Gaul dan Perayaan Hari Bumi di sekolah, dia juga yang intens menekuni bidang ini hingga ke jenjang studinya, applied ethics, di NTNU Norway, tapi dia membiarkan saya saja yang nulis, mungkin karena lebih bisa nulis secara ugal-ugalan sedangkan tertib lalu lintas