Dilema Mengarungi (atau Terseret?) Arus John Wick

Pesilat Indonesia Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman menggunakan senjata tradisional karambit bertarung dengan aktor Hollywood Keanu Reeves dalam film John Wick : Chapter 3. (Parabellum. imdb.com).
Iklan terakota

Oleh : Wawan Eko Yulianto*

Terakota.id–Beberapa minggu belakangan, sebelum mulai ramainya film Bumi Manusia, ada satu film yang sempat jadi buah bibir, yaitu John Wick III: Parabellum. Alasannya sederhana: ada dua penjahat paling dibanggakan dari sinema Indonesia kontemporer, Yayan Ruhiyan dan Cecep Arif Rahman. Duo ganas ini menonjol karena di film tersebut mereka adu gampar dengan tokoh yang jadi judul film itu. Tapi, kalau kita melihat film ini dan menghubungkannya dengan konteks Amerika Serikat yang sering terjadi penembakan massal itu, saya sempat terpikir: jangan-jangan, yang kita banggakan itu ikut terseret ke dalam budaya kekerasan a la Hollywood.

Tapi sebelumnya, mari kita lihat dulu trailernya yang menggabungkan kekerasan dan keindahan dengan racikan yang seimbang ini:

Saat pertama kali mendengar kabar tentang hal tersebut, yang otomatis timbul di benak saya adalah kebanggaan karena aktor Indonesia tampil di Hollywood. Silat sekali lagi jadi tontonan di Hollywood. Apalagi para aktor itu akan ngomong bahasa Indonesia di filmnya Keanu Reeves, salah satu manusia paling unik dalam sejarah homo sapiens karena memiliki paduan antara cool, suksesdan rendah hati, plus ganteng (buat yang berkenan). Mungkin kebanggaan itu setara dengan mendengar kabar bahwa ada seorang peneliti dan penemu asal Indonesia yang berkarir di Jepang, ada animator Indonesia yang terlibat film animasi kelas dunia, atau ada atlet Indonesia yang menjuarai event olahraga di Eropa.

Saya pikir banyak orang Indonesia yang berpikiran seperti saya, berbangga dan merayakan prestasi saudara sebangsa di negeri seberang. Saking lazimnya, sampai-sampai beberapa tahun lalu ada orang yang sempat memanfaatkan ini dengan mengaku-ngaku sebagai orang berprestasi di negeri jauh, terlibat dalam penelitian yang akan mengubah dunia seperti kasus Dwi Hartanto beberapa waktu yang lalu.

Di jagad sinema, akhir-akhir ini kita jadi semakin banyak mendengar para aktor silat (sayangnya baru laki-laki yang tampil di sana) yang terlibat dalam produksi-produksi Hollywood. Berkat reputasi sebagai orang-orang jago tarung paling buas dalam seri film The Raid (1 & 2), Iko Uwais, Yayan Ruhiyan, dan Cecep Arif Rahman, banyak sutradara dan produser mempertimbangkan mereka.

Joe Taslim bahkan sudah lebih dulu aktif. Khusus untuk “Trio The Raid,” setidaknya sudah ada film dari seri Star Wars, Mile 22, dan seri John Wick yang sudah menggunakan jasa mereka. Belum lagi kalau kita ngomong pengaruh mereka terhadap sinema Hollywood. Joe dan Anthony Russo, sutradara beberapa film Marvel Cinematic Universe seperti The Avengers dan Captain America,mengaku terinspirasi oleh koreografi silat dalam The Raid dan menirunya saat menggarap adegan tarung jarak dekat dalam lift di film Captain America: The Winter Soldier. Lihatlah video Russo menyampaikan apresiasinya yang besar atas adegan pertarungan di The Raid dalam wawancara ini dan silakan berbangga.

Memang sih, dari berita-berita yang muncul, kebanyakan yang disebut adalah The Raid, dan bukan Indonesianya maupun silat. Tidak. Beberapa ulasan atas film  John Wick III: Parabellum yang terbit di media luar negeri sama sekali tidak menyinggung tentang silat atau Indonesia atau karambit. Tapi, kalau saja para pengulas film itu dipaksa melakukan sedikit riset lebih jauh, pasti tidak sulit juga bagi mereka untuk akhirnya menyebut “Indonesia,” karena setidaknya dalam Mile 22 dan John Wick III: Parabellum ada cukup banyak dialog bahasa Indonesia yang diucapkan oleh para pendekar kita ini. Yang jelas, melalui film-film ini, banyak orang Amerika yang tahu seperti apa itu silat dan seperti apa bunyi bahasa Indonesia itu.

Kalau kita mau bicara tentang cita-cita yang lebih adiluhung, kehadiran para pesilat ini di layar Hollywood berpotensi memberi manfaat bagi bangsa. Dalam ilmu politik, menampilkan (dan mengajarkan tentang adanya) silat kepada khalayak internasional bisa masuk dalam strategi diplomasi lunak atau soft power. Joseph S. Nye, Jr. menjelaskan kekuatan lunak dengan cukup gamblang di sini sebagai “kemampuan mempengaruhi kelompok lain tanpa paksaan dan bayaran, tapi melalui daya tarik,” biasanya dengan “budaya, nilai dan kebijakan.” Satu upaya yang sedang digenjot Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Pengembangan dan Diplomasi Kebahasaan dewasa ini adalah program pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing dengan mengirimkan guru bahasa Indonesia ke luar negeri dan memberikan beasiswa belajar bahasa Indonesia bagi orang asing.

Semua ini membantu meningkatkan gengsi bangsa di kancah dunia. Bahkan, kalau sangat berhasil, kita bisa menciptakan gelombang I-Pop, semacam gelombang trend pop dari Indonesia, sebuah gagasan yang diajukan oleh Wahyudi Akmaliah dalam esai yang membahas kebangkitan kembali Wiro Sableng yang berbarengan dengan naik daunnya silat, cabang yang membuat kita mendulang banyak emas di Asian Games tahun kemarin).

Yang menjadi dilema adalah, diplomasi lunak ini bersinggungan dengan konteks kekerasan di Amerika Serikat. Sekadar mengingatkan lagi, pernah terjadi penembakan massal di Columbine High School, Virginia Tech (yang salah satu korbannya mahasiswa S3 dari Indonesia), Sandy Hook, dan lain-lain. Lihatlah infografis yang menyoroti adanya 142 kasus penembakan di Amerika antara 2012 hingga 2015 ini:

Mempertimbangkan kasus-kasus penembakan massal itu, kelompok progresif di negara Aa’ Syam sangat kritis terhadap tren kebijakan minimnya kontrol kepemilikan senjata. Amendemen Kedua atas UU Amerika Serikat mereka tanyakan penafsirannya. Kalau hukum memang sudah tidak bisa diubah lagi, mereka menuntut revisi kebijakan terkait pemeriksaan kejiwaan bagi para pelamar izin kepemilikan senjata. Hal-hal lain yang dianggap mendukung pun dikritisi, termasuk normalisasi kekerasan bersenjata api dalam film-film Hollywood. Penafsiran

Seri John Wick sangat bisa dimasukkan ke dalam film-film yang dianggap menormalisasi kekerasan bersenjata api. Film ini royal tembak-tembakan dan bunuh-bunuhan. Tanya saja mereka yang sudah nonton film pertama dan keduanya. Tapi, kalau kita memandang dari sudut pandang yang lain, yang mempertimbangkan tema dan plot, ada hal-hal lain juga yang sangat bisa diapresiasi dari seri John Wick itu (baru-baru ini saya menyoroti aspek estetikanya di blog pribadi ini).

Meski demikian, sangat tidak salah juga bila ada yang berargumen bahwa terlibat dalam film ini setara dengan memberikan persetujuan kepada budaya kekerasan ala Hollywood. Sekurang-kurangnya, duet Yayan dan Cecep dan keterlibatannya itu mendiamkan budaya kekerasan tersebut.

Memang sangat gegabah kalau menganggap kekerasan dalam film menyebabkan kekerasan di dunia nyata.  Tidak ada penelitian yang bisa benar-benar menunjukkan bahwa menonton film penuh kekerasan akan membuat orang agresif. Penelitian yang agak-agak dekat dengan ini menunjukkan bahwa adegan kekerasan dalam film akan mempengaruhi orang dengan cara tertentu hanya bila orang tersebut pada dasarnya sudah memiliki kecenderungan agresif. Film agresif tidak bisa begitu saja membuat orang agresif, seperti halnya–kata Arie Saptaji–menonton Crazy Rich Asian tidak akan membuat kita bertingkah seperti orang tajir melintir.

Begitu juga dengan menonton film yang topiknya LGBTQ tidak akan membuat orang heteroseksual jadi homoseksual. Yang bisa disetujui hanyalah menampilkan tembak-tembakan secara intensif seperti itu semakin mengakrabkan orang dengan tembak-tembakan. Bagi penonton yang enggan merenungkan temanya tetapi terlalu menikmati aksinya (dan memang yang jadi jualan utama di film John Wick adalah aksinya), film-film semacam ini akhirnya menormalisasi penggunaan senjata api. 

Untungnya, seperti lazimnya orang Indonesia yang suka mencari hikmah di balik musibah, saya agak terhibur kalau melihat trio silat kita ini memang agak-agak alergi pistol. Dalam The Raid, mereka ini lebih gemar jotos-tendang-sikut—atau paling pol golok dan karambit—ketimbang pistol atau senapan. Begitu juga dalam film-film Hollywood yang melibatkan mereka. Dalam Mile 22, Iko Uwais menunjukkan kemampuannya bertarung jarak dekat dan sangat sedikit menggunakan senapan.

Demikian halnya dengan Yayan dan Cecep, mereka tidak tampak memegang pistol sama sekali (semoga saya tidak salah ingat). Seperti kata orang: kalau pun kita tidak bisa mencegahnya, setidak-tidaknya kita tidak ikut-ikutan memperparah. Kalau John Wick, jangan tanya: buat dia, solusi untuk masalah yang dia hadapi adalah “guns, lots of guns,” sebagaimana dipotongkan dalam pada salah satu trailer untuk film ketiga di awal tulisan ini.

Saya cukup bersyukur Kang Cecep dan Kang Yayan tidak ikut-ikutan John Wick yang gemar pistol itu. Bahkan, dalam sebuah wawancara, kang Yayan bilang bahwa “silat adalah silaturahmi.” Tidak salah juga, kang Yayan bersilaturahmi dengan Mark Dacascos dan Keanu Reeves, idola orang Indonesia dalam hal tarung dan laga di Hollywood. Kalau boleh berlebihan, saya akan bilang inilah sumbangsih kedua pejuang devisa dan harga diri bangsa ini ke dalam film Hollywood.

Terlebih lagi, kalau dihubungkan dengan tema cerita, peran Cecep dan Yayan juga perlu kita perhatikan. Dalam film tersebut, mereka … Sebentar, setelah saya pikir-pikir, sepertinya saya batalkan saja paragraf ini karena siapa tahu Anda merasa plot ini penting dan tidak mau saya membocorkan poin-poin kejutnya. Intinya, menurut saya, peran mereka di sana cukup membanggakan.

Yang tetap menjadi ganjalan adalah kecenderungan mendasar Hollywood yang anti asing masih terasa dalam film-film laga yang menampilkan ketiga delegasi kita itu. Seri John Wick secara umum suka menyajikan orang-orang asing sebagai penjahat: Russia, Italia, Jepang, dll. Mile 22 malah lebih parah lagi. Fokus film ini adalah tokoh-tokoh intelijen AS melawan para penjahat Rusia dan tokoh polisi dari Indocarr yang penuh intrik dan pendeknya jahat.

Memang, seperti saya pernah saya singgung dalam artikel tentang film-film Marvel Cinematic Universe beberapa waktu yang lalu di sini, Hollywood dewasa ini sering menyindir kebijakan intoleran administrasi Trump, tidak bisa dipungkiri bahwasanya ada kalanya film-film Hollywood menunjukkan kecenderungan Xenofobik. Kecenderungan ini memang tidak separah dulu, yang gemar sekali menampilkan bangsa Arab sebagai orang yang kalau tidak keji ya mesum, seperti misalnya yang dibahas Jack Shaheen dalam buku Reel Bad Arabs.

Sayangnya, meski waktu telah bergulir kencang dan kesadaran politik para sineas Hollywood sudah berubah, kita masih sesekali menemukan kecenderungan xenofobik tersebut. Naasnya, film-film laga seperti Mile 22 dan John Wick itu punya kecenderungan menampilkan tokoh luar sebagai pihak jahat. Dengan latar belakang ini, seperti saya indikasikan di depan, Cecep dan Yayan menjadi tokoh yang cukup menarik. Sebelum kesimpulan, kita lihat dulu wajah budiman mereka:

Aktor laga Indonesia, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman, berpose bersama aktor Hollywood, Keanu Reeves tokoh utama film John Wick: Chapter 3-Parabellum. (IG @yayanruhian).

Jadi ya, sekali lagi, perlu saya tegaskan bahwa menonton Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhiyan di John Wick cicilan ketiga ini cukup bikin resah. Bikin pening kepala John Wick! Namun, bisa jadi di titik inilah kita bisa temukan nilai seri film ini. Kita akan menikmati pukul-pukulannya. Kita juga menikmati peleburan seni dan kekerasannya. Kita juga menikmati intrik-intrik yang ada di sana. Dan setelahnya, seperti yang saya lakukan saat ini, kita bisa merenung-renungkan tentang diri kita sendiri sebagai bangsa.

Harus bangga atau menyesal? Mungkin tidak perlu jawaban final untuk ini, seperti halnya persoalan-persoalan di dunia ini yang seringkali pelik dan tidak bisa dijawab dengan sederhana. Kiranya di sinilah nilai sebuah film yang bagus, seperti halnya karya seni yang bagus, yang memberikan pertanyaan-pertanyaan ketimbang jawaban-jawaban atau—amit-amit—instruksi.

Penulis (Sumber: Dok. Pribadi)

*Dosen Sastra Inggris Universitas Machung Malang